Sumber |
"I'm going to present today 10 things that many special needs families often don't talk about, but do often feel. It's a given that we love our children, and you'll hear us talk about that and the rewarding parts of raising them, but this is some of the hard stuff:"
Membaca kalimat Hannah di atas, hati saya mimbik-mimbik. Kayaknya bakal ngerasa tertampar nih, begitu pikir saya. And yes it happened. Setelah merasa tertampar, saya pengen bikin 10 hal versi saya, sesuai yang saya dan keluarga saya alami dan rasakan.
1. "Ya ampun, kasihan banget sih anaknya. Kok bisa gitu sih? Kasihan ya..."
Itu adalah kalimat yang sering banget saya dengar dari orang yang baru pertama kali tau atau melihat kondisi Ubii. Kadang ada yang bilang begitu sambil mengerutkan kening dengan wajah sedih. Saya tau mungkin mereka cuma ingin menunjukkan simpati mereka atau mungkin bingung harus berkomentar apa setelah mengetahui kondisi Ubii. Tapi kalau boleh jujur, ucapan-ucapan bernada begitu itu kurang enak didengar, baik buat saya atau suami. Yang terpikir begitu mendengar ucapan begitu adalah, "Iya ya.. Ubii beda dari anak lain." Terus kami malah jadi mellow sendiri setelah orang itu pergi. Ibu dengan anak berkebutuhan khusus nggak pengen dikasihani seperti itu. Apalagi kalau si ibu belum bisa benar-benar ikhlas menerima kondisi anaknya. Denger ucapan kayak gitu malah bikin down sebenernya. Kami ingin mendengar ucapan-ucapan yang bisa membuat kami bersemangat. Jadi, alih-alih menyatakan rasa kasihan dan iba, akan jauh lebih enak kalau bilang, "Semangat ya! Kamu pasti bisa kok. Ubii pasti bisa bertahan dan mengejar ketinggalannya." Nah, itu lebih enak. :))
2. "Kok kamu kayaknya cari job terus sih? Terus kapan istirahatnya?"
Pertanyaan ini pernah beberapa kali saya dapat dari beberapa teman. Apalagi baru-baru ini saya juga lagi getol buka lapak di Instagram saya, ngejualin baju-baju Ubii jaman bayi dulu dan barang-barang bekas kado yang belum pernah dipakai. Kemudian kebetulan sejak beberapa bulan yang lalu suami saya menyetujui tawaran dari kantornya untuk mulai bekerja pukul 6 pagi. Sebetulnya awalnya suami saya bekerja mulai pukul 8 pagi. Suami saya bekerja di sebuah Australian based agency di mana klien-klien mereka adalah bule dan hubungan dengan klien dilakukan lewat Skype atau media online lainnya. Perbedaan waktu membuat jam kerja di Australia = pukul 6 pagi waktu Indonesia. Dengan menerima tawaran ini, suami saya mendapatkan bonus fee per bulan, seharga obat yang perlu dikonsumsi Ubii dalam satu bulan. Itu sangat berarti buat kami. Waktu ada teman yang tau, dia berkomentar, "Hah, edan, jam 6 udah kerja?! Apa nggak kasian suamimu?" Hal-hal semacam ini kadang membuat beberapa teman bertanya, "Kok kalian kayak nggak ada cukupnya sih?" Saya setuju banget sama apa yang dibilang Hannah. We are working so hard because we want to make sure that we're doing everything possible for our child to reach their fullest potential. Bukan karena kami merasa apa yang kami dapatkan masih saja kurang. Bukan karena kami merasa nggak ada cukupnya untuk materi. Bukan karena kami mata duitan. Bukan karena kami nggak ada capeknya, nggak ada cukupnya. Tapi untuk Ubii. Biaya pengobatan rutin yang nggak sedikit (Fisioterapi 720.000/bulan, obat-obatan 300.000/bulan, dan konsultasi dokter 100-150.000/bulan) ditambah dengan biaya tes-tes ini itu kalau sedang ada yang perlu dicek membuat kami merasa wajib mempunyai tabungan untuk dana jaga-jaga. Tentu saja kami masih belum semandiri itu. Keluarga besar masih sangat banyak membantu biaya pengobatan Ubii. Tapi kami juga nggak mungkin selalu mengandalkan itu, kan? That's why we want to take any opportunity to earn more money.
3. "Kalau emang pengeluaran kalian besar, kenapa sering beliin Ubii mainan?"
Mungkin ini lebih ke sisi sentimentil kami. Melihat anak-anak seusia Ubii sudah bisa main ini itu dan punya mainan kesukaan, kadang kami jadi bertanya-tanya, "Kira-kira Ubii sudah bisa belum ya main mainan itu? Kira-kira Ubii suka nggak ya?" Ubii, dengan kemampuan motorik dan kognitif yang terlambat, belum bisa bermain banyak hal. Mungkin Ubii juga rada picky, karena kadang Ubii cuma mau main dengan beberapa mainan saja yang menurut versinya menarik. Itu membuat kami ingin mencoba memberikan mainan-mainan baru buat Ubii, untuk melihat apa Ubii tertarik, apa Ubii bisa, apa Ubii mau. Saat kami membelikan mainan baru dan ternyata Ubii suka dan mau bermain dengan itu, rasanya senang bukan kepalang. 'Menabung' mainan buat Ubii juga ternyata memberikan semangat dan motivasi buat kami untuk terus giat melatih Ubii dan membawanya fisioterapi supaya ia bisa segera bisa bermain dan menikmati keseruan dunia bermain.
