Wednesday, September 24, 2014
42 Influencers di Majalah Femina
Berkat ini dimulai dari sebuah colekan di Facebook di suatu siang. Ternyata dari Mak Lies Wahyoeni, seorang sahabat dari Kumpulan Emak Blogger. Saat itu Mak Lies men-tag saya dalam kolom komentar status Fan Page Femina Magazine yang mencari sosok The Influencers. Mak Lies merekomendasikan saya.
Singkat cerita, saya pun berkesempatan menceritakan keseharian saya pada seorang anggota tim Femina, Mbak Rully. Setelah beberapa kali berbalas email, Mbak Rully berkata bahwa ia akan memasukkan saya sebagai salah satu The Influencers dalam edisi khusus ulang tahun Majalah Femina yang ke-42. Tapi, di situ saya belum mau bersenang hati. Takut geer, karena saya tau kalau akan ada banyak profil The Influencers di edisi ulang tahun Majalah Femina. Saya masih berpikir kalau mungkin profil saya masih akan diseleksi, saat itu. And time went by, saya sudah melupakan email-email kami.
Suatu pagi, saya mendapat WhatsApp dari Mbak Weka, seorang kawan di Stiletto Book yang mengabarkan keberadaan profil saya dalam 42 Influencers di Majalah Femina. Terima kasih Tuhan atas berkat-Mu.
Langsung saja siang itu saya mengajak suami mencari kios majalah sekalian makan siang. 3 kios majalah yang saya datangi ternyata kehabisan Femina edisi ulang tahun. Saat itu panas sekali dan kami bermotor berdua. Ternyata perjalanan pulang ke rumah melewati Gramedia, jadi lah kami mampir ke sana, maksudnya mau ngadem. Hehehe. Puji syukur, masih ada Majalah Femina edisi ulang tahun di sana. Tinggal 1 biji. Langsung saya sikat dan giring ke kasir.
Menurut Femina, siapa pun yang menularkan gaya hidup, kreativitas, opini, sampai pandangan politik bisa menjadi influencer. Di halaman influencers pilihan pembaca, saya menemukan judul yang menarik.
Ya, saya setuju sekali. Kita nggak harus melakukan hal yang luar biasa untuk menebar manfaat untuk orang lain. Melakukan hal-hal sederhana sekali pun, asal dengan hati dan kontinyu, nyatanya juga bisa kok menciptakan kebaikan. Di sini, saya dimasukkan dalam Influencer kategori Kesehatan bersama Mia Sutanto (Founder AIMI), Octovina Reba Bonay (bidan), Fairuziana Humam (Komunitas INDOHUN), dr. Yoselina (dokter), Ratih Asmaraningrum (peneliti), Kanti Setyo Wilujeng (terapis), dan Ainum Jhariah Hidayah (penyuluh HIV/AIDS di kalangan remaja). Kalau dibandingkan dengan influencer lainnya di bidang kesehatan, jelas sekali apa yang saya lakukan belum ada apa-apa nya. Saya juga nggak merasa hebat. Saya cuma ibu biasa. Sering koar-koar tentang TORCH hanya dari hasil diskusi dengan dokter dan membaca literatur kesehatan. Bahkan, sejujurnya masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seputar TORCH yang saya pun masih bingung. Saya pun yakin bahwa masih ada banyak sekali perempuan di luar sana yang melakukan hal-hal lebih daripada saya dalam bidang kesehatan.
Profil tentang saya pun sederhana, ya. Hanya menceritakan tentang saya yang menulis kisah Ubii dan membuat komunitas online bernama Rumah Ramah Rubella. Nothing's great about that. Siapa saja bisa menulis. Ada banyak media untuk menuliskan kisah dan suara kita. Siapa saja bisa membuat komunitas. Kemudahan akses dalam media sosial telah menjembatani kita untuk berjejaring. See? Siapa pun sangat bisa menebar kebaikan.
Hanya perlu mencari apa sih yang ingin kita suarakan, gerakkan, dukung, atau ubah. Lalu mulai lah dari hati. Jangan takut gagal. Dulu saya pun sebetulnya maju-mundur dalam membuat Rumah Ramah Rubella. Berbagai keraguan menghantui saya. Takut nggak ada yang mau bergabung. Bingung nanti kegiatannya apa saja. Ragu bisa mencari teman yang satu suara untuk mendukung visi Rumah Ramah Rubella. Takut nggak bisa menemukan donatur. Takut nggak bisa membagi waktu dengan baik. Takut dikira gegayaan karena saya masih sangat hijau. Takut ini dan itu. Ragu ini dan itu. Namun, melihat dukungan suami, saya nekat maju. Dalam perjalanan sebelum Rumah Ramah Rubella ada pun ternyata saya bertemu dengan 2 orang ibu yang satu suara dengan saya, Mbak Inel dan Mbak Nuril. Makin mantap lah saya pada akhirnya.
