Saya pernah mengalami dialog seperti ini,
Teman: Mami Ubii, maaf, boleh nanya? Gimana kabar Ubii sekarang? Liat foto-fotonya kok dia pakai sepatu khusus, itu buat apa?
Saya: Oh itu AFO. Ubii butuh itu karena kaki nya jinjit dan refleks menapak nya masih sangat kurang. Kirain mau nanya apa kok pakai minta maaf segala. Hehehe.
Teman: Iya, takut Mami Ubii tersinggung, soalnya biasanya ortu yang punya anak spesial itu agak sensian..
Apa kalian pernah mengalami ngobrol dengan orangtua anak berkebutuhan khusus lalu ia sensi, sedih, atau menunjukkan wajah nggak enak ketika ditanya-tanya? Kalau pernah, wajar. Saya kepengin kasih tau tentang apa yang dirasakan oleh orangtua anak berkebutuhan khusus berdasar pengalaman saya yah.
Untuk bisa menjadi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus yang menyenangkan itu nggak semudah membalik telapak tangan. Menyenangkan di sini maksudnya tetap ceria dan optimis memandang ke depan, nggak sensi ketika ditanya tentang anak spesialnya, dan tetap membuka diri pada orang atau kelompok lain. Untuk bisa kayak gitu, perlu melewati 5 fase dulu.
Baca: CHSI-ABK (Catatan Hati Seorang Ibu dengan Anak Berkebutuhan Khusus)
Five stages of grief mulai dari denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance ternyata memang harus satu-satu dirasakan dan dijalani.
Saya sempat ada di fase denial cukup lama. Rasanya kayak kepengin meyakinkan diri sendiri kalau ujian seberat ini nggak mungkin ditimpakan pada saya. Kok bukan ke orang lain saja sih, yang misalnya sudah lebih matang usianya, sudah lebih wise pola pikirnya, atau sudah lebih mapan kondisi ekonominya. Kenapa harus saya, mamah muda yang alay ini. Yang kalau foto suka pakai gaya andalan monyong-monyongin bibir untuk menyamarkan pipi tembem. WHY ME?! Denial juga sering bikin saya berpikir "Ah, masa sih Kakak Ubii berkebutuhan khusus. Tapi kan dari wajahnya nggak kelihatan. Tapi kan wajahnya kayak anak normal" Dan semacam itu. Dulu, saat Kakak Ubii masih di bawah 1,5 tahun kan memang ia belum begitu kelihatan berbeda. Faktor dulu berat badannya stuck lama banget itu cukup berpengaruh. Jadi, sering orang mengira kalau usia Kakak Ubii lebih muda daripada usia aslinya. Makanya kalau ketemu orang masih sering di lucu-lucuin. Kalau pun orang tahu usia aslinya pun, orang nggak begitu ngeh karena paling dikira keterlambatan tumbuh kembang biasa.
Baca: CHSI-ABK (Catatan Hati Seorang Ibu dengan Anak Berkebutuhan Khusus)
Five stages of grief mulai dari denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance ternyata memang harus satu-satu dirasakan dan dijalani.
Credit |
Saya sempat ada di fase denial cukup lama. Rasanya kayak kepengin meyakinkan diri sendiri kalau ujian seberat ini nggak mungkin ditimpakan pada saya. Kok bukan ke orang lain saja sih, yang misalnya sudah lebih matang usianya, sudah lebih wise pola pikirnya, atau sudah lebih mapan kondisi ekonominya. Kenapa harus saya, mamah muda yang alay ini. Yang kalau foto suka pakai gaya andalan monyong-monyongin bibir untuk menyamarkan pipi tembem. WHY ME?! Denial juga sering bikin saya berpikir "Ah, masa sih Kakak Ubii berkebutuhan khusus. Tapi kan dari wajahnya nggak kelihatan. Tapi kan wajahnya kayak anak normal" Dan semacam itu. Dulu, saat Kakak Ubii masih di bawah 1,5 tahun kan memang ia belum begitu kelihatan berbeda. Faktor dulu berat badannya stuck lama banget itu cukup berpengaruh. Jadi, sering orang mengira kalau usia Kakak Ubii lebih muda daripada usia aslinya. Makanya kalau ketemu orang masih sering di lucu-lucuin. Kalau pun orang tahu usia aslinya pun, orang nggak begitu ngeh karena paling dikira keterlambatan tumbuh kembang biasa.
