Puji syukur, tulisan ini diapresiasi sebagai
Karya terpilih untuk ikut dibukukan dalam antologi
Mereka Bicara Fakta
***
Membicarakan sistem kesehatan di Indonesia memang rasanya tak akan ada habisnya. Selalu banyak unek-unek dan keluh kesan berkaitan dengan bagaimana masyarakat menikmati sistem kesehatan di negara tercinta kita ini. Unek-unek yang dikeluhkan pun beragam mulai dari biaya kesehatan yang tak terjangkau bagi kaum dhuafa, mengularnya antrian untuk menemui dokter karena dokter-dokter di Indonesia terbatas jumlahnya sehingga harus praktik di banyak tempat, salahnya diagnosa atau dosis yang diberikan dokter atau apoteker, serta minimnya peran serta tenaga kesehatan untuk mensosialisasikan isu kesehatan yang sebenarnya urgent. Unek-unek terakhir ini lah yang ingin saya angkat dalam tulisan kali ini. Tulisan ini lahir dari pengalaman pribadi saya dan teman-teman yang kecolongan terjangkit virus karena ketidaktahuan kami untuk waspada dan karena minimnya edukasi dari dinas kesehatan.
Cerita kelam kehamilan saya
Saya berusia hampir 23 tahun saat saya mengandung. Kehamilan yang belum direncanakan ini membuat saya cukup kalang kabut dan kebingungan. Mengingat saya dan suami yang masih di usia produktif yang sedang getol-getol nya bekerja dan mengejar karir, kami memutuskan untuk menunda momongan. Tapi, Tuhan berkata lain. Ia melengkapi kodrat saya sebagai perempuan dengan mengirimkan janin dalam rahim saya. Saya menjalani kehamilan dengan santai. Tak pernah sedikit pun terbersit pikiran yang negatif melihat semua kawan saya yang sudah lebih dulu hamil tidak mengalami gangguan apa pun. Suatu hari di trimester pertama kehamilan saya, saya merasa tidak enak badan. Yang saya rasakan saat itu adalah lemas luar biasa, pusing, dan nyeri pada sendi otot saya. Mata saya pun mudah berarir dan saya juga sempat mengalami demam tinggi selama 3 hari. Saat membawa keluhan-keluhan ini pada dokter spesialis kandungan, beliau mengatakan bahwa saya masuk angin biasa. Saat itu saya masih tinggal di Sangatta, sebuah kota pertambangan kecil di Kalimantan Timur. Lingkungan, udara, dan air yang tidak higienis membuat saya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta, kota asal saya. Di Yogyakarta, saya sempat berganti dokter spesialis kandungan sebanyak 3 kali. Sama dengan dokter di Sangatta, ketiga dokter spesialis kandungan di Yogyakarta pun juga meyakinkan bahwa kehamilan saya sehat wal'afiat.