Kalau dulu saya meneruskan ketakutan dan keraguan ini, mungkin sekarang belum ada Rumah Ramah Rubella. Ketakutan toh masih ada. Tapi, ya diatasi sambil jalan saja. Takut nggak ada yang bergabung, nyatanya ada juga teman-teman baru yang bergabung. Bingung nanti kegiatannya apa saja, ternyata ada saja ide mengalir dari kami semua walau kegiatannya juga masih sangat sederhana. Takut nggak bisa menemukan donatur, ternyata Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk menitipkan rezeki dalam uang kas komunitas ini lewat tangan-tangan yang nggak pernah saya duga. Padahal saya juga nggak yang gencar mengirimkan proposal ke sana-sini untuk meminta dana. Apa kah saya sudah bisa membagi waktu dengan baik? Honestly, belum. Kadang saya tidur dengan piring-piring kotor belum tercuci. Kadang saya bangun kesiangan dan nggak bisa melepas suami berangkat kerja karena malamnya saya begadang. Kadang saya menitipkan Ubii ke Eyang nya kalau saya punya agenda yang harus segera diselesaikan. Sering saya mendapat pertanyaan, "Berarti kamu mengorbankan Ubii dong?" saat saya menitipkan Ubii. Buat saya, kegiatan saya bukan mengorbankan Ubii. Melainkan mengorbankan beberapa waktu untuk bersama Ubii. Tapi bukan berarti saya benar-benar melupakan Ubii begitu saja saat Ubii dititipkan. Sebisa mungkin saya berusaha membekalinya dengan cemilan buatan saya sebelum Ubii berangkat ke Eyang. Saat terpisah, saya FaceTime-an supaya bisa mencandai Ubii secara virtual. Tapi, yah, apa pun yang dikatakan orang, itu adalah hak mereka kok. Nggak apa-apa.
Menurut saya, segala macam upaya pasti disertai dengan pengorbanan. Entah waktu, tenaga, biaya, atau yang lainnya. Sebelum kita mengorbankan sesuatu, kita perlu bertanya, "Is it worth the price?" Apakah pengorbanan yang akan kita lakukan nantinya sebanding dengan apa yang kita ingin suarakan? Jika YA, go forward. Maju. Jangan tunggu sampai followers kita di media sosial banyak. Nggak perlu tunggu sampai semua ketakutan kita mendapatkan solusi. Learning by doing. Berdoa. Berserah pada-Nya. Ini ikhtiar kita untuk sesuatu yang ingin kita suarakan.
Suara sumbang pasti ada dalam tiap perjalanan. We can't please everyone. That's the fact. Saya pun mengalami. Ada yang menganggap saya masih sangat hijau, kok gegayaan bikin komunitas, memangnya saya sudah ahli TORCH. Belum, memang belum. Justru karena masih banyak hal yang saya belum tau dan ingin pelajari, maka saya berkomunitas. Saya belajar dari sharing orangtua lainnya. Ada yang menganggap saya 'menjual' Ubii demi mensosialisasikan Rubella. Bagaimana mungkin saya bisa menyadarkan ibu-ibu lain akan bahaya infeksi Rubella bawaan kalau saya nggak mencontohkan dengan kasus yang nyata? Nah loh. Gimana coba? Saat saya membawa Ubii dalam cerita atau kegiatan, saya ingin bilang, "Hei, kalau kamu punya anak berkebutuhan khusus, ngapain malu?" Nyatanya masih banyak di luar sana orangtua yang malu atas disabilitas anaknya lalu memilih mengunci diri dari lingkungan. Saya suka sedih kalau tau hal begitu. Yang paling lucu, ada yang menganggap saya terlampau berusaha untuk eksis karena saya pernah ada di beberapa media. Sampai-sampai ia bertanya, "Dulu kok bisa ada di Kick Andy, bayar nya berapa supaya bisa masuk?" Mana ada narasumber membayar talk show supaya bisa masuk televisi. Cerita tentang bagaimana keluarga saya bisa ada di Kick Andy pernah saya ceritakan kok di sini. Kemudian bertanya lagi, "Kok bisa ada di Tabloid Nyata dan lain-lain, emang kamu kirim cerita ke sana supaya dimuat?" Enggak. Sama sekali enggak. Saya mendapat berkat bisa diulas di sana karena saya menang lomba Titik Balik Manulife yang kebetulan penganugerahannya dihadiri oleh awak media. Ceritanya ada di sini. Kebetulannya lagi, ternyata media yang hadir pun cukup banyak sehingga saya bisa ada di Wanita Indonesia, Koran Jakarta, Kompas[dot]com, dan Kompasiana[dot]com. Sekarang di Femina, itu juga karena seorang Mak Lies yang sudi mengingat saya sehingga merekomendasikan saya. Semuanya terjadi begitu saja. Makanya saya selalu menyebut bahwa ini semua adalah berkat Tuhan.
