Tempo hari, saya pernah menjumpai curhatan di FB group Rumah Ramah Rubella yang cukup membuat saya berpikir. Jadi, ceritanya, ada seorang ibu yang menyatakan kesedihan dan sakit hatinya karena anaknya yang berkebutuhan khusus disebut dengan kata 'cacat' oleh eyang/keluarga besar. FYI, anggota komunitas Rumah Ramah Rubella memang banyak yang memiliki anak berkebutuhan khusus, termasuk saya sendiri.
Sebetulnya, curhatan macam itu bukan hal yang baru saya temui. Sudah sering banget saya dicurhati hal serupa. Intinya kecewa, sedih, jengkel, marah, murka, sakit hati mengapa anak-anak berkebutuhan khusus mereka dipanggil dengan kata 'cacat', yang memang kurang enak didengar.
Saya jadi berpikir, "Apa yang salah dengan kata 'cacat'?"
Saya setuju bahwa diksi 'cacat' kurang nyaman untuk didengar (atau dibaca). Saya setuju bahwa kita bisa (dan sebaiknya) memakai diksi lain seperti 'berkebutuhan khusus,' 'berkemampuan khusus,' atau 'difabel.' Difabel sendiri artinya different ability(-ies).
Tapi, saya kurang sependapat jika kita langsung murka dan sakit hati begitu mendengar kata 'cacat.'
Kalau mau bicara blak-blakan dan apa adanya, apa yang salah? Toh kondisi anak-anak kita memang cacat. Nggak keliru kan jika disebut cacat? Ini kalau mau bicara apa adanya, yah.
Kalau mau bicara realita, mari kita pikirkan, apakah diksi 'berkebutuhan khusus,' 'berkemampuan khusus,' atau 'difabel' sudah akrab dalam masyarakat?
Saya rasa, belum.
Saya rasa, masyarakat yang masih menggunakan kata 'cacat' nggak semuanya bermaksud jahat atau negatif. Banyak juga yang masih memakai kata itu simply karena mereka belum tau ada diksi lain yang lebih enak didengar untuk menyebut atau menggambarkan disabilitas.
Generasi orangtua saya dan kita, atau generasi eyang-eyang, apakah di zaman mereka sudah santer penggunaan diksi untuk menggambarkan disabilitas selain dengan kata 'cacat'?
Saya rasa, belum.
Mama saya sendiri (Eyang Kakak Ubii) dulu awalnya juga menggunakan diksi 'cacat' kok untuk menyebut Kakak Ubii. Apakah saat itu saya langsung sakit hati? Enggak. Karena saya tau konteks yang dibicarakan Mama saya adalah membicarakan kondisi Kakak Ubii in general, sama sekali BUKAN untuk menghina, menyatakan malu, atau menyatakan nggak mau menerima kondisi Kakak Ubii apa adanya.
Saya tau bahwa Mama saya belum familiar dengan diksi lain selain 'cacat' saat itu. She had no intention to hurt me, at all. Jadi, saya cukup kasih tau adanya diksi lain yang lebih mengenakkan untuk didengar. Mama saya jadi tau dan paham. Mama saya stop memakai diksi 'cacat'. Selesai perkara.
Tugas siapa untuk memperkenalkan diksi 'berkebutuhan khusus,' 'berkemampuan khusus,' dan 'difabel' di dalam masyarakat, atau minimal lingkungan sekitar? Tugas KITA.
Dan, untuk mengemban tugas itu, mari kita singkirkan dulu perasaan mudah tersinggung.
Tugas siapa untuk memperkenalkan diksi 'berkebutuhan khusus,' 'berkemampuan khusus,' dan 'difabel' di dalam masyarakat, atau minimal lingkungan sekitar? Tugas KITA.
Dan, untuk mengemban tugas itu, mari kita singkirkan dulu perasaan mudah tersinggung.
Apa lantas saya nggak pernah sakit hati SAMA SEKALI ketika Kakak Ubii dikatai cacat? Ya, tentu pernah. Saya juga manusia biasa. Saya punya hati. Tapi, sekali lagi, tergantung konteks dan situasinya.
Pengalaman pertama (dan sampai saat ini masih satu-satunya) di mana Kakak Ubii dikatai cacat di depan mata saya adalah saat kami membawa Kakak Ubii berbelanja di sebuah supermarket. Di lorong makanan instan, ada seorang ibu yang menggandeng anaknya. Kami berpapasan. Saat kami hampir berpapasan, ibu tersebut menunjuk-nunjuk Kakak Ubii dengan sangat kentara sambil bilang ke anaknya, "Tuh, dek, lihat, ada anak cacat tuh" dengan santainya lalu melengos pergi.