4. "Yah kok nggak jadi ikut? Kemarin bilangnya mau ikut?"
Sering banget kami sudah menyetujui untuk mengikuti acara bersama teman atau saudara tapi pas hari-H kami batal dan nggak jadi ikut. Entah karena nggak bisa menitipkan Ubii ke eyangnya, atau badan Ubii terasa kaku hari itu sehingga kami membuat jadwal fisioterapi dadakan. Atau bisa juga karena jam bangun Ubii molor sehingga jadwal makan, mandi, dan minum obatnya pun ikutan molor. Jadi mendekati jam janjian, agenda mengurus Ubii belum selesai. Ada yang bertanya, "Kalau gitu kenapa Ubii nggak diajak aja? Simple kan. Banyak kok yang juga ngajakin anaknya." Itu nggak se-simple itu buat kami. Kalau acara diadakan di tempat terbuka dengan dihadiri banyak orang, mengajak Ubii rasanya kurang nyaman. Apalagi daya tahan tubuh Ubii juga nggak sebaik anak-anak yang normal. Tentu kami lebih memilih membatalkan untuk ikut daripada mengajak Ubii lalu Ubii kecapekan dan badannya jadi kaku lalu sakit dan rewel. Membawa Ubii ke luar di tengah jam-jam nya minum obat juga agak ribet karena berarti kami harus membawa obat dan gelas obatnya. Belum lagi kalau ada yang nggak tega melihat Ubii minum obat lalu jadi berkomentar, "Kok kamu tega sih?" karena kadang saya harus memencet hidung Ubii supaya Ubii mau menelan obatnya. Dibilang tega di tengah banyak orang lainnya itu rasanya kurang menyenangkan. Mereka nggak merasa kalau sebenarnya hati saya juga mewek tiap kali harus memencet hidung Ubii sampai kadang Ubii jadi menangis. Tapi pilihan saya cuma itu. Kalau nggak 'dipaksa' minum obat, gimana Ubii bisa sembuh? Sering membatalkan janji karena Ubii membuat saya dan suami dijuluki omdo alias omong doank. Sedih sih, tapi mau gimana lagi. Jujur saja sebenarnya saya sangat rikuh dan nggak enak kalau harus membatalkan janji. Saya merasa jadi mengecewakan orang lain. Saya merasa payah karena nggak bisa menepati janji. Saya merasa takut kalau orang-orang jadi nggak percaya lagi sama saya. Tapi beneran, Ubii tetap harus jadi prioritas. Syukurlah, selama ini teman-teman dan saudara-saudara terlihat mengerti dan memaklumi (semoga dalam hati juga ya). Thank you for understanding our situation. Maaf ya kalau kadang saya nggak jadi ikut acara bersama kalian..
5) "Kok Ubii tidur nya jam sekian, kok nggak pakai kaos dalam, kok ini itu ini itu?"
Saya selalu percaya ritme dan karakter satu anak dari anak lain itu berbeda dan unik. Nggak bisa disamaratakan. Anak A sudah bisa ini di usia sekian, bukan lantas anak B juga seharusnya sudah bisa. Apalagi anak normal dengan anak berkebutuhan khusus, jelas beda banget dan sangat nggak bisa disamakan. Kadang kebiasaan atau policy saya untuk Ubii dibanding-bandingkan. Rasanya nggak enak loh. Huhuhu. Hal yang paling sering ditanyakan adalah kenapa Ubii kalau tidur malem-malem dan bangunnya siang. Kenapa nggak dibiasakan tidur lebih awal sehingga bangunnya bisa lebih pagi. Kalau boleh milih, saya juga pengennya ritme tidur Ubii lebih baik, lebih awal biar malam-malam saya bisa ngaso-ngaso dan quality time sama suami. Hehehe. Tapi untuk sekarang masih susah. Ubii harus fisioterapi 3x seminggu. Fisioterapi nya pukul 8 sampai pukul 9 malam. Biasanya kami baru sampai di rumah pukul 10 malam. Otomatis Ubii baru bisa tidur setelah pukul 10 malam. Dulu Ubii masih bisa tidur dengan digendong, jadi di dalam mobil dia bisa langsung tidur seusai fisioterapi. Sekarang Ubii sudah susah tidur di mobil. Dia suka banget ngeliatin lampu-lampu mobil dan traffic lights di sepanjang perjalanan. Ada yang bertanya, "Kalo gitu kok nggak siang-siang aja fisioterapi nya?" Hmm, pengen sih bisa begitu. Tapi kalau siang suami saya masih kerja, jadi nggak ada yang mengantar untuk fisioterapi. Pernah beberapa kali naik taxi, tapi sayang ongkosnya karena sekali jalan pulang pergi bisa habis 80.000. Naik motor berdua dengan Ubii, saya kok belum tega karena Ubii suka panik kalau kena angin. Ubii juga belum kuat duduknya, jadi rasanya kurang aman kalau harus menggendong Ubii naik motor berdua. Sayangnya saya nggak bisa nyetir, jadi memang masih harus bergantung sama suami. Dari dulu pengen kursus nyetir supaya lebih mandiri, sudah didesak suami dan eyang Ubii juga tapi siapa yang mau jaga Ubii kalau saya kursus? Mungkin besok-besok mau tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah) dulu deh sementara supaya saya bisa kursus dan ada yang menjaga Ubii. Hehehe. Baru itu sih solusi yang terpikirkan. Doakan yaaa. Itu contoh kecil aja sih. Ada beberap hal lain lagi yang dipertanyakan dan dibandingkan. Saya bisa menanggapi dengan santai sih biasanya. Tapi kalau lagi nggak mood, saya kadang cemberut juga. Hehehe. Namanya juga manusia, ada kalanya kita nggak mood dan nggak nyaman kalau dibanding-bandingkan, kan? :))
6. "Kok kamu suka nitip Ubii terus main sendiri sih? Kok tega?"