Beda dengan sekarang. Kakak Ubii sudah tinggi. Kalau ke mana-mana masih digendong dan ia pasif, orang akan bertanya-tanya. Kalau ia terlihat masih diurusin semuanya mulai dari disuapi, dipegangkan botol susu, dilap mulutnya, dan lain-lain, orang akan menatap dengan pandangan, "Sudah besar kok belum bisa apa-apa sih." Apalagi kalau saya bawa Kakak Ubii jalan-jalan ke supermarket lengkap dengan alat dengarnya lalu ia rewel nangis meraung-raung. Rasanya semua mata tertuju ke Kakak Ubii dengan pandangan lekat. Sampai saya kadang-kadang risih banget dilihatin kayak gitu..
Di fase anger, saya jadi marah-marah ke semuanya. Ke Adit terutama. Adit salah sedikit, saya langsung angot-angotan. Ada sahabat atau keluarga besar yang menanyakan kondisi Kakak Ubii, saya sebal. Padahal mereka menanyakan dengan maksud memberi perhatian dan kepengin ikut tahu perkembangannya. Tapi yah, saya buta aja sama poin-poin itu. Isinya suudzon melulu.
Fase selanjutnya adalah bargaining. Fase ini penuh dengan seandainya ini seandainya itu. Seandainya dulu saya tahu Kakak Ubii akan begini sejak saya hamil, saya pasti lebih siap. Seandainya dulu saya nggak sering bikin mama jengkel, mungkin saya nggak dikasih anak spesial begini. Seandainya dulu saya ketemu obsgyn yang lebih pintar... Banyak! Di fase bargaining ini, saya juga jadi sering membuat penawaran dalam hati. Saya sering bikin dialog sama Gusti.. Duh Tuhan, kalau Kakak Ubii bisa kayak anak-anak lain, saya janji deh lebih sering berdoa. Janji deh bakal lebih berbuat baik untuk orang lain. Dan masih banyak lagi.
Baca: Daftar Pertanyaan untuk Dokter Kandungan
Baca: Daftar Pertanyaan untuk Dokter Kandungan
Fase keempat adalah depression. Ini nggak enak banget. Rasanya kayak kepengin menyerah karena sudah capek berikhtiar. Saya dan Adit juga ngerasain ini banget, terutama saat progress Kakak Ubii stuck. Jadi mikir ah kayaknya percuma yah rutin fisioterapi, percuma yah rutin minumin obat, percuma rutin buang uang untuk pengobatan, mana hasilnya? Rasanya pengin banget berhenti, nitip Kakak Ubii, terus saya minggat aja.
Baca: Ketika Aku Jadi Ibu Pengeluh...
Baca: Ketika Aku Jadi Ibu Pengeluh...
Fase terakhir, acceptance. Atau, saya menerjemahkannya dengan ikhlas. Di sini rasanya sudah lebih dimampukan untuk menerima dengan ikhlas. Maksud dari menerima adalah menerima kenyataan bahwa inilah yang ada di depan mata dan memang harus dijalani. Mau nggak mau, suka nggak suka. This is real and I have to do something about it. Kalau sudah sampai di sini, rasanya ringan dan plong. Mau jalan-jalan dan dilihatin orang kayak apa, juga sok atuh. Harus terapi rutin juga ayo-ayo aja karena memang Kakak Ubii masih butuh itu. Intinya, sudah lebih legowo bahwa memang ini lah bagian dari hidup kami. Tapi, yang jelas, keikhlasan itu juga perlu dijaga banget dan diimbangi dengan hal-hal konyol supaya tetap waras.
Baca: Keeping Our Sanity
Lalu, ketika lima fase itu sudah terlewati, apakah akan sudah selesai begitu saja lalu hidup bahagia selamanya dengan keikhlasan yang abadi? Oh, tentu tidak! Fase-fase itu bisa berulang lagi, datang dan pergi.
