Kalau sudah jadi orangtua, salah satu tempat yang langganan kita datangi adalah rumah sakit atau klinik untuk bertemu dokter anak, yes? Entah untuk konsultasi rutin, cek tumbuh kembang sudah sesuai tahapan usia atau belum, konsultasi saat anak terserang demam, batuk, atau pilek, dan tentunya.. imunisasi rutin.
Apalagi kalau kita punya bayi di bawah satu tahun, pasti jadi harus sering ketemu dokter anak, wong jadwal imunisasinya padat merayap begitchu.
Apakah teman-teman sudah menemukan dokter anak yang cocok? Selama ini punya kriteria tertentu nggak dalam memilih dokter anak?
Saya pribadi, kadang-kadang coba-coba beberapa dokter dulu sampai bertemu yang cocok. Nggak cuman untuk dokter anak ya, tapi juga untuk dokter spesialis yang lain juga. Untuk dokter anak, apalagi, saya bener-bener pengin menemukan yang cocok dan pas karena saya pasti akan sering bertemu dengan beliau untuk kepentingan-kepentingan yang saya sebut di atas.
Oh ya, ini adalah postingan #GesiWindiTalk yang ke-4 yah. Baca juga dari kacamata Windi Teguh:
1) Komunikatif dan Informatif
Hal ini bertengger di urutan pertama dan jadi prioritas saya. Saya kepengin punya dokter anak yang komunikatif dan informatif. Buat saya, ini penting banget. Dengan dokter yang komunikatif, saya nggak akan sungkan kalau saya mau nanya-nanya misal tentang:
"Kalau imunisasi ini telat, masih boleh dikejar sampai batas usia berapa?"
"Dok, boleh minta contoh jadwal menu MPASI yang baik dan bergizi?"
Baca: Daftar Perlengkapan MPASI Bayi dan Harganya
Baca: Daftar Perlengkapan MPASI Bayi dan Harganya
"Dok, kok saya kesulitan memplot grafik pertumbuhan Baby Aiden di growth chart, boleh dibantu?"
dan lain-lain
Pernah saya ketemu dengan dokter anak yang irit bicara. Pertanyaan saya dijawab ala-kadarnya. Bahkan, beliau cenderung terlihat kurang menyimak dan buru-buru. Yah nggak puas dong rasanya. Sayang uang yang sudah keluar untuk tarif ketemu dokter anak juga, kan?
2) Menghargai Pasien yang Talkative
Setelah beberapa kali coba-coba dokter, saya bisa menyimpulkan kalau ada 2 tipe dokter anak. Satu, yang suka dan malah ikut antusias jika bertemu ibu pasien yang banyak bicara dan detil saat menjelaskan kondisi anaknya dan banyak bertanya. Dua, yang malah merasa annoyed mendapati ibu pasien yang talkative. Saya jelas suka tipe dokter anak yang pertama.
Lha kalau saya banyak omong tapi dokter anaknya malah keliatan annoyed, gimana saya bisa menjelaskan, dong? Padahal kadang kan kita perlu menjelaskan dengan rinci. Misalnya anak demam, kita perlu menjelaskan berapa derajat celcius, mulai demam sejak kapan, malas makan atau minum enggak karena demamnya, frekuensi buang air nya gimana setelah demam, dan lain-lain.
Baca: Membuat Buku Kesehatan Anak
3) Jarak Terjangkau
Walaupun faktor yang paling saya perhatikan dalam memilih dokter anak adalah gaya dokter anaknya, tapi saya juga tetap mempertimbangkan jarak rumah sakit/klinik tempat si dokter praktik dari rumah saya. Terjangkau nggak (untuk hitungan jarak saya)? Terlalu jauh nggak? Kalau sekiranya nanti terlalu jauh, kira-kira ada transport untuk ke sana nggak?
Tapi, puji syukur sih, selama ini dokter anak yang saya rasa klop, lokasi praktiknya terjangkau semua dari rumah saya. Kalau memang ada rumah sakit/klinik tempat beliau praktik yang saya rasa terlalu jauh, biasanya saya tanya opsi tempat praktik beliau yang lain.
4) Nggak Keberatan Dihubungi Via Chat (WhatsApp/BBM)
Ya, benar, saat kita perlu memeriksakan kondisi anak kita, memang kita dianjurkan untuk membawa anak kita ke dokter anak supaya dokter bisa melihat kondisinya langsung. Itu saya setuju banget. Maksud saya di sini lebih ke chat kalau ada yang saya rasa perlu ditanyakan di luar jam praktik sang dokter.