Buah hati saya lahir dengan banyak 'kado'
Akhirnya, lahirlah putri saya pada tanggal 19 Mei 2012. Namanya Aubrey Naiym Kayacinta. Banyak harapan yang saya sematkan dalam namanya. Namun, Aubrey tidak seperti bayi-bayi pada umumnya. Aubrey selalu rewel siang dan malam. Ia hanya diam ketika menyusu dan tidur. Selebihnya ia selalu menangis. Di samping itu, Aubrey juga sangat kaku. Ia tak seaktif bayi-bayi seusianya. Aubrey, saat terjaga, hanya mampu tiduran di kasur tanpa menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya kepala saja yang ia mampu gerakkan. Itu pun dengan posisi yang aneh, yaitu mendangak, padahal posisi mendangakkan kepala sangat tidak lazim. Melihat itu tentu saya tak bisa diam. Saya membawa Aubrey menemui dokter spesialis anak. Sampai 4 dokter yang saya temui hanya untuk mendapatkan jawaban atas kekakuan dan ketidakaktifan Aubrey. Alih-alih mendapat jawaban yang saya cari, saya malah mendapat ucapan-ucapan seperti Ya ampun Bu, ini bayinya ndak apa-apa. Wong sehat gini. Ibu masih muda sih jadi gampang parno ya Bu. Jujur, saya sakit hati. Bukan ucapan seperti itu yang saya ingin dengar. Bukan tuduhan bahwa saya parno yang ingin saya dapatkan. Saya memang masih muda. Saya mungkin tidak sepengalaman ibu-ibu lain yang sudah lebih matang secara usia. Namun, saya tetap memiliki yang kita sebut dengan naluri seorang ibu. Dan naluri saya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Belum mendapat jawaban yang memuaskan atas keadaan Aubrey, saya menemukan hal mencengangkan lain. Aubrey sama sekali tidak bereaksi terhadap suara! Saya mencoba bernyanyi dan membanting pintu keras-keras tapi Aubrey tetap tidak merespon. Puncaknya saya meniup beberapa balon lalu saya letuskan balon-balon itu di dekat telinga Aubrey ketika ia sedang tidur. Ia tetap terlelap. Maka saya yakin there is absolutely something very very wrong with my daughter. Saya kembali membawa Aubrey ke dokter spesialis anak. Kali ini beliau berkata bahwa wajar kalau Aubrey belum merespon suara karena ia masih berusia 5 bulan. Wajar gimana sih? Semua literatur yang saya baca menegaskan kalau bayi 5 bulan seharusnya sudah mulai merespon suara kok. Akhirnya saya memaksa beliau untuk memberikan surat pengantar untuk melakukan tes BERA (tes untuk mengetahui ambang dengar) untuk Aubrey.
Hasilnya: Aubrey mengalami gangguan pendengaran sangat berat. Ia baru bisa mendengar di 105 dB, suara itu setara dengan suara pesawat. Orang-orang normal berkomunikasi di 25-30 dB.
Hasil tes BERA Aubrey |
Posisi mendangakkan kepala |
Aubrey sedang menjalani CT Scan |
Aubrey sedang menjalani tes ASSR |
Aubrey and her hearing aids |
Setelah mendapat hasil tes BERA, saya membawa Aubrey menemui dokter spesialis anak kembali. Baru lah beliau bertanya, "Dulu TORCH Ibu gimana?" Saya baru mendengar TORCH detik itu juga. Kemudian Aubrey melakukan tes darah untuk screening TORCH. Hasilnya Aubrey positif terinfeksi virus Rubella saat ia masih berada dalam kandungan. Singkat cerita virus Rubella menyebabkan Aubrey mengalami kebocoran jantung (PDA dan ASD), mikrosefali (ukuran kepala kecil), encephalitis (pengapuran otak), TB paru-paru, retardasi psikomotorik, gangguan berat badan, dan gangguan pendengaran sangat berat. Saat ini di usianya yang ke 18 bulan, Aubrey masih 8 kg saja dan baru belajar duduk. Semua perkembangannya terlambat.
Apa itu TORCH?
Setelah mendapati keadaan Aubrey, saya mulai mencari tau tentang TORCH. Mengapa ia begitu kejam. Saya jadi getol browsing di internet dan mengikuti seminar tentang TORCH. Dari yang saya pelajari, TORCH adalah kumpulan virus Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes. TORCH tidak berbahaya jika menginfeksi dewasa yang tidak mengandung dan anak-anak. TORCH menjadi sangat berbahaya jika menginfeksi ibu yang sedang mengandung karena dapat menginfeksi janin yang dikandung dan menyebabkan berbagai macam gangguan.
Menurut sumber di sini, infeksi TORCH yang menyerang ibu hamil dapat memberikan dampak-dampak ini pada janin:
- kerusakan mata (radang mata)
- kerusakan telinga (tuli)
- kerusakan jantung
- gangguan pertumbuhan
- gangguan saraf pusat
- kerusakan otak (radang otak)
- keterbelakangan mental
- pembesaran hati dan limpa
Cerita kelam kawan-kawan
Tak hanya saya yang kecolongan karena saya buta akan TORCH selama hamil, banyak kawan saya yang ternyata mengalami pengalaman serupa. Saat mereka merencanakan kehamilan dengan menemui dokter spesialis kandungan, mereka tak mendapatkan edukasi tentang TORCH; bahaya dan cara mencegahnya. Itu membuat mereka tidak tahu bahwa mereka perlu memproteksi diri mereka sebelum mengandung. Gimana mau memproteksi wong ndak tau TORCH itu apa, apa bahaya nya, dan gimana mencegahnya.
