Beberapa teman saya ada yang menjalani LDR alias long distance relationship dengan suami mereka. Eh, nggak cuma beberapa dink. Cukup banyak malah. Baik itu teman dari komunitas blogger, parenting, atau Rumah Ramah Rubella. Dan, tiap kali kenal teman baru yang LDR-an dengan suaminya, saya selalu membatin, "Wuidih, hebat. Kok bisa ya. Aku sih mana mungkin mau ditinggal."
Tapi oh tapi, lagi-lagi Yang Maha Kuasa menunjukkan selera humor-Nya yang luar biasa. Akhirnya saya ketiban juga keharusan LDR dengan Adit. Cuman Jakarta-Jogja sih, tapi tetap saja saya nangis bombay mewek manja tuh. Lhah, kalo emang nggak bisa LDR, kenapa nggak ikut aja?
Hmmm, mau tau kenapa? [Disclaimer] tulisan ini nggak ada manfaatnya sama sekali. Ini murni curhat mami-mami alay yang lagi galau. Titik.
Pertama, saya kepengin jelasin kenapa saya sebenernya ogah banget nget nget ber-LDR ria sama Adit. Bukan, bukan karena takut dia selingkuh. Kesetiaan mah kembali ke diri dan niat masing-masing yah. Nggak usah LDR pun, kalau nggak tahan godaan ya bisa selingkuh-selingkuh aja kan.
Yang bikin saya ogah LDR-an adalah karena saya merasa nggak bakal bisa kalau nggak punya partner ngobrol sehari-hari. Saya tuh tipikal yang apa-apa harus diomongin, dikeluarkan, dijabarkan supaya lega. Walau kadang saya ngomel panjang lebar tentang sesuatu yang annoying dalam suatu hari ke Adit dan Adit cuman "Oh gitu, terus? Ya udah sabar aja" - rasanya saya tetap lega karena yang penting bisa mengeluarkan isi hati saya. Kadang (atau sering yah), saya tuh rasanya cuman butuh didengar aja. I need someone here beside me. Kesannya nggak banget yah. Not so independent kinda woman banget. But hey, I'm being honest here.
Saya memang suka ngomongin apa saja ke Adit. Like really really anything, bahkan hal nggak penting yang sebenernya kalau nggak diutarakan pun nggak bakal bikin saya rugi atau masa depan kami suram (lebay). Kayak misalnya, di minimarket beli roti satu gratis satu dan rotinya ternyata enak banget, cerita. Di tempat terapi, Kakak Ubii ngilerin tangan terapis, cerita. Nggak bisa ngeluarin motor dari parkiran pasar karena nggak kuat, cerita. Liat orang pakai jas hujan lucu di jalan, cerita. Liat baliho opening salon baru yang menawarkan paket facial murah banget, cerita (walau saya sebenernya nggak kepengin cobain). The bottom line is, saya memang doyan cerita.
Bayangin nanti Adit nggak di rumah, saya langsung nelangsa. Nanti cerita-cerita sama siapa? Masa sama tembok? *___*
Yes, I know sekarang bertebaran media untuk keep in touch. Bahkan kami bisa Face Time-an sehingga bisa saling liat wajah masing-masing. Tapi, entah kenapa, tiap kali Face Time-an, saya mendadak kehilangan gairah untuk cerewet dan cerita hal-hal nggak penting. Rasanya males aja. Jadi akhirnya Face Time-an ya cuman standar nanya how's your day, gimana kerjaan, tadi anak-anak begini, ya seputaran itu pokoknya. Phew!
Jadi ya, walau hanya Jakarta-Jogja, buat saya rasa kehilangan itu tetap kental terasa. Hoek bahasa nya *___*
Yah, baeklah, alasan di atas mungkin terdengar konyol banget untuk para pelaku LDR yang sudah master. Tapi, ada lagi sih alasan yang agak lebih serius. Apa lagi kalau bukan tentang mengasuh Kakak Ubii dengan segala tantangan lahir batin ini..