Jawaban saya persis sama jawaban Hannah. Copy paste nih ceritanya. Hahahaha. Saya setuju karena beneran merasakan sendiri. Mengasuh SNC (Special Needs Child) itu sangat butuh stress management yang bagus. Saya pernah memaksakan diri, kasih 100% semuanya buat Ubii, ya waktu, tenaga, perhatian, dan lain-lain. Saya nggak sadar kalau ternyata saya capek. Akhirnya capek itu meluber dan saya ngamuk sama suami jadinya, cuma karena masalah nggak penting banget. Ternyata capek yang terpendam dan nggak disadari malah bisa jadi bikin saya nggak sehat. Hubungan sama suami ikutan jadi nggak sehat. Akhirnya sekarang saya bikin komitmen sama suami. Ketika salah satu dari kami ada yang sudah mulai ada tanda-tanda jenuh dan butuh me time, monggo. Asal bilang nya nggak mendadak. Asal sama teman sesama jenis. Kalau beda lawan jenis, masing-masing harus kenal dulu siapa orangnya. Pernah suatu kali suami saya sudah capek dan jenuh, dia request untuk me time. Terus dia movie marathon sama temen kantornya. Nonton 3 film berturut-turut lalu jalan sama temennya. Pulang-pulang, suami jadi lebih 'waras', jadi lebih segar, dan jadi siap untuk memberikan yang terbaik lagi untuk saya dan Ubii. Merasa capek dan jenuh terus minta time out untuk me time itu manusiawi dan lumrah banget. Itu nggak salah. Itu bukan berarti kita nggak sayang sama anak. Jadi nggak perlu ada rasa bersalah juga kalau kita memang butuh me time. Itu yang saya rasakan. Tapi kayaknya label Ges sebagai Mami nya Ubii itu udah kuat banget. Tiap saya pergi sendiri dan ketemu teman, pasti mereka bertanya, "Ubii di mana, kok nggak diajak, sekarang sama siapa?" dan lain-lain tentang Ubii. Saya paham dan tentunya saya senang teman-teman begitu perhatian sama Ubii. Tapi jujur ya... kadang saya pengen juga pergi dan kumpul-kumpul sama teman tanpa ada embel-embel Mami nya Ubii. Just me as myself, Ges, yang cerewet, katrok, medok, spontan, dan kadang suka heboh sendiri
Salah satu me time saya: kupdar sama teman blogger :) |
7. "Ubii pakai alat bantu dengar berarti Ubii cacat dong?"
Ya, saya dan suami sadar kalau Ubii memakai alat bantu dengar di telinganya. Kami sadar kalau Ubi punya disabilitas dengan keadaannya. Tapi itu bukan berarti kami selalu bisa legowo saat mendengar Ubii dikatai cacat. Rasanya kata 'cacat' itu kok kurang sopan ya. Rasanya agak kasar. Hearing aids kan alat untuk membantu (mendengar) sama kan seperti fungsi kacamata, untuk membantu si pemakai (dalam melihat). Apa berarti banyak orang yang matanya minus atau plus juga cacat karena memakai kacamata untuk membantu melihat dengan jelas? Menurut saya sih enggak ya. Alih-alih memakai kata 'cacat', kata 'difable/difabel' akan jauh lebih enak didengar loh. Difable artinya different ability. Itu yang selalu pengen kami yakini, anak-anak kami hanya punya kemampuan yang berbeda dari anak-anak lain.
8."Ih sebel anakku lari-lari terus, gak bisa diem. Gemes deh rasanya."