Nah, itu saya sakit hati. Itu saya sedih. Karena buat saya saat itu, ucapan 'cacat' yang dilontarkan lebih terasa (atau terlihat) sebagai sebuah ejekan atau cibiran.
Untuk marah, sedih, sakit hati, atau perasaan-perasaan negatif lainnya, saya rasa kita perlu melihat konteks dan situasi. Ada situasi-situasi di mana kata 'cacat' memang jelas dipakai untuk mengejek. Di situasi kayak gitu, okelah, wajar kalau kita sedih dan sakit hati. Tapi, kalau situasinya nggak dimaksudkan untuk mengejek begitu dan kelihatannya orang yang mengucap diksi 'cacat' memang nggak tau ada diksi lain yang lebih halus, untuk apa sakit hati?
Sakit hati itu bikin capek. Sakit hati itu nggak sehat. Nggak ada gunanya kita simpan rasa-rasa semacam itu terus-menerus. Nggak ada gunanya kita gampang tersulut. Perjalanan kita memperjuangkan ikhtiar kesembuhan dan kesehatan anak-anak berkebutuhan khusus kita masih teramat panjang. Kita perlu sehat lahir batin untuk terus menemani perjuangan anak-anak kita. Iya atau iya? ;)
Kita sama-sama tau amanah membesarkan anak berkebutuhan khusus itu ujian tingkat dewa. Kita nggak hanya diuji dalam hal finansial saja. Ada banyak ujian lain yang (buat saya dan Adit) lebih berat. Kalau boleh saya jujur tuliskan, kira-kira berikut ini:
- Ujian untuk ikhlas. Ilmu ikhlas itu menurut saya ilmu yang paling susah naik kelasnya. Nggak ada tips, nggak ada kisi-kisi, nggak ada jembatan keledainya. Pokoknya susah aja hahahaha. Padahal ikhlas ini adalah fondasi dasar dari semuanya.
- Ujian untuk berekspektasi dan membuat target. Saya adalah orang yang dulu selalu membuat rencana dan harapan kemudian menyusun target dengan detil. Dengan memiliki Kakak Ubii yang punya cerebral palsy dan tuna rungu, saya nggak bisa lagi jadi manusia yang angkuh menyusun target dan harapan macam itu. Saya nggak bisa mengharuskan semesta bekerja sesuai ekspektasi saya karena nobody knows kapan Kakak Ubii bisa seperti anak-anak lain. Kapan dia bisa berdiri, kapan dia bisa berjalan, kapan dia bisa bicara dan panggil saya Mami, nggak ada yang bisa prediksi. Cuman Tuhan saja lah Yang Maha Tau dan Maha Punya Jawaban. Saya belajar hal itu.
- Ujian untuk belajar mensyukuri hal-hal sekecil apa pun. Hal sesepele Kakak Ubii sudah bisa memberantaki sudut-sudut rumah, bisa makan sampai habis tanpa rewel, bisa minum obat tanpa tersedak dan drama, dan masih banyak lagi, itu adalah hal-hal yang layak saya syukuri tiap hari. Saya belajar untuk mudah mengapresiasi progress sekecil apa pun sekarang.
- Ujian untuk bisa jadi tim yang solid dengan suami. Usia saya dan Adit yang masih (ehem) muda ditambah dengan usia pernikahan yang masih seumur jagung membuat kami sering sekali beradu argumen. Hal-hal kecil pun bisa banget jadi pemicu kami berantem. Dulu, kami bisa berantem lama. Kakak Ubii yang jadi kasihan karena harus berada di rumah dengan atmosfer yang nggak hangat dan nggak bahagia. Percaya nggak percaya, kata orang, anak-anak berkebutuhan khusus itu lebih peka dan lebih sensitif perasaannya. Saya dan Adit merasa itu benar. Kakak Ubii suka jadi ikut murung saat saya dan Adit berantem dan belum baikan. Saya pun jadi setengah hati berinteraksi dengan Kakak Ubii saat saya dan Adit sedang berantem. Dan, itu bikin saya dan Adit broken heart. Kebahagiaan Kakak Ubii adalah prioritas kami dalam situasi apa pun. Jadi kami belajar untuk lebih menahan diri. Kami belajar untuk lebih menurunkan gengsi satu sama lain untuk segera minta maaf dan berbaikan kembali. Anything pokoknya, supaya atmosfer rumah bisa segera kondusif lagi. Prinsipnya saat ini adalah gimana supaya pasangan bahagia agar bisa jadi Mami/Papi yang membahagiakan Kakak Ubii.