Saya merasakannya lagi, karena beberapa bulan lalu Kakak Ubii seperti stuck lagi dan nggak ada progress apa-apa. Ditambah dengan adanya Adik Aiden di rumah dan saya ditinggal ART menginap padahal agenda terapi dan latihan di rumah Kakak Ubii masih padat. Saya jadi mengulang denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance lagi.
Baca: Balada Asisten Rumah Tangga
Saat saya menulis ini, puji syukur, yang saya rasakan adalah acceptance. Karena belakangan ini saya sudah mulai mendapat ritme yang klik. Kakak Ubii juga belakangan ini menunjukkan progress yang bikin saya amazed.
Baca: There's Always A Price to Pay
Sering saya mendengar kalau orangtua anak berkebutuhan khusus itu sensi-sensi sehingga pada rikuh mau menyapa, bertanya kondisi anak mereka, dan lain-lain. Setelah saya mengalami sendiri jadi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, saya jadi bisa menyimpulkan bahwa kalau mereka sensi itu mungkiiinnn mereka pas belum sampai ke fase acceptance. Mungkin mereka sedang ada di fase denial atau anger. Jadi, semoga kalian bisa memaklumi mereka dan nggak malah jadi menjauhi mereka yah.. Karena memang untuk sampai ke acceptance itu nggak cuman butuh hitungan bulan apalagi hari. Perlu proses yang nggak sebentar. Semoga kalian tetap bisa menerima kami, para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus yah. Mohon dimaafkan kalau kadang-kadang kami sensitif ketika ditanya tentang anak-anak kami. Percaya lah, deep down inside, kami menyesal kalau sudah sensi.
Baca: Jangan Ucapkan Ini pada Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Terima kasih untuk semuanya yang sudah mau berteman dengan Mami Ubii dan Aiden, yah
^__^
Love,
Baca: Keeping Our Sanity
Lalu, ketika lima fase itu sudah terlewati, apakah akan sudah selesai begitu saja lalu hidup bahagia selamanya dengan keikhlasan yang abadi? Oh, tentu tidak! Fase-fase itu bisa berulang lagi, datang dan pergi.
Saya merasakannya lagi, karena beberapa bulan lalu Kakak Ubii seperti stuck lagi dan nggak ada progress apa-apa. Ditambah dengan adanya Adik Aiden di rumah dan saya ditinggal ART menginap padahal agenda terapi dan latihan di rumah Kakak Ubii masih padat. Saya jadi mengulang denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance lagi.
Baca: Balada Asisten Rumah Tangga
Saat saya menulis ini, puji syukur, yang saya rasakan adalah acceptance. Karena belakangan ini saya sudah mulai mendapat ritme yang klik. Kakak Ubii juga belakangan ini menunjukkan progress yang bikin saya amazed.
Baca: There's Always A Price to Pay
Sering saya mendengar kalau orangtua anak berkebutuhan khusus itu sensi-sensi sehingga pada rikuh mau menyapa, bertanya kondisi anak mereka, dan lain-lain. Setelah saya mengalami sendiri jadi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, saya jadi bisa menyimpulkan bahwa kalau mereka sensi itu mungkiiinnn mereka pas belum sampai ke fase acceptance. Mungkin mereka sedang ada di fase denial atau anger. Jadi, semoga kalian bisa memaklumi mereka dan nggak malah jadi menjauhi mereka yah.. Karena memang untuk sampai ke acceptance itu nggak cuman butuh hitungan bulan apalagi hari. Perlu proses yang nggak sebentar. Semoga kalian tetap bisa menerima kami, para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus yah. Mohon dimaafkan kalau kadang-kadang kami sensitif ketika ditanya tentang anak-anak kami. Percaya lah, deep down inside, kami menyesal kalau sudah sensi.
Baca: Jangan Ucapkan Ini pada Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Terima kasih untuk semuanya yang sudah mau berteman dengan Mami Ubii dan Aiden, yah
^__^
Love,
Ternyata, fasenya berulang terus ya. Kirain, untuk mencapai fase acceptance itu bisa butuh waktu yang paaaaliiiing lama di antara semua fase. Dan kalau udah ke acceptance, nggak akan ngulang lagi karena udah melewati banyak waktu tadi dari fase denial.