Baca: What's New From MedicTrust
Seperti misalnya dulu pernah Baby Aiden tampak kuning saat berumur beberapa hari. Kuning saja sih, nggak lemas dan nggak yang jadi malas nenen. Kadang-kadang tuh saya yang gampang parno. Makanya saya fotokan dulu penampakan Baby Aiden lalu kirimkan lewat WhatsApp ke dokter anak Baby Aiden untuk menanyakan apakah dengan seperti ini saya harus segera membawanya ke dokter anak (atau ke IGD bila memang dirasa urgent).
Jadi, kalau buat saya, dokter anak yang mau meluangkan waktu untuk membaca dan membalas pesang/pertanyaan kita (walau singkat padat jelas), jadi faktor pertimbangan juga.
5) Open Minded
Open minded di sini saya artikan sebagai si dokter nggak selalu merasa benar mentang-mentang dia yang dokter. Contohnya gini, ada beberapa dokter anak yang masih menganjurkan kita menelanjangi bayi/anak (atau hanya pakai pampers saja) saat kita menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Padahal, aturan terbaru IDAI jelas menyatakan bahwa itu sudah kuno banget. Aturan yang baru adalah kita tetap memakaikan baju pada bayi/anak saat kita menjemurnya.
Saat saya dianjurkan menelanjangi, otomatis saya bilang kalau aturan itu sudah nggak berlaku sambil saya tunjukkan sekalian literatur yang mendukung. Dokter yang open minded akan menerima dan mau diajak berdialog. Bukannya malah marah karena dikoreksi dan merasa pasien yang salah.
Ingat, pasien juga harus smart yah ;)
6) Nggak Tua-Tua Amat
Biasanya saya prefer dokter anak yang nggak tua-tua amat. Kenapa? Karena dokter yang belum tua-tua banget biasanya akan lebih komunikatif, informatif, dan open minded. Biasanya mereka juga lebih mudah dihubungi lewat chat karena nggak gaptek. Kaitannya dengan poin-poin yang saya jelaskan sebelumnya.
Untuk dokter spesialis anak, banyak kok yang belum tua-tua amat. Beda kalau dokter spesialis anak yang ada subspesialisnya lagi, misalnya subspesialis syaraf anak atau jantung anak. Nah, kalau dokter anak yang subspesialis, biasanya yang mumpuni memang yang sudah berumur. Based on my own experience. Hehehe.
7) Tarif Jasa Dokter
Siapa pun pasti lebih memilih yang lebih murah ya kalau memang ada pilihan, ya kan? Saya pun juga begitu. Misal saya sudah cocok dengan dokter anak X, biasanya saya juga lihat-lihat di tempat praktik mana si dokter X ini praktik yang fee dokternya lebih ramah di kantong saya. Kan lumayan kalau bisa ngirit sedikit. Hehehe.
8) Nggak Hobi Meresepkan Antibiotik
Kalau suka menyimak seminar parenting atau kesehatan, pasti tau ya ada anjuran untuk jangan gampang memberikan antibiotik pada anak. Nah, jadi saya suka dokter anak yang nggak gampang keluar resep atau instruksi untuk beli antibiotik. Misal anak 'hanya' demam ringan, saya lebih suka dokter anak yang menyarankan saya untuk kompres dulu dan memberi paracetamol dulu alih-alih langsung kasih antibiotik.
9) Ada Tempat Menunggu Yang Nyaman
Kadang dokter yang ingin temui antriannya banyak karena termasuk dokter anak yang recommended. Saya sebetulnya nggak masalah kalau memang harus antre. Tapi, cukup penting juga menurut saya, rumah sakit/klinik tempat praktik dokter anak tersebut punya tempat menunggu yang nyaman.
Pernah saya ke dokter yang antrean nya mengular, lhah tapi kursi untuk menunggu nya duikit buanget. Jadi banyak pasien yang harus berdiri, mana kliniknya sempit pula dan parkiran juga agak jauh. Akhirnya banyak deh yang berdiri entah berapa lama.