- Ujian untuk selalu punya harapan. Harapan ini saya artikan menjadi harapan bahwa kelak Kakak Ubii akan bisa. Bisa berjalan, bisa memanggil saya Mami, dan lain-lain. Saya memang nggak tau kapan waktu itu akan tiba. Sama sekali nggak tau. Tapi, saya mau percaya kelak waktu itu akan datang, kalau Tuhan sudah izinkan. Yang perlu dan bisa saya lakukan saat ini adalah menelateni rehabilitasi Kakak Ubii dengan konsisten, berdoa, dan percaya.
- Ujian untuk berhati luas saat memberikan edukasi tentang disabilitas. Edukasi di sini jangan diartikan sebagai hal yang besar atau sophisticated. Memberitahu keluarga besar bahwa ada diksi yang lebih nyaman didengar selain diksi 'cacat' pun itu termasuk edukasi, kan?
- Ada yang mau menambah? :)
Ya, dengan punya anak berkebutuhan khusus, otomatis keluarga besar harus ikut belajar. Mau nggak mau, suka nggak suka. Mereka perlu belajar ikhlas juga. Mereka perlu belajar untuk nggak membandingkan dengan cucu-cucu lain yang sehat. Mereka perlu belajar untuk nggak menuntut anak-anak ini untuk lekas berjalan atau berlari layaknya anak tetangga yang sehat.
Keluarga besar pun butuh waktu. Itu nggak gampang dan bukan proses instan. Kasih mereka waktu.
Untuk yang belum tau, sebetulnya apa sih berkebutuhan khusus atau difabel itu?
Mengutip dari Wikipedia, disabilitas adalah gangguan, keterbatasan aktivitas, dan keterbatasan partisipasi. Gangguan atau keterbatasan tersebut bisa saja dari fisik, kognisi, intelejensi, mental, emosi, sensori, perkembangan, penglihatan, pendengaran, atau kombinasi dari beberapa.
Menurut saya disabilitas adalah bagian dari diversity alias keberagaman. Sama-sama butuh toleransi. Tapi, kita sama-sama tau bahwa nggak semua orang punya toleransi itu. That's the bitter fact.
Lalu, apa kita mau mengubah persepsi orang-orang tentang bagaimana mereka seharusnya memandang anak berkebutuhan khusus kita?
Kalau jawaban kalian adalah IYA, tunggu dulu. Sebelum mengubah dunia, kenapa kita nggak mengubah skala yang lebih kecil dulu? Kenapa kita nggak mengubah diri kita sendiri terlebih dulu? Mengubah diri sendiri dalam arti menjadi orangtua anak difabel yang lebih ikhlas, kuat, dan bermental baja. Yang nggak gampang sakit hati. Yang tetap teguh memperjuangkan masa depan anak difabelnya. Yang nggak minder dan nggak malu. Yang setrong.
Setelah itu, kita bisa melakukan perubahan-perubahan kecil pada orang lain dalam bentuk edukasi. Edukasi yang paling sederhana kira-kira seperti ini:
- Beri tau pilihan diksi lain seperti 'berkebutuhan khusus,' 'berkemampuan khusus,' atau 'difabel.'
- Ajak supaya mereka nggak lagi memakai diksi 'cacat' atau 'autis' untuk konteks bercanda seperti misalnya, "Ah, ngehe nih si Pevita. Autis mulu sama hapenya!"
- Beri tau bahwa anak berkebutuhan khusus sebetulnya sama saja kok seperti anak lain. Mereka tetap punya hati, tetap bisa merasa, dan mereka nggak seharusnya dijudge hanya karena mereka punya kemampuan yang berbeda.
- Beri tau bahwa kita, sebagai orangtua, tetap optimis dan mensyukuri anak-anak kita apa adanya.
Jadi, untuk teman-temanku yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus, saya mengajak kalian untuk menegakkan kepala dan memperbanyak tabungan keikhlasan.
Mari kita sama-sama bilang dengan lantang,
"I'M A SPECIAL NEED PARENT AND I'M PROUD!"