Sering saya membaca atau mendengar mama dengan anak normal berkeluh kesah seperti itu. Atau mungkin karena situasi lain seperti coret-coret tembok, atau nggak bisa berhenti bertanya, dan lain-lain. Hmm, saya bisa memahami sih kalau badan dan pikiran kita sedang capek, anak nggak bisa anteng itu pasti ada rasa gemes. Apalagi kalau kerjaan kita sedang menumpuk, sampai rumah rasanya cuma pengen bisa mandi terus istirahat, diberondong pertanyaan anak yang nggak ada habisnya mungkin akan terasa sedikit gengges. Tapi, hey, ketika kamu mengeluhkan keaktifan anak-anakmu, ada banyak orangtua lain di luar sana yang setengah mati berharap supaya anak-anak mereka bisa aktif seperti anak-anakmu. Saat kamu mengeluhkan anakmu yang nggak bisa diam karena banyak bertanya, syukurilah. Itu artinya anakmu punya rasa ingin tau yang besar dan ingin belajar. Di sini, saya dan mungkin ibu lain dengan anak yang juga mengalami gangguan dengar, butuh latihan yang rutin, biaya untuk terapi, dan kesabaran untuk menunggu, hanya untuk anak-anak kami bisa mendengar. Jangankan bilang mama atau papa, mendengar dan mengenali suara saya pun, Ubii belum bisa. Saat kamu gemas karena anakmu mencoret dinding bukannya kertas, syukurilah karena mungkin anakmu punya imajinasi dan kreativitas nya sendiri. Di sini, saya dan mungkin ibu lain dengan anak yang juga mengalami keterlambatan motorik, masih harus mengusahakan supaya anak kami bisa menggenggam benda. Ya, hanya menggenggam. Sesuatu yang mungkin nggak dipandang sebagai kemajuan yang wah atau hebat. Jangankan menggenggam pensil yang pipih, menggenggam mainan yang ukurannya lebih besar sehingga (seharusnya) lebih mudah digenggam pun, Ubii belum bisa. Jangankan menggenggam, meraih benda yang agak jauh dari jangkauannya pun, Ubii belum bisa. Saat kamu jengkel karena anakmu berlarian kesana kemari, syukurilah. Itu artinya kemampuan motorik anakmu sangat baik dan anakmu punya tenaga dan keaktifan yang bagus. Di sini, saya dan mungkin ibu lain dengan anak yang juga mengalami retardasi psikomotorik, masih harus rutin membawa anak-anak kami untuk fisioterapi dan latihan sendiri di rumah supaya keterlambatan motorik anak-anak kami bisa terkejar sehingga anak-anak kami bisa sama aktifnya dengan anak-anak kalian. Jangankan berlari, untuk duduk sendiri pun, Ubii belum bisa, padahal kini usianya 2 tahun 2 bulan dan sudah belajar duduk selama 1 tahun.
Saat saya mendengar keluhan seperti itu, tau kah kalian apa yang terlintas dalam hati saya? Saya spontan bicara pada diri sendiri, "Aku rela deh tiap hari ngejar Ubii lari-lari sampai ngos-ngos an, jawab pertanyaan-pertanyaan Ubii sampai pusing sendiri, atau seluruh dinding rumahku ternoda coretannya, yang penting semua milestone dan ketinggalan Ubii sudah terkejar." Maaf, sekali lagi maaf. Bukannya saya mau menghakimi, atau bilang kalau merasa jengkel itu salah. Saya tau banget perasaan gemas itu lumrah sekali. Mungkin kelak saya juga akan sekali waktu merasa begitu kalau Ubii usil saat saya sedang capek. This is just a little reminder for you to be more and more grateful. This is just a simple reminder for you to see things from different perspectives. :)))
9. "Kok perasaan pembantumu gak pernah awet sih? Kamu kali yang nuntut macem-macem."
Hih. Saya jujur ya, gemes loh kalau dibilang gitu. Mungkin ini ucapan yang paling bikin gemes. Nggak ada ibu yang nggak sedih kalau pembantu rumah tangga nya nggak awet. Nggak ada ibu yang nggak berusaha punya hubungan yang baik dengan pembantu rumah tangga supaya mereka kerasan membantu kita. Saya (dulu dan akan) mencari pembantu untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah saja, seperti menyapu, menyetrika, dan lain-lain sementara Ubii tetap saya yang mengasuhnya. Tapi ada waktu-waktu di mana saya atau suami mungkin punya urusan di luar rumah sehingga butuh untuk menitipkan Ubii. Saya yakin ibu dengan anak yang normal pun pasti akan lebih tenang kalau menitipkan anaknya pada pembantu yang sudah jelas bisa dipercaya dan sayang pada anak kita. Apalagi ibu dengan anak kebutuhan khusus, pasti hal itu menjadi poin utama buat kami, buat saya.