Selama ini orang-orang melihat saya kuat dan tegar mengasuh Kakak Ubii dengan disabilitas nya. Sebetulnya, saya nggak ngerasa kalau saya sekuat itu, to be honest. Saya cuman merasa masih dimampukan untuk waras. Dan, buat saya, kewarasan ini lah yang mahal harga nya. Kenapa saya bisa tetap waras dan optimis? Karena ada Adit di samping saya. Karena dia selalu bisa jadi partner yang asyik untuk mentertawakan kehidupan bersama. Contohnya ya dengan percakapan-percakapan absurd dan konyol kami.
Baca: Keeping Our Sanity
Kalau Kakak Ubii sudah lulus semua ikhtiar kesehatan nya, mungkin akan beda cerita nya. Mungkin saya akan merasa lebih siap LDR-an. Mungkin saya akan lebih bisa mengesampingkan ketakutan saya nggak punya telinga yang mau mendengar kecerewetan saya bercerita hal-hal remeh. But, sadly, the truth is... Kakak Ubii masih seperti ini. Tiap hari ia menghadirkan tantangan tersendiri dalam pengasuhannya. Membayangkan saya bakal menghadapi ini sendirian, rasanya berat jendral!
Terus, kenapa saya dan anak-anak nggak ikut ke Jakarta aja? Selesai perkara kan. Huff, I wish things were that simple. Setelah pernah hidup di Jakarta selama 4 bulan, ternyata kami sepakat bahwa apa yang dibutuhkan Kakak Ubii dalam ikhtiar kesehatan nya paling baik adalah di Jogja.
Baca: Hijrah Ke Jakarta
Biasanya, orang akan mengerutkan kening dan nyeletuk, "Ah, masak? Bukannya apa-apa di ibu kota itu lebih lengkap ya?" setelah mendengar saya cerita kalau yang terbaik untuk Kakak Ubii adalah di Jogja. Kalian juga membatin gitu nggak nih? Huehehehehehehehehe.
The answer is... no, not always. Untuk banyak hal mungkin Jakarta memang menawarkan sesuatu yang lebih lengkap, lebih baik, lebih fabulous, or whatever you may call it. But, for Kakak Ubii's medical treatments, the best place is in Jogja. Kenapa? Ada beberapa alasan. Kalau kalian masih betah baca curhatan menye-menye ini, nih saya jelasin.
Satu, penanganan fisioterapi yang lebih baik ada di Jogja. Di Jakarta tempat fisioterapi tentu seabrek-abrek. Tapi, nggak ada satu pun yang rasa cocok untuk Kakak Ubii. Ada metode fisioterapi di Jogja bernama neurosenso (untuk menata fungsi syaraf dan fungsi sensoris) yang di Jakarta nggak saya temukan. Lalu, di Jogja itu, tiap sesi fisioterapi diakhiri dengan sesi stimulasi oromotor (oral motor). Di beberapa tempat fisioterapi yang pernah saya cobain di Jakarta, nggak ada kayak gitu. Padahal fungsi oromotor Kakak Ubii juga masih perlu banget dilatih terus.
Dua, jarak. Oke, beberapa tempat fisioterapi yang saya coba dan hasilnya saya kurang puas tersebut memang di area Jakarta yang masih sekitaran tempat numpang kami di Jakarta. Saya memang belum coba survey di area Jakarta yang lain, yang mungkin kalau dicari satu-satu bakal ketemu yang cocok juga. Tapi, kalau ternyata ada yang cocok dan jaraknya jauh, saya keberatan kalau kami harus kehabisan waktu di perjalanan. Nope, bukan saya manja. Tapi saya memikirkan Kakak Ubii. Kalau menempuh perjalanan lama untuk sampai ke tempat terapi, biasanya ia akan capek di jalan (karena kalau sudah di dalam mobil, Kakak Ubii nggak mungkin tidur). Kalau capek di jalan duluan, akhirnya sesi fisioterapi jadi nggak maksimal. Entah ia ketiduran karena capek atau malah rewel dan bikin saya KZL. Jadi, jarak yang jauh menjadi pilihan yang nggak efektif untuk kondisi Kakak Ubii.