So, for me, tempat menunggu antrean yang nyaman jadi faktor pertimbangan juga, meskipun nggak urgent-urgent amat. Syukur-syukur di rumah sakit disediakan mini playground. Asik deh. Kalau klinik sih kayaknya jarang banget yang ada mini playground nya (I'm talking about klinik di Jogja). Kalau di kota besar seperti Jakarta, mungkin ada juga.
I guess that's pretty much all about tips memilih dokter anak berdasarkan pengalaman saya. Ada juga orangtua yang menambahkan dengan poin antrian nya nggak lama. But, kembali lagi sih ke kenyamanan keluarga masing-masing.
Kira-kira ada tips apa lagi dalam memilih dokter anak yang pas? Ada yang mau menambah atau ikut sharing? Yuk yuk yuk...
^___^
Love,
Lha kalau saya banyak omong tapi dokter anaknya malah keliatan annoyed, gimana saya bisa menjelaskan, dong? Padahal kadang kan kita perlu menjelaskan dengan rinci. Misalnya anak demam, kita perlu menjelaskan berapa derajat celcius, mulai demam sejak kapan, malas makan atau minum enggak karena demamnya, frekuensi buang air nya gimana setelah demam, dan lain-lain.
Baca: Membuat Buku Kesehatan Anak
3) Jarak Terjangkau
Walaupun faktor yang paling saya perhatikan dalam memilih dokter anak adalah gaya dokter anaknya, tapi saya juga tetap mempertimbangkan jarak rumah sakit/klinik tempat si dokter praktik dari rumah saya. Terjangkau nggak (untuk hitungan jarak saya)? Terlalu jauh nggak? Kalau sekiranya nanti terlalu jauh, kira-kira ada transport untuk ke sana nggak?
Tapi, puji syukur sih, selama ini dokter anak yang saya rasa klop, lokasi praktiknya terjangkau semua dari rumah saya. Kalau memang ada rumah sakit/klinik tempat beliau praktik yang saya rasa terlalu jauh, biasanya saya tanya opsi tempat praktik beliau yang lain.
4) Nggak Keberatan Dihubungi Via Chat (WhatsApp/BBM)
Ya, benar, saat kita perlu memeriksakan kondisi anak kita, memang kita dianjurkan untuk membawa anak kita ke dokter anak supaya dokter bisa melihat kondisinya langsung. Itu saya setuju banget. Maksud saya di sini lebih ke chat kalau ada yang saya rasa perlu ditanyakan di luar jam praktik sang dokter.
Baca: What's New From MedicTrust
Seperti misalnya dulu pernah Baby Aiden tampak kuning saat berumur beberapa hari. Kuning saja sih, nggak lemas dan nggak yang jadi malas nenen. Kadang-kadang tuh saya yang gampang parno. Makanya saya fotokan dulu penampakan Baby Aiden lalu kirimkan lewat WhatsApp ke dokter anak Baby Aiden untuk menanyakan apakah dengan seperti ini saya harus segera membawanya ke dokter anak (atau ke IGD bila memang dirasa urgent).
Jadi, kalau buat saya, dokter anak yang mau meluangkan waktu untuk membaca dan membalas pesang/pertanyaan kita (walau singkat padat jelas), jadi faktor pertimbangan juga.
5) Open Minded
Open minded di sini saya artikan sebagai si dokter nggak selalu merasa benar mentang-mentang dia yang dokter. Contohnya gini, ada beberapa dokter anak yang masih menganjurkan kita menelanjangi bayi/anak (atau hanya pakai pampers saja) saat kita menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Padahal, aturan terbaru IDAI jelas menyatakan bahwa itu sudah kuno banget. Aturan yang baru adalah kita tetap memakaikan baju pada bayi/anak saat kita menjemurnya.
Saat saya dianjurkan menelanjangi, otomatis saya bilang kalau aturan itu sudah nggak berlaku sambil saya tunjukkan sekalian literatur yang mendukung. Dokter yang open minded akan menerima dan mau diajak berdialog. Bukannya malah marah karena dikoreksi dan merasa pasien yang salah.
Ingat, pasien juga harus smart yah ;)
6) Nggak Tua-Tua Amat
Biasanya saya prefer dokter anak yang nggak tua-tua amat. Kenapa? Karena dokter yang belum tua-tua banget biasanya akan lebih komunikatif, informatif, dan open minded. Biasanya mereka juga lebih mudah dihubungi lewat chat karena nggak gaptek. Kaitannya dengan poin-poin yang saya jelaskan sebelumnya.