Saya pernah punya 3 orang pembantu. Yang pertama, sebut saja Mbak A, kebetulan buta huruf. Jadi agak sulit buat saya kalau ingin menitipkan pesan untuknya. Mbak A juga nggak bisa melihat dan mengerti jam. Jadi saya nggak bisa berpesan, "Nanti buatkan Ubii susu jam sekian ya, atau nanti Ubii diberi buah jam sekian ya, Mbak." Yang membuat saya lebih susah untuk bertoleransi adalah.. karena Mbak A sangat sulit diberi pengertian. Dokter dan terapis Ubii selalu berulang kali berpesan kalau Ubii nggak boleh sering digendong karena badan Ubii akan lebih mudah kaku kalau digendong terus. Kalau digendong terus kan pasti nya Ubii jadi jarang bergerak. Nah, itu nggak boleh. Selain itu, dokter dan terapis juga berpesan untuk nggak langsung menggendong Ubii kalau Ubii menangis supaya Ubii nggak terlalu manja. Supaya Ubii berusaha untuk menenangkan dan menolong dirinya sendiri dulu. Mbak A susah sekali memahami ini. Mungkin nggak tega. Jadi tiap Ubii oak oek sedikit (belum sampai menangis dengan air mata ya), langsung digendong. Alhasil Ubii jadi maunya digendong terus. Kami butuh waktu cukup lama untuk menghilangkan kebiasaan itu.
Pembantu kedua, sebut saja Mbak B, kerjanya sangat bagus dan keliatan sayang sama Ubii. Saya dan suami pun sudah percaya padanya untuk dititipi Ubii. Suatu hari saya butuh menitipkan Ubii karena saya harus mengambil hasil tes urine Ubii di rumah sakit. Kebetulan saat itu Ubii sedang mengalami infeksi saluran kencing. Jadi dokter benar-benar mewanti-wanti supaya Ubii pakai celana pop dulu dan nggak boleh memakai popok sekali pakai sama sekali sampai infeksi saluran kencingnya sembuh. Buat kami, anjuran dan wejangan dokter adalah sabda (tsaahh) dan sifatnya mutlak. Jadi tentu saja saya juga berpesan begitu pada pembantu sebelum saya pergi. Ia pun mengangguk-angguk tampak mengerti dan berjanji akan memakaikan celana pop saja. Setelah urusan saya selesai, saya langsung pulang ke rumah. Entah kenapa siang itu saya sudah mematikan motor sebelum motor benar-benar sampai di depan rumah. Saat saya masuk ke rumah, Ubii sedang main di karpet sendirian, guling-guling sendirian. Si Mbak tidur-tiduran di kamarnya. Oke, mungkin Mbak lagi capek, saya masih mencoba berpikir positif. Eh, tapi, ternyata....Ubii guling-gulingan sendiri pakai popok sekali pakai. Badalah. Saya langsung naik darah, tapi untunglah saat itu masih bisa menahan diri. Saya lalu menanyainya baik-baik, "Mbak kok Ubii pakai pampers?" Si Mbak menjawab, "Oh itu tadi Bapak yang pakein, Bu. Tadi Bapak sempat pulang ke rumah sebentar." Kontan saya langsung menelpon suami dan marah-marah. Suami saya kaget dan berkata, "Wong tadi pas aku pulang ke rumah Ubii dah pake pampers kok. Kukira kamu yang nyuruh Mbak makein pampers." Doeennggggg...... Setelah itu saya dan suami berdiskusi dan kami sepakat bahwa Mbak B berbohong karena mungkin ia takut kalau jujur bilang dia yang memakaikan popok sekali pakai. Beberapa hari kemudian, saat hati saya sudah adem, saya coba memberitahunya baik-baik kalau Ubii ini spesial. Ubii beda dari anak lain. Mungkin segala tetek bengek Ubii akan lebih ribet dari anak-anak lain seperti Ubii harus minum obat jam sekian, peralatan makan dan minum Ubii benar-benar harus dicuci dengan disikat sampai bersih kemudian disterilkan, Ubii belum boleh pakai pampers dulu sampai infeksi saluran kencingnya sembuh, dan lain-lain. Saya mencoba meminta pengertiannya bahwa mungkin itu akan lebih melelahkan dibanding mengurus anak lain, atau anaknya sendiri dulu. Tapi ya mau gimana lagi? Nggak lama kemudian, Mbak B pamit pulang karena kangen rumah dan kami tentu saja mengijinkan tanpa prasangka buruk. Ternyata Mbak B nggak kembali. Pfft.
Pembantu ketiga sebut saja Mbak C, ternyata baru lulus SD. Iya, Sekolah Dasar. Awalnya saya nggak mengira karena perawakannya lumayan besar. Ternyata memang ia yang nggak pengen sekolah lagi padahal ayah ibunya mati-matian membujuk Mbak C supaya meneruskan sekolah dan jangan bekerja dulu. Tapi Mbak C ngotot. Ya sudah kami pun mempekerjakannya. Mbak C datang di rumah kami hari Minggu malam. Saya ingat banget. Eh, besoknya, Senin malam, Mbak C sudah minta pulang. Katanya kangen rumah dan adik-adiknya. Ya sudah mau gimana lagi coba?