Tiga, tenaga kesehatan terbaik untuk kondisi Kakak Ubii lebih memungkinkan ditemui di Jogja. Tenaga kesehatan yang saya maksud di sini adalah neurolog anak alias dokter anak subspesialis syaraf. Kakak Ubii dengan cerebral palsy nya membutuhkan konsumsi obat rutin tiap hari. Tenaga kesehatan yang lebih pas untuk handle ini adalah neurolog anak, nggak hanya dokter anak biasa. Di Jogja, saya bisa ke neurolog anak terbaik di kota pelajar ini. Antre pun, ya masih hitungan jam lah, masih manusiawi dan masuk akal. Di Jakarta, saya kesulitan akses ketemu neurolog anak terbaik. Untuk orangtua dengan anak seperti Kakak Ubii pasti sudah familiar dengan dua nama ini: dr. Hardiono dan dr. Irawan. Mereka bisa dibilang neurolog anak yang paling banyak dituju di Jakarta. Saat saya masih stay di Jakarta kemarin itu dan kepengin mendaftar untuk konsultasi dengan dr. Hardiono di klinik beliau di Klinik Anakku, astaga naga, antre nya 3 bulan sodara-sodara. TIGA BULAN! Buat saya, itu jelas jadi pertimbangan yang sangat serius.
Jadi, saya bilang kalau ikhtiar kesehatan Kakak Ubii lebih baik di Jogja, masuk akal kan? *minta dukungan* *please say yes*
***
T___________T
So, here I am, berusaha berdamai dengan kondisi yang baru. Hari pertama kerja Adit di Jakarta masih 25 Januari sih. Tapi, mellow nya, galau nya, alay nya saya sudah merekah dari sekarang. Lembek banget mental saya ini memang.
Hibur saya dong...........................
semangat mamih ubi,,,,
ReplyDeletekebayang gak enaknya ldr,,
dan honestly jakarta itu memang menyebalkan,,
macet - manusia dengan ego dan tingkat ketidakpedulian yang tinggi,,
aku juga suka jogya,,karena jogya itu damai,sepi, dan tenang,,
kalau bisa pindah ke yogya,,aku mau banget pindah keyogya,,
Semangat Mbk, ojo dibayangke tapi dilakoni. Pelan-pelan nanti bisa menyesuaikan. Ini yg nulis pelaku ldr 6 th lo haha
ReplyDeleteSemoga semuanya dimudahkan ya, Mami Grace... :)
ReplyDeleteaq ga LDR mb ges tp kalau ayah akil lg ada proyek ya bisa ditinggal sebulan kadang ga da art lho mb ngurus 3 jagoan ,pagi dan siang anter jemput 2 kakak akil yg beda jam masuk dan keluar sekolahnya, nonton bioskop dengan 3 jagoan hihi belanja dengan 3 jagoan seru pokoknya hmm alhamdulillah kaka2 nya sudah belajar jagain akila
ReplyDeleteMaaak, tak hibur sini sini :* Kalo ke Jogja aku sowan denganmu yaa
ReplyDeletewahhh Mami Ubiii baru mulai, aku dong sampe sekarang masih LDR-an sejak menikah 2010 lalu, jadi udah 5 tahun kan, suami di Cirebon saya di Bogor, tapi enjoy aja yang penting weekend pulang
ReplyDeleteSaya pengen LDRan, tp mbuh nanti gmn. Suami aja blm punya
ReplyDeleteAaah mama ubiii kayak saya banget sih. Ga bisa jauh dari suami karena saya pun sama apa2 cerita. Nih saya komen d blog mama ubi pun cerita hahaha
ReplyDeleteSaya pun juga suka cerita. Apa-apa diceritain. Makanya, waktu suami mau kerja di Jakarta, sayanya stay di Gresik, saya udah nggak rela banget. Malah berdoa moga2 ga diterima. Jahat ya? Tapi gimana lagi?
ReplyDeleteSabar ya mami ubi kebayang kerepotan dan kehampaan yg dilalui. Saya pernah ldr an juga sama suami dari yg ketemu seminggu sekali sampai enam bulan sekali, fyuhh lah rasanya. Semoga tetap kuat dan happy ya :).
ReplyDeleteAku jugaaa story teller banget. Hahaha.. perempuan ya semua diomongin. Iyah, d jakarta macet kmana2. Semangat ya mami Ubii...
