Ini postingan pertama untuk kategori Parenting Special Needs di tahun 2016. Ciye. Hehehe. Ceritanya ini lanjutan dari seri Ketika Anak Difabel Memiliki Adik. Di seri pertama, saya cerita dari segi Kakak Ubii sebagai anak difabel yang punya adik. Apakah ia menyadari, apakah ada habit nya yang berubah, and so on and so forth.
Lalu di seri kedua, saya cerita dari segi saya dan Adit sebagai orangtua. Tentang bagaimana kami amazed, bagaimana kami membagi waktu (baca: keteteran, LOL), dan bagaimana kami perlu beradaptasi juga.
Kali ini saya mau cerita dari segi orang-orang di sekitar, khususnya keluarga besar dan ART.
Kira-kira sebulan lalu akhirnya saya dapat ART menginap. Sebut saja namanya Mawar. Mbak Mawar ini job desc nya HANYA mengurus Kakak Ubii karena saya masih harus banyak memegang Adik Aiden yang masih sering menyusu. Awalnya Mbak Mawar tampak iba pada kondisi Kakak Ubii. Berulang kali ia mengucap, "Kasihan ya. Tapi ndak papa, nanti pelan-pelan pasti bisa kok, Bu" dan hal-hal semacam itu. Ia juga jadi sangat fokus memegang Kakak Ubii, rasanya seperti ia pun ingin Kakak Ubii segera berprogress. And I was happy to see that.
Lama-kelamaan, ada saja polah Kakak Ubii yang membuatnya capek, misalnya kalau Kakak Ubii sedang rewel, atau susah makan, atau ngantuk tapi masih kepengin main sehingga jatuhnya jadi cranky. Di saat Mbak Mawar mulai merasakan tantangan dalam mengasuh Kakak Ubii, Adik Aiden sudah mulai kelihatan lucu-lucunya. Misalnya Adik Aiden sudah mulai bisa ngoceh-ngoceh aktif, tengkurap, dan ketawa-ketiwi. Alhasil, pelan-pelan, Mbak Mawar jadi malah terlihat lebih semangat memegang Adik Aiden. Kalau orang Jawa menyebutnya dengan me-liling. Wah, semangat betul Mbak Mawar me-liling Adik Aiden. Gantian ke Kakak Ubii, wajahnya rada lempeng.
Sering kali saya harus mengingatkan Mbak Mawar untuk lebih mengajak ngobrol Kakak Ubii ketimbang Adik Aiden, lha wong posisinya Adik Aiden sedang saya gendong kok tetep diajak ngomong juga, ngapain coba.
Setelah Adik Aiden mulai bertambah kemampuannya ini, ART-ART di rumah saya (kebetulan ada ART satu lagi yang infal untuk bebersih rumah) jadi terlihat lebih semangat menghabiskan waktu dengan Adik Aiden. Solusinya ya dengan saya memberi pengertian pelan-pelan untuk kembali ke job desc nya. Juga memberi pengertian bahwa Kakak Ubii lebih perlu diajak berinteraksi karena ia habis pakai alat bantu dengar.
Untuk keluarga besar pun sama saja. Yang saya maksud di sini ialah para om dan tante. Ketika kami main ke rumah mereka, perhatian mereka semuanya lebih ke Adik Aiden. Sampai di situ sebenernya masih wajar sih ya, karena mungkin masih euphoria punya keponakan baru kan. Yang bikin saya agak sedih sebetulnya ujaran-ujaran yang agak bernada membandingkan.
Contoh kejadian, saat Kakak Ubii agak rewel dan Adik Aiden sedang tenang sambil ngoceh. Ujaran mereka kurang lebih, "Ubii jangan rewel terus dong. Kayak adek tuh pinter, nggak rewel" atau "Ubii jangan nakal ah, liat tuh adek aja pinter" atau lagi "Ubii dah bisa apa nih, wah kalah pinter sama adek."
Mendengar ucapan kayak gitu, kadang saya sedih. Ibaratnya, membandingkan dua balita yang sama-sama sehat aja kan nggak baik ya, karena progress tiap anak itu unik. Lha ini membandingkan anak difabel dan anak sehat. Ya jelas beda dong. Untuk kasus saat Kakak Ubii sedang rewel pun, rasanya kadang nggak fair kalau menyalahkan Kakak Ubii. Karena kadang Kakak Ubii rewel bukan karena ia bermaksud begitu, tapi karena ia ingin sesuatu tapi belum bisa menyampaikan dan kami yang nggak bisa menebak apa maunya. Atau, di lain waktu, bisa juga Kakak Ubii rewel karena badannya kaku sehingga terasa nggak enak. FYI, kalau Kakak Ubii kecapekan memang ototnya, terutama punggung, kaki, dan tangan, itu masih mudah kaku. Menurut terapis, kalau tubuh anak kaku itu rasanya nggak enak banget dan malah kadang-kadang terasa sakit. Jadi ya wajar kalau menjadi rewel karena ibaratnya sedang nggak enak badan.