Punya kenalan dengan anak berkebutuhan khusus? Share ini ke mereka ya. Tunjukkan dukungan kalian dengan tulisan ini. You don't have any idea how we, special need parents, can be happy with a very simple support like this.
Jangan lupa, hindari juga 10 statement berikut agar nggak sampai terlontar kepada mereka yang diberi amanah membesarkan anak berkebutuhan khusus:
Love,
Mami ubiii,, im proud of youuu.. ngga semua orang di kasih kebesaran dan kesabaran yang luar biasa besar seperti kamu. Tuhan punya cara sendiri untuk Ubi.. salam buat kakak ubi ya :)
ReplyDeleteAmiiinnn. Thank you for the support, Mba. Salam balik dari Ubii :))
DeleteProud of you, mbak Ges. Ubi ubi ubiiii semangat selalu yaaaa syantiekssss :)
ReplyDeleteSelalu semangat yaaa Grace :), i'm proud of you and ur husband. Sehat selalu yaa Ubii syang, peluk cium dari kakak Marwah di Bandung yaa buat Ubii
ReplyDeleteBlog ini yang selalu ku nanti nanti postingannya...
ReplyDeleteSelalu menginspirasi...
Mami, kakak Ubii, adik Aiden
Kalian supeeerrrr!!!
Semangat ya! Rekan-rekan orang tua dengan anak berkebutuhan khusus adalah orang tua yang hebat, yang diberikan punggung-punggung yang kuat untuk mengawal anak-anaknya.
ReplyDeleteduh aku gak tau nama alat yg dipakai Ui, kemarin ini temenku nyari alat kaya gitu tapi yg second
ReplyDeleteKoq ada yah ibu2 yg seperti itu, ngomong sama anaknya lagi. Klo aq sih nunjuk2 aja gak berani dan klo mau ngomong sama suami jg bilangnya bukan "tuh ada anak cacat", tp bilangnya "anak itu berbeda" karna sebelumnya memang gak tau diksi lainnya"
ReplyDeleteuntuk semua orgtua yg memiliki anak difabel, percaya deh, Tuhan mengakaruniakan anak itu kepada kalian, krn Dia tau, kalian pasti mampu, dan punya kesabaran seluas semesta untuk menjaga dan mengajari titipanNya :) . itu kenapa kalian jadi istimewa .. kenapa hrs malu ..
ReplyDeletedan utk ibu2 yg suka menghina anak difabel org lain, jelas sudah kenapa TUhan ga menitipkan ciptaanNya yang paling istimewa kepada kalian :D.. Coba tolong itu empati nya diasah lagi , jgn cuma lidah doang diasah tajem ;p
Artikel yang sangat menginspirasi sekali... Sangat bagus untuk para orang tua yang memiliki buah hati berkebutuhan khusus...
ReplyDeleteSaya jadi lebih bersemangat merawat Hanum setiap kali membaca tulisan mbak Grace tentang Ubii. Hanum juga ABK. Silakan mampir ke blog sederhana saya mbak :) www.catatancintaananda.blogspot.com
ReplyDeleteShare info:
ReplyDeleteAda masalah pada pertumbuhan dan perkembangan anak anda?
1. Terlambat berjalan dan masalah bentuk kaki
2. Terlambat bicara
3. Sulit fokus dan konsentrasi
4. Sulit berkomunikasi
5. Sulit berinteraksi
6. Kesulitan Belajar
7. Dll
.
.
.
Segera konsultasikan ke klinik tumbuh kembang anak ASA. Akan Kami Beri Solusinya.
.
.
.
Alamat: Jl. Ciater Barat Raya No.64 BSD - Tangerang Selatan 15318
No Telp: 021-75884409/10
Wa : 0813-9889-8881
Share info:
ReplyDeleteAda masalah pada pertumbuhan dan perkembangan anak anda?
1. Terlambat berjalan dan masalah bentuk kaki
2. Terlambat bicara
3. Sulit fokus dan konsentrasi
4. Sulit berkomunikasi
5. Sulit berinteraksi
6. Kesulitan Belajar
7. Dll
.
.
.
Segera konsultasikan ke klinik tumbuh kembang anak ASA. Akan Kami Beri Solusinya.
.
.
.
Alamat: Jl. Ciater Barat Raya No.64 BSD - Tangerang Selatan 15318
No Telp: 021-75884409/10
Wa : 0813-9889-8881