ReplyDeleteMami Ubii pasti bisa *sok bijak padahal blm pernah ngerasain :P
ReplyDeleteEtapi yakin, kalo selama ini apapun 'hadiah istimewa' dr Yang Kuasa bisa dilalui (dgn ups and downs yg sy sendiri ga tau hihihi), artinya kali ini juga bisaaa!!
Mami Ubiii ... tahu, tidak ... saya melihat cara berpikir/bersikap/merasa saya sama seperti dirimu. Saya merasa mengerti sekali membaca curhatan ini walaupun saya tak mengalaminya, tapi saya membayangkan akan begitu juga kalau mengalaminya dengan kondisi anak2 saya sekarang. Tiga anak kami, warnanya sungguh warna-warni, dengan tantangannya masing. Dan saya tahu saya kuat karena ada bapaknya anak2. Orang tua kami sama sekali bukan partner buat saya. Mereka punya pikiran dan "dunia" sendiri yang tidak akan mengerti pikiran saya dan suami dalam mengambil tindakan buat anak2.
ReplyDeleteYang sabar yah. Saya yakin, setelah nulis, rasanya akan lebih plong dan lebih siap menghadapi 25 Januari ;)
Peluk dari Makassar :*
Awal2 mungkin akan sulit mb...tp nanti pasti terbiasa. Ada keluarga lain yang bisa membntu saat bener2 repot handle ubii dan adeknya kan. Untuk komunikasi..bisa manfaatin teknologi..
ReplyDeleteMami ubi...aku malah blm tahu setelah 2tahun ke depan bakal LDR an lagi nggak-_-. Sebenarnya jelas nggak pgn LDR, tapi somehow males banget tinggal di Jakarta, hehe. Soalnya bandinginnya sama Jogja sih akunya..hmmm #malahcurcol
ReplyDeleteSemangaaaaaaaaat, kudu kuat, tergar berjuang demi anak-anak. Kalo butuh teman ngobrol sini mak curhat bareng via WA :) cup-cup...Mami Ubi pasti bisa!
ReplyDeleteSemangat maaaaak. LDR pasti berlalu
ReplyDeleteSemangat, semangat! Demi anak-anak :)
ReplyDeleteSemangat mak. Mungkinkah meminta ibu atau ibu mertua utk menemani tinggal si rumah? Atau mencari art menginap mungkin? Intinya hrs ttp semangat ya. Jangan dibayang2kan. Jalani aja. Mak akan merasa, oh ternyata gue bisa ya...
ReplyDeleteTtp semangat ya...
Setuju baget Mami Ubii, Jakarta memang menawarkan kelengkapan, apa aja ada, tapi semua itu ga selalu cocok & nyaman untuk kita. Seringkali jarak, waktu, biaya serta rasa nyaman menjadi kendala untuk tinggal di Jakarta, apalagi kita bawa rombongan krucil, pastinya kenyamanan krucil jadi prioritas. Semangat LDR Mami Ubii. Tuhan pasti menolong dengan caraNya.
ReplyDeletesupport apapun keputusan yang terbaik buat Mak GEs & Adit. semangat
ReplyDeletesemangat Mami Ubii :)
ReplyDeletesemoga Mami,Papi,Kakak Ubii & Adik Aiden kuat menjalani LDR-an ini..
saya juga LDRan dengan suami dan anak, memang berat tapi sampai saat ini kondisi itulah yang terbaik.. :)
keep strong yah Mbak Ges :)
semoga dimudahkan semua urusannya yya mami Ubii
ReplyDeletesemangat mami Ubiiii
ReplyDeleteaku yang pacaran ((pacaran)) jogja-maluku aja rasanya emmmmmm luwar biyasak :'D
btw mami Ubi Jogjanya di mana? Kali kita ketemu hehe
Nih mami ubi tak hibur : tak gintang gintang gintung tek tek tek dot hihihi
ReplyDeleteSemangaaat!
semangat mami ubiiihh
ReplyDeletenanti play lagunya RAN - Dekat di hatii yaa
*lho malah galau nantii
btw salam kenal baru pertama kali main ke blog ini
Saya pun LDR-an dengan suami, Mbak. Menjelang detik2 LDR emang suka mewek dan galau2 gimana gitu. Dan itu terjadi tiap 2 bulan. Hiks. Tapi emang sih ngebayanginnya yang bikin melow. Kalau ngejalaninnya ya berjalan gitu aja. Tau2 dekat lagi bisa ketemuan :D #curcolnihsaya
ReplyDeletepukpuk mami ubii. klo LDR artinya kita jd istri yg tangguh.
