Semalam saya menonton film berjudul Pieces of April. Film ini sangat
membekas dalam hati saya sampai saya mewek di akhir cerita. Hihihi. Secara
garis besar, Pieces of April menceritakan tentang tokoh bernama April yang
memilih pergi dari rumah dan hidup mandiri di kontrakan kecil bersama
kekasihnya. Di sini diceritakan bahwa hubungan April dan keluarganya nggak
baik. Bahkan di beberapa scenes terlihat bahwa ibunda April kurang begitu
menyukai April dan bahkan menganggap April sebagai malapetaka.
Tapi, tentu saya nggak akan bercerita tentang film itu di sini. After
effect menonton film tersebut lah yang ingin saya bagikan. Setelah menonton
film tersebut, spontan saya teringat mama saya. Saya kangen padanya tapi saya nggak
pernah bisa mengungkapkannya karena hubungan kami memang tidak begitu dekat.
Mama saya berwatak keras dan tegas. Beliau jarang mengungkapkan kata-kata
pujian. Sebaliknya, beliau kerap kali mengkritik dan mengingatkan saya untuk
ini dan itu. Sayangnya, cara penyampaiannya kurang nyaman jadi Grace kecil
selalu menganggap mamanya galak. Saya pikir saya akan melupakan itu. Ternyata nggak.
Jadi saya mencoba mengingat kembali apa-apa saja yang diucapkan mama saya.
Bukan untuk mengingat yang buruk-buruk tentangnya, melainkan untuk pembelajaran
supaya saya nggak mengulangnya kepada Ubii. Jadi di sini, saya mencoba menulis
lebih dari sudut pandang seorang anak daripada seorang ibunya Ubii. (PS: Mama
selalu mendukung saya untuk berbagi jadi ini bukan ajang untuk membongkar aib
yah, hehehe)
Ibu yang berkata, “Jangan lakukan itu,” atau “Caranya seperti ini,”
atau “Itu salah” tentu wajar karena semua ibu pasti ingin anaknya lebih baik
dan bisa menjadi seorang pemimpin kecil (masih terbawa euphoria pemimpin
kecil), hehehe. Tapi, tentu cara ibu dalam menyampaikan hal-hal semacam itu
perlu diperhatikan supaya anak nggak merasa kecil, tersinggung, dan rendah
diri. Menurut saya, kalimat-kalimat seperti ini sangat perlu untuk dihindari:
- "Gimana sih, begitu aja kok nggak bisa?" Kalimat ini mau nggak mau akan membuat anak berpikir, “Iya ya, kok gitu aja aku nggak bisa? Berarti aku bodoh?” atau mungkin “Kok mama langsung marah sih bukannya ngajarin aku dulu sampai bisa?” Kalau lama-lama diperdengarkan kalimat macam ini, bukan nggak mungkin loh efek jangka panjangnya si anak menjadi minder dan tidak punya self esteem.
- "Contoh tuh si A, anaknya manis, penurut, blablabla." Nggak ada orang yang suka dibanding-bandingkan, bahkan anak kecil sekali pun. Saya ingat benar ketika mama berkata seperti itu pada saya, yang ada saya malah jengkel, sedih, kecewa, dan marah karena saya kecil merasa saya nggak cukup menyenangkan hati mama. Jadi, yuk kita coret kalimat ini pada anak kita dan pada siapa pun.
- "Matiin lampu aja kok bisa lupa sih." Bukannya anak nggak perlu diingatkan jika ia lupa melakukan hal yang dibiasakan oleh orangtua nya di rumah. Namun, jika ia ‘hanya’ melupakan hal yang kecil, saya kira nggak perlu sampai menggunakan kata-kata menyakitkan dan menunjukkan kalau ia sudah keterlaluan karena sudah lupa.
Selain kalimat-kalimat yang perlu dihindari di atas, menurut saya ada juga beberapa sikap atau attitude yang juga perlu dihindari.
- Memarahi anak di depan orang lain (teman, saudara jauh, tamu, dll). Anak kecil juga bisa malu loh. Bukan cuma kita-kita aja yang sudah bisa merasa malu. Dulu mama saya pernah memarahi saya di depan teman saya yang sedang main ke rumah. Rasanya malu setengah mati. Teman saya juga kelihatan canggung dan bingung harus bagaimana melihat saya dimarahi. Jadi, yuk, kita mengingatkan anak cukup berduaan saja, tanpa ada penonton lain. Redam emosi dulu, tarik nafas panjang, dan begitu berdua baru sampaikan isi hati kita pada anak.
- Melakukan hal yang kita larang anak untuk lakukan. Contoh paling mudah dan sering pada kasus ini adalah larangan bermain gadget saat jam makan. Banyak orangtua yang nggak memperbolehkan anaknya utak-atik gadget mereka di meja makan. Tapi, kadang mereka malah melakukan hal itu. Alasannya, karena ini urusan penting atau karena ini urusan pekerjaan. Anak adalah peniru ulung. Ia nggak melakukan apa yang ia dengar melainkan apa yang ia lihat. So, let’s give them good examples. Ini juga untuk menghindari anak berpikir, “Loh gimana sih, katanya nggak boleh tapi kok mama papa sendiri juga begitu? Mentang-mentang orangtua!”
- Tidak meminta maaf ketika anak tau dengan jelas bahwa kita berbuat salah atau lupa sesuatu. Nggak cuma anak yang harus minta maaf kalau melakukan kesalahan, kita sebagai orangtua pun harus berani terbuka dan berbesar hati untuk meminta maaf jika kita salah. Menurut artikel psikologi yang saya pernah baca, dengan secara terbuka meminta maaf, anak akan berpikir bahwa kita sebagai orangtua bisa bersikap adil dan nggak menang sendiri.
Saya selalu percaya, seorang pemimpin
kecil nggak cuma perlu asupan makanan bergizi dan kegiatan fisik yang oke.
Mereka juga perlu dibimbing dan diarahkan mentalnya, sifatnya, dan attitudenya.
Salah satu caranya adalah dengan menghindari hal-hal tersebut. Apa lagi yah?
Ada yang mau menambahkan? :)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletehai ka Ges, aku pembaca baru di blog ka Gesi. Saking menariknya blog kakak, aku baca dari postingan awal. Aku calon ibu muda yang baru saja menikah awal tahun ini, sangat terbantu sekali dengan membaca blog kakak. terima kasih untuk mau berbagi kak. :)
ReplyDelete