Gonta-ganti pembantu rumah tangga itu capek loh. Beneran. Saya nggak cari dan menuntut yang macam-macam kok. Nggak harus bisa masak deh. Kami toh sudah biasa masak nasi saja dan beli lauk. Kalau capek, nggak usah deh ngepel tiap hari. 2-3 hari sekali juga nggak apa-apa. Toh rumah kami juga nggak besar. Rasanya pekerjaan rumah juga nggak se-menumpuk di rumah-rumah yang besar kayak di sinetron. Mencuci? Ada mesin cuci. Setrikaan? Saya sudah bilang dari awal kalau menyetrika nggak usah langsung semua dan harus selesai saat itu juga kalau memang capek. Masa iya saya masih kurang baik? Saya cuma pengen si Mbak bisa sayang sama Ubii. Bisa memahami kalau mengasuh Ubii mungkin akan lebih capek daripada mengasuh anak-anak yang sehat. Bisa memahami kalau ada beberapa aturan yang kami dan para dokter tetapkan untuk kebaikan Ubii. Is that too much to ask? Jadi kalau ada yang komentar saya nuntut macem-macem dari pembantu sampai mereka nggak betah itu waduh... sebel juga saya. Hehehe.
Ternyata susah menemukan pembantu rumah tangga yang klik. Bisa memahami kondisi anak kita yang berkebutuhan khusus. Alih-alih memahami, kadang mereka malah merasa semakin ter-repot-kan (Is that even a word? Hehehe. Ini dilema nya. Most of the times kita merasa butuh bantuan. Tapi nggak gampang mencari orang yang mau membantu itu. Ini kesimpulan tentang pembantu rumah tangga dari curcolan saya yang panjang lebar di atas. Hihihi.
10. "Ubii kan udah pakai ABD (Alat Bantu Dengar), udah bisa ngomong apa? Hah, belum? Kok kalah sama si A/B/C? Mereka lebih telat pakai ABD dibanding Ubii tapi sudah bisa ngomong beberapa kata dan manggil papa mama nya loh."
Groar... Ini juga bikin saya campur aduk. Antara gemes, sedih, capek, sebel, kecewa, dan pengen mewek sambil garuk-garuk aspal. Saya capek harus menjawab pertanyaan-pertanyaan begini dan menjelaskan ke satu per satu orang yang bertanya kalau pakai ABD itu bukan otomatis anak bisa ngomong. Sebelum anak dengan gangguan dengar bisa ngomong setelah pakai ABD, mereka harus belajar mendengar dulu. Butuh waktu dan proses yang nggak sepele untuk menyadari (adanya dan dari mana) suara, mengenali suara, dan merespons suara. Baru setelah mereka bisa merespons suara, orangtua bisa move on ke tahap selanjutnya yaitu mengajari anak berbicara. Banyak yang mengira kalau setelah pakai ABD, Ubii akan otomatis bisa berbicara seperti anak seusianya yang normal. Saya sih maunya juga gitu. Sayang, it's NOT how it works. Nah kan, betapa beruntungnya kita yang lahir dengan pendengaran yang normal dan sehat...
Membandingkan progress Ubii pasca memakai ABD dengan anak lain juga perlu memperhatikan satu hal dulu. Anak A/B/C itu apakah hanya mengalami gangguan dengar? Kalau iya hanya itu, ya wajar mereka lebih cepat belajar mendengar dan bicara. Sedangkan Ubii juga mengalami keterlambatan motorik dan kognisi. Jadi nggak fair dong kalau anak saya dibanding-bandingkan dengan anak lai yang murni hanya gangguan pendengaran saja. Keterlambatan motorik dan kognisi Ubii kan juga menyebabkan Ubii nggak bisa secepat anak lain dalam belajar dan berproses. Jadi latihan-latihan mendengar yang saya bisa kasih ke Ubii pun terbatas. Nggak bisa sevariatif dan secepat anak-anak lain yang hanya tuna rungu. That's why Ubii sangat lambat kemajuannya. Terus ditanyai kenapa Ubii belum bisa ngomong itu meresahkan. Di satu sisi, saya pengen membela Ubii karena keadaanya multi-disabilitas. Di sisi lain, saya malah jadi sedih dan akhirnya bilang sama diri saya sendiri, "Iya ya, Ubii lambat banget. Kapan ya Ubii bisa kayak si A/B/C?" Dan akhirnya saya jadi memasang target yang nggak rasional buat Ubii. Kasihan Ubii nya kalau saya begitu..