Intinya, ketika kita menyuarakan suara kita dan mendapat suara sumbang, jangan surut. Gemes, sebal, atau gondok boleh lah. Itu manusiawi. Tapi jangan lama-lama. Segera bangkit lagi, tersenyum, dan ingat tujuan awal kita untuk maju. Untuk bisa maju, kita nggak perlu mendapat persetujuan dan dukungan mutlak dari semua orang kok. Cuma perlu bangkit setelah jatuh dan maju lagi. Klise, ya? Tapi itu yang saya alami. Dan satu lagi, ketika apa yang kita usahakan mendapatkan apresiasi, jangan pernah lupa bahwa ada banyak teman yang sudah membuat kita ada di titik ini. Jangan pernah lupa kebaikan dan doa mereka untuk apa yang kita upayakan.
Cerita ini bukan untuk menggurui. Cerita ini untuk memotivasi kita semua bahwa siapa pun sangat bisa menebar kebaikan. Ingat, we can't please everyone. Terus maju lah walau ada suara sumbang. Untuk apa pun yang kamu suarakan, saya turut mendoakan semoga bisa menjadi berkah dan kebaikan bagi kamu, keluarga, dan lingkunganmu. Amin. :))
PS: Once again, terima kasih buat sahabat saya, Mak Lies. Love you full ^_^
Anyway, ini tambahan cerita nggak penting. Terkait dengan adanya profil saya di Majalah Femina ini, saya tuh pengen suami saya mengucapkan selamat dengan romantis. Eh naga-naganya, dia mengucapkannya dengan cara kayak gini. Fiuh.
Iya, saya suka kentut. Kalau kamu lagi barengan sama saya dan tiba-tiba ada bau. Mungkin itu saya. LOL.
Love love love
Ges
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Selamat ya mak dan ga cuma mak grace kok yang kurang tata krama..hihihi..*tutup muka pake bantal
ReplyDeleteHahaha....penutupnya bikin ngakak...
ReplyDeleteYayyyy...selamat makkkk..wish u all the best *hug*
Keren mak ges..dirimu emang inspiratif banget :)
ReplyDeleteWkwkwkwkkw suami xD
ReplyDeleteNgakak di ending :)))
ReplyDeleteThanx for sharing, Mak..
ReplyDeleteSy jg suka kentut mak, lbh baik mengutamakan kesehatan drpd sopan santun *Toooossss :))
Selamat Mak... Semoga semakin banyak dari emak" KEB untuk kedepannya.
ReplyDeleteselamat ya mak grace..
ReplyDeletesuka kentut? hii.. gapapa, kentut pertanda badan kita sehat...
salam kenal dari djogja bagian utara
ahihihi sukak sm penutupnya :D
ReplyDeletecongrats ya maaakk :*
Mak, you really inspire me a lot! Masih muda dan berprestasi. Aku banyak belajar dari kamu. Nggak mudah menginfluence orang. Tapi berangkat dari niat baik, tulis, tujuannya juga baik, pasti bakalan diamini semesta. Terus melangkah dan good luck!
ReplyDeleteUft, kau tukang kentut rupanya! Hahahah, makasih buat suami yang udah bocorin. Bisa jaga2 kalau deket-deket Mak Ges tiba-tiba ada bau mak-nyeenggg, oh berarti tersangkanya sudah ada. :D
Mami Ubii keren! Semangat terus ya :)
ReplyDeleteAih hihihi itu komennya Papi Ubii
Keren banget bisa ada di list itu!
ReplyDeleteDan, suamimu sepertinya sweet banget, ya. Hahaha pasti banyak yang iri deh
Wkwkwkwk.... Suaminya selera humornya bagus juga ya mbak ges... jadi tau kalau mbak ges suka kentut sembarangan, smg dimasa datang pemerintah memperhatikan dengan membuat ruang khusus kentut untuk melengkapi ruang merokok, ruang laktasi, dsb. #gafokus
ReplyDeleteSemangat mbak, berbagi itu indah...
Pengin peluk Mak Ges ah, biar kentut juga gapapa...hihihihi...
ReplyDeleteAwesome Mak..... Tuhan mentakdirkan si Baby untuk punya Ibu hebat kayak Mak Ges....You are rock Mak....
ReplyDeleteWaaah, mantap mbaaaak! *peluuuk*
ReplyDeleteSungguh menginspirasi banget :)
Kentut? You're not alone! Hihihi *tutup muka pake kuali*