Ini saya bukan belain Kakak Ubii lho ya, tapi memang begitu penjelasan terapis Kakak Ubii...
Apalagi belakangan ini aktivitas motorik Kakak Ubii makin bertambah setelah ia sudah bisa merangkak. Ia jadi merangkak ke sana-sini seharian. Kadang ia melihat sesuatu sampai mendangak-dangak, terutama kalau sedang nongkrong di depan lemari pakaian.
Posisi mendangak tersebut gampang banget bikin punggungnya kaku. Untuk kaki dan tangan yang kaku, susah saya jelaskan. Harus dipegang sendiri dan dirasakan sendiri, pasti ngeh deh apa maksud saya. Coba deh kapan-kapan main ke rumah Kakak Ubii dan rasain sendiri. Hehehe.
Posisi mendangak tersebut gampang banget bikin punggungnya kaku. Untuk kaki dan tangan yang kaku, susah saya jelaskan. Harus dipegang sendiri dan dirasakan sendiri, pasti ngeh deh apa maksud saya. Coba deh kapan-kapan main ke rumah Kakak Ubii dan rasain sendiri. Hehehe.
Yang bikin saya melankolis adalah.. betapa mudah orang melabeli Kakak Ubii dengan kata nakal atau rewel padahal kadang-kadang Kakak Ubii nya nggak bermaksud menyusahkan orang lain.. Karena kadang tangisannya itu karena ia ingin menyampaikan sesuatu tapi belum bisa atau karena badannya sakit karena kaku. Mungkin saya terdengar selalu belain Kakak Ubii ya... tapi mau gimana lagi, memang itu kok yang saya rasakan.
Pernah Kakak Ubii nangis lumayan heboh. Kami coba menyetelkan channel Baby TV kesukaannya tapi nggak berhasil bikin tangisannya reda. Kami cek popoknya, ternyata belum basah. Kami kasih mainan-mainan, masih nangis juga. Kami gendong posisi bayi barangkali ia ngantuk, masih failed. Kami kasih cemilan, tampaknya ia masih kenyang. Akhirnya, saya coba bikinkan susu, meskipun sebetulnya dalam hati saya ragu masak sih Kakak Ubii mau susu wong habis makan dan minum banyak. Eh, ternyata cep, nangisnya langsung diam. Bahkan, saat saya belum memberikan botol susu padanya, saya masih sebatas mengocok botol susu supaya susu tercampur saja (tapi di jarak pandangan mata nya), ia langsung ketawa. Itu satu contoh saja sih, bahwa kadang kerewelan Kakak Ubii itu bukan karena ia sedang menyebalkan, tapi karena ia belum bisa bilang apa maunya sehingga kami yang harus menebak.
Solusinya ya dengan memberi pengertian. Kalau keluarga besarnya dari pihak saya, maka saya yang kasih pengertian ke om dan tante. Kalau keluarga besarnya dari pihak Adit, maka Adit lah yang maju. Tapi, sebisa mungkin kami berusaha supaya nggak serta-merta baper dan ngambek. Kami berusaha memahami kalau ya wajar mereka nggak ngerti karena nggak sehari-hari hidup bersama Kakak Ubii.
***
Dulu saya kira, dengan adanya anggota keluarga baru, maka yang perlu beradaptasi adalah saya dan Adit sebagai orangtua dan Kakak Ubii saja. Kejadian-kejadian seperti ini membuat saya tersadar bahwa ternyata keluarga besar pun perlu diberi pengertian. Ya eyang, om, tante, budhe, pakdhe, sepupu, ART, dan lain-lain. Bahwa ternyata ucapan bernada membandingkan lebih baik nggak diucapkan.
Sebetulnya jika orangtua nya sendiri sudah cuek bebek, mungkin ini nggak begitu jadi soal. Tapi, kan kasihan, kalau misalnya si ibu masih baby blues atau orangtua belum sampai ke tahap acceptance seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya.
Dan pelajaran penting buat saya adalah bahwa ucapan-ucapan begitu nggak perlu terlalu dimasukkan hati lalu jadi ngambek atau gimana-gimana. Usahakan kasih pengertian dulu. Kalau ternyata keluarga besar masih kayak gitu, ya... mungkin kita punya PR untuk lebih menebalkan telinga dan hati saja.