ReplyDeleteSemangaaatt bu, baru mampir disini. Saya juga LDR an sama suami, suami ada di maroko, karna kami blm punya anak jd saya bner2 sendiri dan itu berasa bgt hampanya, apalagi beda waktu di maroko. Disini siang dsana malam, mesti begadang dlu klu mau vidcol hehehee
ReplyDeleteSemangaaatt bu, baru mampir disini. Saya juga LDR an sama suami, suami ada di maroko, karna kami blm punya anak jd saya bner2 sendiri dan itu berasa bgt hampanya, apalagi beda waktu di maroko. Disini siang dsana malam, mesti begadang dlu klu mau vidcol hehehee
ReplyDeletesabarrrr nyonyahhhh...aku dukung dehh...di jkt ituu gak enaakkk ( klo bukan boyongan ikut misua, mending di kmpung sonoo hooohoo)
ReplyDeleteSemangat mba... ya walaupun menjalani tak mudah ya. Dulu saya juga pernah ngalaminya.. akhirnta skarang ngumpul lagi.
ReplyDeletemudah2an nanti ada jalan buat barengan lagi.. yey...
Puk puk gessie... mamanya ubi pasti bisa, pasti kuat :)
ReplyDeleteoala mami Ubii.., kok kita sama banget. enggak akan kuat aku ldr dengan suami plus alasannya itu, plek ketiplek sama banget denganku. Aku pun tukang cerita ke suami, hal-hal enggak penting dan sepele, semua kuceritai.Dan masalah ngurus anak dengan kebutuhan khusus, kalau enggak ada suami, aku bisa stress berat. Karena itu aku lebih rela penghasilan kami pas-pasan saat ini, yang penting kebahagiaan keluarga terjaga, daripada penghasilan besar tapi aku dan anak-anak tidak bahagia, hanya terkamuplase dengan materi yang semu. itu pandanganku ya mami Ubii. maaf kalau malah bikin dirimu galau..
ReplyDeleteDulu....bahkan saya harus resign demi supaya tidak LDR...
ReplyDeleteaku aja ditinggal suami seminggu tugas ke jakarta kangennya minta ampun..apalagi LDR...ogah juga mak Ges..kemanapun suami pergi pasti harus ikut..hehehe
ReplyDeleteAku juga LDRan mami ubi, setiap bulan pasti deh suami aku keluar kota entah 2 minggu bahkan sebulan,emang sih gak menetap disana, tapi kan tetep jauhan oiaa toos juga ah aku sama kok kaya dirimu ngasuh 2 krucil 2 tahun sama 1 tahun.
ReplyDeletesemangat ya mami ubi... ngeline aja tiap malem hehehe
semangat ya mak Ubi.. saya juga LDR ama suami. pengen sih ikut ama dia. tapi sepertinya tidak memungkinkan karena pengobatan saya di sana tidak memungkinkan. ya, dokter nya yang nggak cocoklah, pelayanan medisnya yang nggak sesuai, dll. Apalagi penyakit saya juga butuh penanganan serius kan.
ReplyDeletesemangat ya mba...
saya juga orang yang ga bisa LDR mamiii.. terutama alasan takut diselingkuhi haha... aneh yoo...
ReplyDeletesemangatlah.. cerita lah sama anak2.. walo mereka ga paham tp yang penting kan legaa
huhu..aku juga ga kuat kalau LDR, bisa nangis bombay bingits.
ReplyDeletepaling lama ditinggal suami tugas keluar kota 3 minggu aja, rasanya beraa...aats
Mbak Gess kamu cantik kamu kuat kamu unyu (lho?) Kamu strong kamu pasti bisa!!
ReplyDeleteStay happy Mbak, satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk tetap 'waras'. I hope you can pass it well. :') {}