Untuk dokter spesialis anak, banyak kok yang belum tua-tua amat. Beda kalau dokter spesialis anak yang ada subspesialisnya lagi, misalnya subspesialis syaraf anak atau jantung anak. Nah, kalau dokter anak yang subspesialis, biasanya yang mumpuni memang yang sudah berumur. Based on my own experience. Hehehe.
7) Tarif Jasa Dokter
Siapa pun pasti lebih memilih yang lebih murah ya kalau memang ada pilihan, ya kan? Saya pun juga begitu. Misal saya sudah cocok dengan dokter anak X, biasanya saya juga lihat-lihat di tempat praktik mana si dokter X ini praktik yang fee dokternya lebih ramah di kantong saya. Kan lumayan kalau bisa ngirit sedikit. Hehehe.
8) Nggak Hobi Meresepkan Antibiotik
Kalau suka menyimak seminar parenting atau kesehatan, pasti tau ya ada anjuran untuk jangan gampang memberikan antibiotik pada anak. Nah, jadi saya suka dokter anak yang nggak gampang keluar resep atau instruksi untuk beli antibiotik. Misal anak 'hanya' demam ringan, saya lebih suka dokter anak yang menyarankan saya untuk kompres dulu dan memberi paracetamol dulu alih-alih langsung kasih antibiotik.
9) Ada Tempat Menunggu Yang Nyaman
Kadang dokter yang ingin temui antriannya banyak karena termasuk dokter anak yang recommended. Saya sebetulnya nggak masalah kalau memang harus antre. Tapi, cukup penting juga menurut saya, rumah sakit/klinik tempat praktik dokter anak tersebut punya tempat menunggu yang nyaman.
Pernah saya ke dokter yang antrean nya mengular, lhah tapi kursi untuk menunggu nya duikit buanget. Jadi banyak pasien yang harus berdiri, mana kliniknya sempit pula dan parkiran juga agak jauh. Akhirnya banyak deh yang berdiri entah berapa lama.
So, for me, tempat menunggu antrean yang nyaman jadi faktor pertimbangan juga, meskipun nggak urgent-urgent amat. Syukur-syukur di rumah sakit disediakan mini playground. Asik deh. Kalau klinik sih kayaknya jarang banget yang ada mini playground nya (I'm talking about klinik di Jogja). Kalau di kota besar seperti Jakarta, mungkin ada juga.
***
I guess that's pretty much all about tips memilih dokter anak berdasarkan pengalaman saya. Ada juga orangtua yang menambahkan dengan poin antrian nya nggak lama. But, kembali lagi sih ke kenyamanan keluarga masing-masing.
Kira-kira ada tips apa lagi dalam memilih dokter anak yang pas? Ada yang mau menambah atau ikut sharing? Yuk yuk yuk...
^___^
Love,
makasih mami ubiii tipsnya..
ReplyDeleteSama-sama, Mak Tetty. Semoga bermanfaat ^^
DeleteAlhamdulillah sih, Junjun cocok sama dsa langganan keluarga, dulu itu dsa nya adek aku, kalau sakit adik aku sembuhnya kalau udah ke dsa itu... hehehe
ReplyDeleteAlhamdulillah :))
Deleteampe skr aku masih setia ama dokter anak yg dulu merawat anakku yg pertama pas lahiran.. saking senengnya ama dia, pas lahiran kedua, aku minta request dokter anaknya harus dia lagi pas lahiran.. ampe bikin surat requestnya tuh krn sbnrnya pas aku lahiran cesar kedua yg menjadi dokter anak bukan dokter yg aku mau itu.. seneng ama dia mungkin krn tiap anakku sakit, semua obat2nya cocok, dan rasa puyernya ga pahit, jd anakku ga susah minum.. pernah sekali coba k dokter anak lain, wiiih, dilepeh2 obatnya krn pahit bgt ;p
ReplyDeletetrs mungkin krn sama suku juga mbak, hahaha, jd kdg kita ngomongin kampung halaman ;p ..yg paling penting dia kliatan sayang ama anak2...
Kalo sama suku nya memang jadi nyambung ya, Mba. Jadi punya topik buat ngobrol ringan dan becanda-canda :D
DeleteDuh dokter anakku tua syekalihhh jadi ga komunikatif.