All in all, what I'm trying to say is... menjadi ibu dari seorang anak berkebutuhan khusus itu sama sekali nggak gampang. Kadang kami capek harus menjawab pertanyaan, cibiran, atau ekspektasi orang lain. Kami sebenarnya paham kalau orang-orang yang menanyakan kondisi anak kami itu karena mereka perhatian, which is we're really grateful for it. Tapi, pertanyaan-pertanyaan bernada membandingkan dan mempertanyakan kenapa anak kami belum bisa ini dan itu, lebih baik disimpan dalam hati aja. Atau, kalau memang pengen banget nanya, coba lihat apa saat itu kami tampak sedang punya mood yang oke untuk menjawab atau enggak. Kalau kayaknya kami lagi nggak mood, ya mungkin bisa lain kali tanya nya. Walau tampaknya kami sudah bisa kuat dan ikhlas dengan kondisi anak kami, bukannya kami juga kebal sama perasaan sedih. Kami tetap bisa saja masih sedih apalagi kalau anak-anak kami nggak kunjung mengalami kemajuan. Walau kami tampaknya ceria, di lubuk hati yang terdalam, tetap ada sekelebat pikiran, "Kapan ya anakku bisa seperti anak-anak lainnya?" Sebagai manusia biasa, pasti tetap ada waktu-waktu di mana kami merasa capek, down, dan jenuh dengan rutinitas berobat yang nggak ada habisnya. Bukan kami minta dikasihani, enggak. Mungkin kami ingin sedikit minta dimengerti kalau kami sama seperti yang lainnya. Bukan ibu yang senantiasa kuat. Bukan ibu yang punya kesabaran tanpa ada habisnya. Bukan ibu yang nggak butuh me time. Dan saat kami butuh me time untuk men-charge energi positif dalam diri kami, kami nggak ingin dan nggak butuh dihakimi sebagai ibu yang tega 'meninggalkan' anaknya demi menyenangkan diri sendiri. Dan ketika kami bilang kalau kami butuh stress management yang mumpuni, percayalah, itu adalah salah satu cara kami untuk tetap waras, bukan karena kami ingin lari dari tanggung jawab kami.
For all mothers with special needs children, hang on, we'll survive together. :))
To me, cemangka, perjalanan masih panjang, Ges! :))
Oh ya, akhir kata, saya mau bilang Selamat Idul Fitri 1435 H untuk teman-teman. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Mohon dimaapkeun kalau saya dan keluarga ada salah baik dalam kata-kata, bercandaan, atau perbuatan, baik yang kami sengaja maupun enggak. Enol-enol yaaa, kalau kata Pertamina. Hehehehe. Happy Eid Mubarak all of you! :))
Terharu. Salut sama kekuatan dan semangat suami dan kamu, Mba.
ReplyDeleteUbiiii, sehat dan bahagia selalu, yaaa. :*
Amin amin amin. Makasi Mak Idah cemunguth nya ^^
Deleteterharu dan sangat ingin mengatakan bahwa mommi ubii HEBAT, ubii pasti bangga sama momi nya, semangat terus ya mbak ges, ubii akan menjadi anak yang pinter dan sehat selalu koq,, love you ubii, salam sayang dari kaka Marwah yaaah, kaka Marwah suka gemes kalau lihat foto ubii
ReplyDeleteAku juga suka liat foto Kak Marwah.. Cantik bangeeetttt <3
DeleteHope we can meet someday, Mak Tian :))
ah makasih mami ubii,, Ubii juga cantik, lucuuuu banget. Kapan ke bandung? bisa kopdaran di Bandung kitaaaa :D
DeleteCemunguuthh cemunguuthhh mami ges \^^/
ReplyDeletePerjalanan masih panjanggg ^^b
Cemunguth.. Semangkaaa.. Jalan masih panjang bingit ya, Mak Shin :**
DeleteSemangat Mak. Setiap anak itu berbeda, bahkan kembar sekalipun tumbuh kembangnya berbeda. Sy jg sering berbeda pendapat dg lingkungan sekitar soal urusan rumah dan anak. Tp sy tetap jalan saja dg ilmu dan keyakinan saya, toh kita yg tau kondisi dan menjalaninya.
ReplyDeleteSetuju banget, Mak Rizka. Tetep jalan aja yes :D
DeleteMak Ges, proud of you sangadh... thanks ya Mak sudah berbagi cerita indahmu ini... Nice to know you Mak...
ReplyDeleteMakaciy, Mak Rora. Kapan dong kita bisa ngobrol beneran? :p
DeleteItu foto yang paling bawah kayak foto kakak-adek deh *ih ilangpokus* :))
ReplyDeleteOrang2 harus baca curhatan Mami Ubii ini. Banyak yang menunjukkan perhatian tidak pada tempatnya.
Mudah2an setelah menuliskan ini, Mami Ubii bisa lebih plong menghadapi komentar2 seperti di atas dan mudah2an makin banyak orang yang mengerti ya.
Semangat Kakaaaaak :)
Huahahaha. Asik. Seneng deh kalo dibilang kayak kakak adek. Hihihihi. Iya, Mak. Sekarang memang udah lebih plong :D Semangaaatt ^^
DeleteHiks..mewek...Ubiii..makasih telah mengingatkanku ttg syukur..aku tak akan sekuat mama Ubii jika di posisi kalian ....