Wajah kesehatan di Indonesia
Berdasarkan pengalaman pribadi saya dan teman-teman, saya menyimpulkan beberapa hal. Yang pertama, dinas kesehatan dan tenaga kesehatan di Indonesia sama sekali belum menyadari bahwa isu TORCH sudah semakin merebak. Data terakhir mengenai anak yang lahir dengan Congenital Rubella Syndrome seperti Aubrey diambil sudah lama sekali, yaitu pada tahun 1999. Di tahun 1999 tercatat 'hanya' ada 7 kasus. Sekarang sudah tahun berapa? Jelas data tersebut sudah tidak valid dan perlu diperbaharui. Yang kedua, tenaga kesehatan sebenarnya paham betul bahwa TORCH bisa memberikan dampak membahayakan pada janin tapi memilih untuk tidak menganjurkan pasien mereka untuk screening TORCH dan vaksin MMR. Itu mereka lakukan mungkin karena mereka terlalu positive thinking atau takut dibilang meribetkan pasien untuk tes ini dan itu. Yang ketiga, dinas kesehatan sama sekali belum mengalokasikan dana khusus bagi anak-anak yang lahir dengan TORCH kongenital. Berbeda sekali dengan anak-anak penderita kanker, Down Syndome, atau Cereblal Palsy, anak-anak dengan TORCH kongenital masih sangat jarang diperhatikan. Sekali lagi, itu karena isu TORCH masih dianggap sebelah mata.
Edukasi kesehatan pada masyarakat
Lantas, langkah apa yang harus segera diambil supaya jumlah anak yang lahir dengan TORCH kongenital tidak semakin bertambah? Menurut saya, sudah jelas, edukasi TORCH pada masyarakat. Masyarakat kita tidak mungkin paham pentingnya memproteksi kehamilan mereka dengan melakukan screening TORCH dan vaksin MMR jika mereka tidak mengerti mengapa itu penting, bukan? Biaya screening TORCH dan vaksin MMR yang tidak bisa dikatakan murah juga semakin membuat masyarakat enggan melakukannya. Tapi saya yakin ketika mereka paham betul tentang bahaya TORCH, mereka akan mengesampingkan biaya screening TORCH dan vaksin MMR. Apalagi biaya mengobati anak dengan TORCH kongenital berkali-kali lipat lebih mahal daripada upaya pencegahan dengan screening TORCH dan vaksin MMR. Mencegah jauh lebih baik dan lebih murah daripada mengobati, bukan?
Edukasi TORCH pada masyarakat menjadi esensial di sini untuk menyadarkan masyarakat bahwa kehamilan layak diproteksi dari TORCH. Firstly, harus ada edukasi terlebih dahulu mengenai apa itu TORCH dan apa dampaknya pada janin. Secondly, edukasi tersebut harus diikuti dengan edukasi bagaimana untuk memproteksi kehamilan dari TORCH, yaitu dengan screening TORCH dan vaksin MMR. Edukasi TORCH pada masyarakat ini saya harapkan nantinya akan menjadi sosialisasi dan kampanye sehingga masyarakat Indonesia semakin melek terhadap TORCH. Dinas kesehatan bisa mulai memasukkan edukasi TORCH ini dalam MDG mereka. Kemudian mereka bisa mengalokasikan dana untuk mendukung jalannya edukasi dengan membuat media seperti poster, flyer, spanduk, kaos, bahkan seminar untuk mengedukasi masyarakat. Edukasi ini tentunya juga harus menggandeng rumah sakit di daerah-daerah supaya edukasi dapat diterima oleh semua masyarakat.