Yang jelas, memiliki anggota keluarga yang berkebutuhan khusus itu memang perlu dukungan dan pengertian dari semua anggota keluarga besar, nggak hanya orangtua saja. Dukungan di sini lebih kepada dukungan moral dan perhatian, nggak hanya sekedar materi. Mungkin inilah PR besarnya bagi tiap keluarga dengan anak difabel.
Ada yang punya cerita serupa? Cerita saudara, teman, atau tetangga mungkin? Yuk share.. :)
Nanti, kalau Ubii udah pinter dan progresnya lebih maju lagi, atau sudah saatnya dikenalkan dengan lingkungan sosial yg lebih luas lagi, malah PR lagi buat mengedukasi lingkungan luas bagaimana kondisi Ubii.
ReplyDeleteSemangat ya mak Gesi..!!
Difaabel itu apa makk??
Deleteaku kok jadi pengin nagisss...inget hasan dan husen..
ReplyDeleteSaya ngaku mak, bahwasanya saya mungkin berlaku kurang adil. Anak kakak ipar saya ada yang mengalami retardasi mental. Dan kalau kebetulan dimintai tlg menjaga anak2nya karena ditinggal kemana gitu, saya lbh memilih menjaga adiknya yg sehat, sementara kakaknya yg difabel itu saya minta suami yang mengurusi.ya bkn krn malu atau membandingkan, tp menjaga dia butuh tenaga besar. Umurnya 8,5 tahun, cowok. kalau cranky teNaganya besar sekali buat mencakar, nabok,ato menjejak2kan kakinya.
ReplyDeletehai mama ubi,,,
ReplyDelete#titippelukbuatubi
kadang memang kita suka berlaku gak fair sama atau anak berkebutuhan khusus,,
contoh ya,,
aku punya sepupu umur 17 tahun laki-laki dan dia autis
kalau kerumah saudara atau bertamu,hal pertama yang dia tuju adalah kamar dan handphone yang lagi nganggur,,
si adek akan masuk ke kamar kami -ngacak2 kamar dan kemudia ngutak ngatik hape yang dia ambil (hape dipritilin sampai ke onderdil2nya)
disatu sisi kita paham kalau dia beda, dan kita harus nerima keadaanya tapi disisi lain kita sebel juga, karena setiap kedatangannya artinya ada satu hape yang rusak dan kamar yang berantakan
boleh tanya kalau kaya gini,baiknya gimana ya
karena orangtuanya juga nyantai dan selalu bersikap "ya anak kami kan beda jadi maklum aja"
krn seringnya kejadian hape yang rusak, kalau si adek mau berkunjung hal pertama yang kita lakukan adalah ngumpetin semua hape, dan juga ngunci kamar utama, jadi yang diacak-acak kamar yang di dapur aja,
semangat terus ya mami ubi,,selalu suka baca cerita2 mu tentang ubi,,
ubi bangga punya mami hebat kaya kamu,,
kejadian membanding-bandingkan anak memang sesuatu yang nggak ngenakin.
ReplyDeleteSabar ya, mami Ubii.. semua situasi cepat berubah. Atau kalau nggak bisa ya, memang harus tebelin kuping. Semangat aja..
Salam sayang untuk kakak Ubii :)
mak, saya punya kakak sepupu terbilang jauh ya nggak jauh2 banget, terbilang deket ya nggak deket2 banget. beliau wanita, sudah menikah, dan memiliki anak yg normal. bukan berarti saya membandingkan dengan kakak sepupu saya ini yang kebetulan memang tuna rungu dan tuna wicara.
ReplyDeleteAwalnya memang saya bingung, kenapa setiap kali diajak ngobrol, jawabannya pakai gerakan bahasa isyarat. Masih belum paham awalnya. Saya pikir, beliau mau ngajakkin mainan kode2an seperti itu. Alhasil, saya lebih senang menghabiskan waktu mengobrol jika berkunjung ke rumahnya dengan adiknya cewek yg kebetulan normal. Tapi, lambat laun, saya merasa nggak adil jika harus memperlakukan dua orang kakak beradik ini ndak adil seperti itu. Jadi, sebisa mungkin saya mengajak ngobrol beliau dan sembari belajar untuk memahami apa yang beliau maksud walaupun itu susah. Masih menerka2 dengan bahasa isyarat itu artinya apa, ucapannya artinya apa.
Alhamdulillah, sampai sekarang kami masih berkomunikasi dengan baik apabila bertemu. Walaupun dengan kemampuan saya yang terbatas dalam memahami maksudnya yaa, mak.
Jadi, lebih baik, pelan2, biar nggak timbul perbedaan diantara keduanya nanti, mak.