ReplyDeleteMak Kania, masih mewek nggak? Berpelukan yuk :D Aku juga masih harus banyak belajar nih supaya lebih sabar :'))
DeleteAndai semua mommy with SNC seperti mommy nya Ubii....
ReplyDeleteAndai a a a aku jadi orang kaya *lagu jadul* :D
DeleteMaap lahir batin juga Ubii n mommy. Ubii mainannya bagus, kakak Thifa pinjam dooong. Semangat ya mom ubii, daku salut padamuu
ReplyDeleteBoleh pinjem tapi bayar ya kak Thifa. Huahaha. Kenapa aku jadi ketularan irits gini cobak? :p
DeleteTerharu baca postingan ini Ges. Tapi aku salut dan kagum sama semangat kamu.
ReplyDeleteMakasih Mak Ika. Aku kangen ngobrol intim lagi (halah) kayak pas di PH dulu :"))
DeleteTuhan menitipkan anak istimewa kepada wanita-wanita pilihan,,dan mommy ubii saya rasa salah satunya :)
ReplyDeleteAMIN. Makasih banyak ya Mba :))
Deleteinspiring... membuat saya malu terkadang lupa bersyukur telah Tuhan anugerahkan seorang putri yang normal dan sehat.. ubii...you're so special.. semangat selalu untuk ubii dan maminya :) Love u, ubii
ReplyDeleteSiap. Semoga kami selalu semangat. Makasih banyak mba untuk doanya. Yuk kita sama-sama belajar bersyukur lagi. Aku pun kadang suka kurang bersyukur kok mba kalau lihat anak-anak yg spesial tapi sudah banyak progress nya :''))
DeleteBlogwalking sampai disini juga. Teringat tadi sore aku ngomel marah2 gak karuan gara2 menjemput sisulung tapi tiba2 ada kegiatan tambahan di sekolah. Kegiatan sekolah, bukannya mau main, kegiatan positif. Tapi karena aku harus idle 1,5 jam jadi ngomel2 soal menghargai waktu, gak boleh membuang waktu mamah begitu saja. Tak terbayang waktu yang Gessi berikan untuk Ubii. Thanks for the lesson. You're younger than me, yet you're wiser than me. I wish the best for your family. *kiss :))
ReplyDeleteAmen, thank you, Mak Lusi. Ah, aku pun masih banyak khilaf nya. Sering ngomel juga, terutama kalau pas Ubii susah makan padahal udah dimasakin susah-susah (susah karena aku nggak bisa masak aslinya, hahaha). Sama-sama belajar bareng ya, Mak :))
DeleteHi mamie ubii, salam kenal yaa.. dulu saya sempet baca postingan mamie di mommies daily, berkaca-kaca loh bacanya, dan sekarang ketemu deh blognya..
ReplyDeletesaya sempet dheg! di point: "Aku rela deh tiap hari ngejar Ubii lari-lari sampai ngos-ngos an, jawab pertanyaan-pertanyaan Ubii sampai pusing sendiri, atau seluruh dinding rumahku ternoda coretannya, yang penting semua milestone dan ketinggalan Ubii sudah terkejar." anak saya baru berumur 13m, Alhamdulillah sudah lancar jalan, dan menggenggam apapun yang dia mau, termasuk ubek-ubek lemari, lempar sana sini, dan lari-larian kalau disuruh masuk ke dalam rumah. jujur, kalau saya lagi siap pagi-pagi ngantor bikin gemes krn harus ngejar-ngejar dia dulu, dan sering komen "Omar.. jangan keluarrr dulu..." sementara saya blm pakai kerudung, tapi setelah saya baca blog ini, ngebuat saya jadi bisa lebih bersyukur lagi.. thanks ya mih! saya doain, secepatnya kamu akan kecapean ngejar-ngejar ubii karena dia gak bisa diem.. :)) semangat yaaa..
Wuaa, amin banget mba doanya. Makasih banyak ya. Salam buat si kecil Omar yg pinter dan aktif. Senangnya bisa jalin silaturahmi di sini :D
DeleteNangis dan merasa kurang mensyukuri nikmat Allah ternyata aku. Salut mami gessi. Aku pun termasuk orang yang belum bisa nemu asisten yg klik. Prefer asisten pulang pergi deh..*curcol
ReplyDeletebaru baca ini... Mami ubiiii semangat yaa... didoakan dr sini jg spy Ubi cepet mengejar ketinggalannya. Ahh, saya klo lg capek dan Rafa triak2 plus brantakin mainannya suka marah2 ni sm bocil. bner bgt yaaa, memang hrs mensyukuri yg didapat. tfs ya mami ubiiii....
ReplyDeletesemangat mami ubii! dan drama mbak itu memang drama emak-emak sedunia! tanteku setahun pernah ganti mbak 11 kali! :D
ReplyDeleteSelalu semangat ya mami ubiiii :)
ReplyDeletewkwkw mbaaa memang asisten rumah tangga itu super sinetron....
ReplyDeleteSaluttt dan terharu mbaaa.....sehat terus yaaa :D
ReplyDelete