Rumah Ramah Rubella
Saya sadar saya tidak bisa dan tidak boleh berpangku tangan menunggu aksi nyata dari dinas kesehatan untuk mengedukasi TORCH pada masyarakat. Saya ingin berbuat sesuatu untuk mengedukasi masyarakat akan TORCH. Pada tanggal 2 Oktober 2013 lalu, saya mendirikan komunitas Rumah Ramah Rubella. Komunitas ini memiliki visi dan misi untuk mensosialisasikan dan mengkampanyekan tetek bengek dari TORCH mulai dari pemahaman tentang TORCH, pecegahannya, dan dampaknya pada janin. Saat ini kami masih bergerak di dunia maya. Tahun depan kami sudah mengagendakan beberapa hal untuk mewujudkan visi dan misi kami. Harapan saya adalah masyarakat Indonesia semakin terdukasi mengenai bahaya TORCH pada kehamilan supaya tidak ada lagi Aubrey-Aubrey yang lain. Kalau menunggu dinas kesehatan bergerak, kapan masyarakat Indonesia mendapatkan edukasi perihal TORCH?
Masyarakat Indonesia Belum Terdukasi tentang TORCH
Setiap orang melihat keadaan Aubrey yang kecil, tidak aktif, dan memakai alat bantu dengar, mereka selalu bertanya ada apa dengan Aubrey. Ketika saya jawab kondisi Aubrey disebabkan oleh virus Rubella yang menyerang kehamilan saya, begini rata-rata jawaban mereka,
"Rubella itu apa toh bun?"
"Itu yang karena kucing itu ya?"
"TORCH itu apa?"
"Oh, bisa ya kena virus waktu hamil?"
"Dulu waktu hamil suka makan daging ndak mateng ya pasti?"
"Itu bisa sembuh ndak bunda?"
Jawaban-jawaban mereka yang jujur bukan kah semakin menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum mendapatkan edukasi yang layak perihal TORCH?
"Rubella itu apa toh bun?"
Rubella adalah salah satu virus yang tergolong dalam kumpulan virus TORCH yang dapat membahayakan janin jika menyerang ibu hamil.
"Itu yang karena kucing itu ya?"
Salah. Rubella tidak disebabkan oleh kucing. Toksoplasma lah yang disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan kucing. Penting untuk diingat bahwa bukan kucing nya yang menyebabkan Toksoplasma, namun tinja kucing lah yang membawa bakteri Toksoplasma karena tinja kucing mengandung ookista.
"TORCH itu apa?"
TORCH adalah kumpulan virus yang terdiri dari Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes.
"Oh, bisa ya kena virus waktu hamil?"
Sangat bisa, jika kita tidak mempersiapkan dan memproteksi kehamilan dengan baik.
"Dulu waktu hamil suka makan daging ndak mateng ya pasti?"
Salah. Rubella tidak disebabkan oleh daging yang kurang matang. Bakteri Toksplasma lah yang disebabkan oleh daging yang kurang matang. Rubella sendiri ditularkan melalui cairan tubuh seperti air liur.
"Itu bisa sembuh ndak bunda?"
Tidak tepat. Rubella bukan penyakit. Rubella adalah penyebab dampak-dampak gangguan pada anak. Rubella tidak bisa disembuhkan karena memang bukan penyakit. Virus Rubella akan mati/tidak aktif dengan sendirinya. Jadi, yang disembuhkan bukan virus Rubella nya melainkan dampak-dampak yang diberikan oleh virus Rubella.
Jawaban-jawaban yang digarisbawahi lah yang sebenarnya saya harapkan dari masyarakat untuk menunjukkan bahwa mereka sudah melek TORCH. Nyatanya? Mereka sama sekali belum melek TORCH karena memang belum ada edukasi TORCH pada masyarakat Indonesia yang layak.
