Sumber |
Saya rasa semua teman-teman Muslim pasti ingin menyambut Ramadhan dengan suka cita maksimal. Salah satunya dengan tarawih. Tarawih bersama di masjid tentunya membuat suasana Ramadhan lebih terasa. Tapi Mbak Nia sudah puas dengan shalat di rumah, karena ia tetap bekerja di waktu tarawih. Alasannya, "Ndak tega Bu kalau banyak yang ndak kebagian jatah terapi."
Kalau boleh jujur, jawabannya membuat saya heran. Kayaknya dedikasi Mbak Nia nggak kurang. Setiap Senin-Sabtu ia memberi fisioterapi di sebuah rumah sakit mulai jam 8 pagi sampai 12 siang. Setelah itu berlanjut di sebuah klinik pribadi seorang dokter sampai jam 9 malam. Istirahat dan makan siang dilakukan di rumah sakit atau klinik. Jadi Mbak Nia baru pulang ke rumah di atas jam 9 malam. Pernah beberapa kali baru selesai jam 10.30 malam. Lagi-lagi alasannya, "Ndak tega Bu karena pasien dari luar kota."
To my surprise, hari Minggu yang biasanya kita pakai untuk off dari urusan kerja pun masih dipakai untuk membagikan kemampuannya sebagai fisioterapis. Ternyata sering ada pasien yang datang ke rumah hari Minggu. Terus kapan istirahatnya? Lagi-lagi jawabannya, "Ndak tega Bu apalagi kalau pasien dari luar Jogja."
Saya memang orangnya kepo. Jelas saja saya tanya,
"Emang nggak capek, Mbak?"
"Sudah biasa, Bu."
"Emang kalau bulan puasa tetap harus nerapi sampai malam? Ndak boleh cuma sampai jam 5 gitu? Biar bisa buka di rumah terus tarawih."
"Boleh kok, Bu. Sebetulnya Prof (sebutan untuk dokter di klinik tempat Mbak Nia fisioterapi) itu terserah saya. Saya mau nerapi sampai jam berapa. Cuma sampai sore ya boleh. Wong misale saya mau libur nerapi di klinik selama bulan puasa aja boleh kok."
"Lhah...terus kenapa tetep full, Mbak? Masa ya ndak pengen tarawih?" (Saya masih ngotot).
"Kemanusiaan, Bu. Kasian yang ndak dapet jam (untuk fisioterapi). Kalau libur fisioterapi terus jadi kaku. Kalau kaku itu rasanya ndak enak, nyeri. Nanti rewel, nangis terus."
Maklum ya kalau saya ngotot. Selain memang saya ngotot-an (HAHA), saya lihat menerapi anak nonstop dari pagi sampai malam itu jelas butuh tenaga. Lha wong saya menerapi Ubii di rumah yang cuma setengah jam saja kadang capek. Padahal cuma setengah jam. Padahal cuma satu anak. Sedangkan Mbak Nia dari pagi sampai malam dengan durasi masing-masing anak selama satu jam. Belum kalau anaknya rewel sehingga Mbak Nia butuh tenaga ekstra untuk menenangkan. Belum kalau gigi anak sudah tumbuh sehingga jari Mbak Nia digigit saat terapi oral. Bahkan pernah jarinya sampai berdarah sangking dahsyatnya gigitan si anak. Belum kalau ada anggota keluarga yang menunggui anak fisioterapi yang nggak tegaan terus jadi menyalahkan Mbak Nia karena menganggap Mbak Nia menyakiti si anak. Biasanya sih ini para Eyangs. :))
Tentang dianggap menyakiti karena Eyang nggak tega-an sudah bukan hal baru. Pernah ada Eyang yang sontak menyuruh Mbak Nia berhenti karena cucunya nangis. Pernah ada Eyang yang cucunya kebetulan demam sehari setelah fisioterapi, lalu jadi menyalahkan Mbak Nia. Ada juga yang lebih ekstrim. Ada Eyang yang sangking nggak tega nya, nggak memperbolehkan si cucu untuk fisioterapi lagi. Padahal jelas motorik si cucu terlambat. Hmm......
When we do something wrong, people judge us. When we do something right, people still judge us. Itu dialami sendiri oleh Mbak Nia. Dedikasinya yang tinggi sampai mengorbankan waktu tarawih, ternyata dianggap karena Mbak Nia mengejar materi semata oleh beberapa orang. Mbak Nia menganggapi itu dengan
Sebagai tenaga medis Anda harusnya selalu siap kapan saja. Saya sekarang sudah menemukan terapis yang jauh lebih baik dari Anda.
Jujur saja, saya sebagai sesama ibu pasien ikut gemas. Fisioterapi bukan sesuatu yang urgent. Beda dengan misalnya anak jatuh dari tempat tidur lalu muntah, sesak napas, atau kejang hebat. Kalau ditolak oleh UGD, wajar kita marah sebagai ibu. Lagipula, misalkan di H-1 Idul Fitri Mbak Nia memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarga nya pun toh sah-sah saja dan wajar banget, kan?
Itulah sekelumit cerita tentang Mbak Nia yang bisa saya bagikan. Dari Mbak Nia, saya belajar bahwa apa pun yang dilakukan dari hati akan terasa menyenangkan. Dari Mbak Nia, saya belajar bahwa ketika kita melakukan sesuatu dari hati, kita akan merasa ikut bertanggungjawab terhadap kebaikan sehingga melakukan yang terbaik. Dari Mbak Nia, saya belajar bahwa nggak ada batasan untuk berbagi. Dari Mbak Nia, saya belajar bahwa berbagi selalu bisa dilakukan kapan saja, tanpa perlu menunggu datangnya Ramadhan.
salam cium untuk Ubii, Mami Ubii, dan Mbak Nia :)
ReplyDeleteMakasih Mak Liya, salam cium balik :***
DeleteUbii dan Mak Gesi beruntung bisa kenal Mbak Nia sebagai terapis berdedikasi. :)
ReplyDeleteIya, Mak Roh. Kami sungguh beruntung :')))
DeleteAih... bagus sekali tulisannya Mak Gess... Terus menginspirasi ya. :))
ReplyDeleteMakasih, Mak Hilda. Amin, semangaaatt :D
Deletebekerja dengan hati memang menyenangkan n hasilnya memuaskan...
ReplyDeletemak gess tulisannya bagus sekali :)
Waduh, makasih Mak. Jadi tersipu-sipu deh ekeh :p
DeleteIni tho pahlawannya Ubiiku :')
ReplyDeleteTitip selamat lebaran dong buat mba Nia.. semoga setiap sentuhan yang dia kasih untuk para pasien, dibalas surga sama Allah :)
Amin amin amin doanya. Doakan ya, Pung, Mba Nia lagi berusaha punya momongan nih :))
DeleteAssalamu'alaikum...
ReplyDeleteTerima kasih sudah berbagi cerita inspiratif ini, ya!
Good luck! ^_^
Emak Gaoel
video senam indonesia
ReplyDelete