ReplyDeletengomongnya pun daku suka ga paham.
abis emang niat imunisasi doang ke sana. mudah2an tumbang nya kece :D
Hehehe, entah kenapa dokter yg agak tua kok agak pendiam ya >.<
DeleteIyaaahhh...kadang klo dokter yang annoyed kalau kita cerewet itu bikin ilfil yaaa hihihi, apalagi buru buru. Baru dipegang langsung bilang, ini gapapa...hadehhhh. Dulu kalo kami nggak ngeyel, Aisha juga dibilang gapapa gapapa aja kali ya #ehh #curcol
ReplyDeleteIh iya ih, kesel banget kalo gitu. Kita datang bawa keluhan untuk dapat solusi dan saran malah dibilang nggak papa nggak papa. Kan jadi bingung.. Hiks.
DeleteHalo mba salam kenal.
ReplyDeleteSelama ini saya silent reader dan kagum banget sama mba.
Boleh tahu gak kalau Aiden daa nya siapa di Jogja. Selama ini saya ke dsa di Happyland dan dsa bawaan lahiran di sardjito. Tapi lebih sering ke dsa yang bawaan lahiran karena selain muda komunikatif juga ga asal kasih resep. Kalo praktek di rumhnya jauh lebih murah malah. Masalahnya kadang pas mau imunisasi ps sayaga bisa datengin karena beberapa hal. Nah ini masih nyari dsa lagi sih yang kriterianya seperti yang mba Grace tulis. Makasih ya mba
Halo mba Thiti Fitria. Salam kenal juga ya. Makasih sudah mampir-mampir blog Mami Ubii. Sebenernya dokter anak Aiden dari awal (plus dokter anak Kakak Ubii juga) adalah dr. Ade Febrina Lestari, Sp.A praktik di RS UGM dan RSIA Sadewa. Tapi, sama. Kadang aku juga nggak bisa bawa anak-anak ke beliau. Plus, sekarang kami pilih ke dsa di rs yang sudah kerja sama dg asuransinya kantor Adit. Jadi sekarang kami ke JIH. Kalau di JIH, kami ke dr. Nurlaili, mba :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHalo mba. Terimakasih tips artikelnya. Kebetulan saya lagi cari dsa yg rekomendasi di bandung tapi khusus utk yg spesialis penyakit kuning. Ada rekomendasi mba? Soalnya anak saya pernah skali di cek di dokter anak,memang katanya ga bermasalah krn minum asi bagus,aktif,dan bab lancar,juga ga demam. Tp liat badan dan wajahnya ko kuning padahal uda 4minggu ,di cek juga bilirubin nya 7,0 (normal nya dibawah 1,0).
ReplyDeleteSaya jadi khawatir, kalau memang sehat knapa kuningnya ga ilang. Dan dokter anak tsb ga bisa kasih penjelasan yg cukup puas mnurut saya krn cuma disuruh nunggu sampe umur 2 bulan. Pdhal kalau kuning dlm waktu lama kan beresiko.Ada saran ga mba utk rekomen dsa nya?
Makasi ya mba
Halo mba. Terimakasih tips artikelnya. Kebetulan saya lagi cari dsa yg rekomendasi di bandung tapi khusus utk yg spesialis penyakit kuning. Ada rekomendasi mba? Soalnya anak saya pernah skali di cek di dokter anak,memang katanya ga bermasalah krn minum asi bagus,aktif,dan bab lancar,juga ga demam. Tp liat badan dan wajahnya ko kuning padahal uda 4minggu ,di cek juga bilirubin nya 7,0 (normal nya dibawah 1,0).
ReplyDeleteSaya jadi khawatir, kalau memang sehat knapa kuningnya ga ilang. Dan dokter anak tsb ga bisa kasih penjelasan yg cukup puas mnurut saya krn cuma disuruh nunggu sampe umur 2 bulan. Pdhal kalau kuning dlm waktu lama kan beresiko.Ada saran ga mba utk rekomen dsa nya?
Makasi ya mba
Selain itu, dokter yg Ok itu..yg pnya pengalaman bnyk, rajin, SKILL, dan pnya INTEGRITAS...cb pilih yg ada (K) bsa skill nya lbh OK...
ReplyDeleteMbk . Mau tanya. Dr.ade enak kah mbj? Mksh
ReplyDeleteMbk . Mau tanya. Dr.ade enak kah mbj? Mksh
ReplyDelete