Jadi, apakah kita akan berdiam diri saja sambil melihat angka anak-anak yang lahir dengan TORCH kongenital semakin banyak? Tentu tidak, bukan? Maka dari itu, mari bersama tingkatkan kesadaran akan TORCH pada masyarakat dengan cara memberikan edukasi TORCH pada masyarakat Indonesia. Saya mengajak teman-teman, siapa saja yang membaca tulisan saya ini, untuk ikut aktif mensosialisasikan TORCH minimal pada 1 orang setiap harinya.
Mari berbagi peran dengan dinas kesehatan untuk mewujudkan edukasi TORCH untuk masyarakat Indonesia.
saya baru tahu mbk,makasih banyak infonya,,sangat bermanfaat sekali ^^
ReplyDeletewaktu itu saya tes torch 2x, sbelum & ketika hamil (saking parnonya)..
ReplyDeleteitu atas inisiatif saya sendiri, bukan rekomendasi dr dokter..
saya juga terkena TORCH, anak pertama meninggal saat lahir karena kelainan anenchepalus (tengkorak bagian atas tidak terbentuk) dan kelainan jantung.
ReplyDeleteAkhirnya cari tau tentang TORCH dan ternyata banyak juga ya yang belum tau apa itu TORCH.
mari kita sebarkan seluas2nya info ttg TORCH.. penting banget..
makasih Bun sharingnya..
@nisa : sama bgd ceritanya mbak dengan saya.
Deleteanak saya juga meninggal saat usia janin 4bulan, lebih tepatnya harus diaborsi. sekarang ntahlah saya belum kembali memiliki anak.
@gracie : cerita mbak ttg torch sangat mewakili orank2 yg kena torch, mbak harus semanggadd and kalau saya bisa membantu maka saya ingin sekali.
@Mbak Hana: Syukurlah kalau bisa dirasa manfaatnya :)
ReplyDelete@Mbak Nathalia: Wah, hebat, berarti Mbak sudah melek TORCH ya walau dokter nggak merekomendasikan :")
@Mbak Nisa: Setuju Mbak. Ayok kita sebarkan informasi ini seluas-luasnya. Tutur sedih untuk anak pertama Mbak ya, semoga menjadi tabungan amal di sisi-Nya. Amin.
wah, saya dapet ilmu baru disini. terima kasih mba ;)
ReplyDeletesalam untuk sikecil ya...tetap semangat *hug
Terima kasih untuk sharingnya mbak
ReplyDeleteIni penting banget bagi ibu2 ya :)
@Mak Irma: Hehe, sama-sama Mak :*
ReplyDelete@Mak Esti: Iya, penting banget, semoga jadi pada aware ya. Amin. :)
izin share, ya, Bunda... artikelnya super bermanfaat ;)
ReplyDelete@Mbak Ania: Silakan aja Mbak :))
ReplyDeleteWah..saya baru melek juga dgn si TORCH. Selamat ya mbak artikelnya terpilih jadi pemenang. Salam buat Audrey...
ReplyDeleteTengkyu Mbak Eka. Infoin ke teman-teman lain ya supaya pada ikutan melek. Hihi. Salam balik dari Aubrey :))
ReplyDeleteYa allah mak..baru tau kisah lengkapnya. ternyata dikau sempat dicap paranoid segala. betewe mak, proteksi apa yg harus dilakukan selama hamil?kalo belum hamil kan bisa vaksin..MMR ya? tapi kalau dah terlanjur hamil gimana?
ReplyDeleteDicap paranoid dan kemrungsung, Mak. Hiks. Kalau sudah terlanjur hamil, palingan dengan menjaga daya tahan tubuh supata tetap fit dan nggak boleh terlalu capek. Untuk menghindari Tokso, dengan hati2 memilih makanan, makan daging dan sayur yg sudah bener2 matang. Selain itu, jangan menjenguk bayi yg sudah terdeteksi terinfeksi TORCH. Kalau mau memastikan apa kehamilannya aman dari TORCH, bagus banget kalau screening TORCH. :)
ReplyDeleteKalau cmv bgmana bun? Di kehamilan pertama sy meninggal d dlm kandungan ketika sdh d ruang bersalin saat uk 37w6d..setelah itu sebelum promil lg sy periksa k spog tp beliaunya tdk menyarankan u torch.. Sampai uk 8 bulan sy periksa k spog tsb. Berhubung pindah kota sy ganti spog... Dokter yg baru, melihat riwayat kehamilan sebelumnya menyarankan u tes torch, tp hanya toxo n cmv ja. (fyi sys uda pernah vaksin mmr th 2008) hasilnya toxo negatif tp u cmv menandakan kalo sy pernah kena virus tsb.. Kt dokter si ndak pa2 krn virusnya sdh tidak aktif.. Tp sy kdng mash khawatir jg.. Yg mau sy tanyakn apakah dampak virus rubella sm dgn cmv? Maaf kalo ceritanya kepanjangan..