ReplyDeleteMudah2an kamu nggak ngulang2 lagi, ya, Ges. Terus di acceptance selamanya. :)))
Bisa ngulang lagi kalau si anak ini punya tantangan kesehatan or perkembangan baru, Mak ;)
Deleteso true..semua akan melalui proses dan tidak selalu gampang ya..Tapi aku salut dengan Gesi yang konsisten dan gigih. Semangat teruuus yaaa..
ReplyDeleteThat's one thing that I also adore from you, Mak In :)
Deletemami ubii smg selalu smgt....krn aku tahu mendampingi ABK itu tidak mudah. Kebetulan keponakan jg ada yg ABK.
ReplyDeleteAminn.. Makasih semangat nya, Mbak :*
DeleteLucky to know you mami ubii...
ReplyDeleteBelajar banyaaak bangeet
Thankiss yaaaa mwah mwah..
Same feeling here, Mak Aya. Glad to know you as my friend :*
DeleteAh saya bacanya nangis.. Tetap semangat ya mami ubii dan keluarga!
ReplyDeleteSalam kenal Mama Ubii :)
ReplyDeleteDi tempat saya dulu banyak teman saya yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Saya berusaha menjadi pendengar yg baik unt teman2 saya itu, dan tidak banyak bicara ttg hal yang sekiranya sensitif unt nya. Saya berusaha membangkitkan semangatnya. Teman2 saya kalau cerita sampai meneteskan air mata. Lalu saya besarkan hatinya. Be strong Mama Ubii
Makasi sharingnya mami ubi aiden
ReplyDeleteBelajar banyak banget dari tulisan2 nya
Keep inspiring dan tetap semangat yah
terimakasih sharingnya
ReplyDeleteLove you fuul Ubii dan Aiden....
ReplyDeletemami Ubii ruarrrbiyasaaaak!
ReplyDeletebukanbocahbiasa(dot)com
Bener, kalo ikhlas bawaanya Plong yah mba, tapi mencapai step itu, susah nya minta ampun.
ReplyDeleteSemangat terus mba :)
semangat mami ubi,,
ReplyDeletekamu luar biasa,,
dan teruslah menginspirasi,,
so happy bs tau mami Ubi, bener2 menginspirasi..sayang waktu liat di acaranya Bunda Novy bln Desember kmrn gak sempet kenalan, tp seneng bgt bs ngikutin lewat online..thanks for sharing,,
ReplyDeleteKog sama ya yg saya rasakan Bunda...saat sekarang saya sedang merasa down krn Dhammika stuck di tempat perkembangannya...blm ada progress maju lg...semoga bisa tambah semangat yaa krn sering baca2 blog Bunda yg selalu menginspirasi...Thanks ya Mami Ubii...
ReplyDeletesetuju, setiap anak dalam keadaan apa pun adalah anugerah
ReplyDeleteanak berkebutuhan khusus juga bisa berprestasi
ReplyDeleteSalut banget dengan perjuangan Ubi, Mama Ubi dan keluarga. May faith, courage, patient, acceptance and happiness are always be with you guys.
ReplyDeleteSalut sama kamu, saat ini sy di fase bargaining, semoga saya bs move ke acceptance tanpa melewati depression
ReplyDeleteSalut sama kamu, saat ini sy di fase bargaining, semoga saya bs move ke acceptance tanpa melewati depression
ReplyDeleteTerimakasih sharingnya Mama Ubi. Cucu saya agak delay. Mamanya kemarin nanya, anaknya ntar bisa sekolah normal ga ya? Hmm...saya ga bisa jawab, krn msh 14 bln juga. Jadi...yaa saya mendorong untuk tetap menstimulasi dan mengejar ketinggalan...dan sabar tentunya...dan berdoa...
ReplyDeletewahhh jbaguslah mak klu udah gak suudzon lagi
ReplyDeletepatut dicontoh nih, kesabaran harus dimiliki mak
ReplyDeleteSama seperti yang kami rasakan...
ReplyDeleteBaru nemu blog ini dan langsung kesetrum semangatnya mama ubii...
ReplyDelete