ReplyDeleteKalau cmv bgmana bun? Di kehamilan pertama sy meninggal d dlm kandungan ketika sdh d ruang bersalin saat uk 37w6d..setelah itu sebelum promil lg sy periksa k spog tp beliaunya tdk menyarankan u torch.. Sampai uk 8 bulan sy periksa k spog tsb. Berhubung pindah kota sy ganti spog... Dokter yg baru, melihat riwayat kehamilan sebelumnya menyarankan u tes torch, tp hanya toxo n cmv ja. (fyi sys uda pernah vaksin mmr th 2008) hasilnya toxo negatif tp u cmv menandakan kalo sy pernah kena virus tsb.. Kt dokter si ndak pa2 krn virusnya sdh tidak aktif.. Tp sy kdng mash khawatir jg.. Yg mau sy tanyakn apakah dampak virus rubella sm dgn cmv? Maaf kalo ceritanya kepanjangan..
ReplyDelete@Ummu Hasan: Halo mbak, salam kenal ya. Makasih sharingnya :) Maksud dampak Rubella apakah sama dg CMV itu maksudnya pada bayi nya kah? Kalau pada bayi, iya, kebanyakan dampaknya mirip, yaitu meliputi gangguan jantung, pendengaran, dan motorik. Benar kata dsog nya, nggak apa2 kalau hamil saat CMV nya sudah negatif. Tapi, perlu hati2 ya, krn CMV beda dg Rubella. CMV itu virus 'tidur' dalam artian dia bisa 'bangun' sewaktu2. Jadi, kalau memang mau hamil lagi, selain mbak yg perlu screening CMV utk pastikan si virus sudah negatif, suami mbak juga perlu lakukan itu krn kuatirnya suami juga kena CMV padahal CMV bisa menular via hubungan suami istri, jadi takutnya efek pingpong.
ReplyDeleteBun skrg bayinya umur brp? Apa keadaannya sehat?
ReplyDelete@Bunda Anti: Halo mbak, makasih sharingnya. Anak saya juga lahir dengan virus Rubella karena ketidaktahuan saya mengenai TORCH ketika hamil. Virus Rubella menyebabkan Dedek Fariq menderita kebocoran jantung, TB Paru-Paru, katarak congenital, hypospadia dan gangguan pendengaran sangat berat. Saat ini Dedek Fariq (usia 15 bulan), 3 bulan yang lalu baru selesai operasi mata kanan dan kiri. Pasca operasi mata perkembangannya semakin baik yang sebelumnya cenderung pasif (hanya tiduran saja) sekarang sudah bisa duduk dengan tegap tapi perlu dibantu dari tidur ke duduk dan sekarang sedang belajar berdiri. Respon terhadap lingkungan sekitar juga baik tapi kebiasaan sering melihat ke atas belum hilang dan kurang fokus perhatiannya mudah berpindah2 setiap ada benda atau orang bergerak di sekelilingnya. Harapan saya semoga angka kelahiran anak2 dengan TORCH kongenital semakin berkurang, tapi bagaimanapun dedek Aubrey dan dedek Fariq adalah anak2 yang istimewa dari mereka, saya belajar banyak hal.
ReplyDeleteSaya juga terinfksi rubella dan cmv, ank pertama meninggal d usia khmilan 7bln, yg k2 harus kuretase, rasanya saya trauma buat hamil lagi ��
ReplyDelete