Belakangan ini timeline medsos saya ramai membicarakan Karin Novilda. Karin, gadis SMA Jakarta ini memang sukses menyedot perhatian jamaah. Yang masih remaja, serentak mengidolakan dia dan menunggu update-an di IG nya @awkarin dengan setia. Yang sudah emak-emak, rata-rata (sejauh ini yang saya amati) merasa prihatin dan berpandangan bahwa Karin adalah bad example untuk remaja.
Saya juga emak-emak. Anak saya sudah dua. Masih balita semua. Melihat medsos Karin dengan segala kontroversinya, tentu saya mengernyitkan dahi dan membatin, "Idih, lebay dasar!". But on the other hand, saya merasa kurang adil jika dia dihujat sedemikian rupa.
Saya pernah menjadi Karin Novilda di zaman kimcil saya.
Disclaimer: Saya nggak ingin membela Karin karena saya setuju tingkah lakunya di medsos kurang baik untuk ditiru, apalagi diidolakan. Saya hanya ingin mengajak kalian melihat fenomena ini dari kacamata seorang ibu yang pernah seliar itu di masa mudanya. Catatan ini segmennya jelas bukan untuk remaja. Sasaran tulisan saya adalah sesama orangtua.
Jelas ya.
Untuk menceritakan sudut pandang lain, izinkan saya menceritakan sekelumit (atau sekotak besar) kelakuan masa muda saya, which I'm totally not proud of.
Saya tumbuh di kota kecil, Salatiga, yang bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan Jakarta. Dari kecil, saya tumbuh tanpa menjalin kedekatan batin dan emosional dengan Mama saya. Mama saya adalah sosok yang sangat tegas, cenderung galak. Sebelum menikah, perasaan terkuat yang saya rasakan tentang dan untuk Mama adalah takut dan malas.
Mama sering mengomel hanya karena saya melakukan kesalahan kecil yang khas anak-anak. Mama sering mencereweti saya untuk hal-hal yang menurut saya sangat nggak perlu. Kadang Mama menghukum saya dengan main tangan, entah menjewer, menampar, atau memukul. Hal-hal yang di era saya dulu sangat biasa dilakukan oleh para orangtua. Kenapa biasa? Karena ternyata teman-teman saya banyak yang mengalaminya juga. Dulu belum model tuh yang namanya seminar-seminar parenting. Jelas beda banget dengan sekarang. Nowadays? Jangankan melukai secara fisik, membentak anak aja kan katanya nggak boleh, toh? Jangankan membentak, melarang anak melakukan sesuatu dengan diksi 'jangan' dan/atau 'tidak boleh' aja kan katanya juga nggak recommended, toh?
Pola asuh Mama di masa kanak-kanak dan remaja ternyata berdampak segitu hebatnya dalam membentuk karakter saya. Saya pun jadi pribadi yang saklek, nggak mentolerir kesalahan, dan harus jadi nomor satu di kelas. Saya jadi nggak bisa mentolerir kesalahan-kesalahan suami, padahal itu hanya sekedar lupa mematikan lampu kamar mandi usai dipakai atau lupa membuang sampah sehingga hubungan saya dan suami sungguh berat di tahun-tahun pertama. And finally we decided to take couple hypnotherapy.
Baca: Hipnoterapi Pasutri
Karena saya takut dan malas sama Mama, saya jadi malas di rumah. Ketika saya masih SD dan SMP, tentunya saya nggak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Saat sudah SMA, apalagi sudah punya motor sendiri, saya langsung bak ayam yang dilepas dari kandangnya. Saya nggak pernah lagi betah di rumah. Pulang sekolah selalu nongkrong. Bahkan saya mengadali Mama dan Papa dengan mengaku kalau saya ikut les ini itu supaya saya punya alasan keluar rumah sore sampai malam.
Sampai SMA, saya menghabiskan kehidupan bersama keluarga di Salatiga. Begitu lulus, saya mengenyam pendidikan sarjana di Kota Pelajar, Yogyakarta. Ngekos, ada motor, dan bebas. Bebas mau bangun jam berapa. Nggak ada yang cerewet kalau bangun siang. Bebas mau main sampai jam berapa pun. Nggak jarang saya pulang pagi dini hari keasyikan nongkrong bareng teman-teman. Freedom!!
Yogyakarta memang bukan kota metropolitan seperti Jakarta. Tapi, tetap saja, saya di Jogja sendirian tanpa ada pengawasan orangtua atau saudara. Kosan saya bebas, nggak ada jam malam. Bisa dibayangkan, kan, betapa gembira dan di atas angin nya saya saat itu.
Selain nggak punya batasan dalam main, saya juga jadi nggak punya kontrol terhadap gaya busana. Zaman saya kuliah dulu, pakai hot pants mini itu sudah cukup dianggap terbuka. Beda dengan era si Karin Novilda, udel pun ikut dipamerkan. Kalau di era kimcil saya dulu pakaian udel kelihatan sudah populer, mungkin saya juga akan pakai baju model begitu ke mana-mana karena dulu perut saya sekempes Karin dan badan saya selangsing Karin, minus saya pendek banget.
Dulu proporsi tubuh saya cukup bagus. Walau pendek, tapi pas. Perut nggak buncit, tapi rada semok. Saya lebih semok dan berisi dibanding Karin. Dulu. Gimana nggak berbodi oke? Saya rutin aerobic 3x seminggu. Demi apa? Demi badan keren dan bisa pakai baju mini-mini yang gaul. Hot pants mini yang di era saya sudah dianggap saru, masih saya padu padankan dengan kaos ngepres bodi. Dan rata-rata baju-baju saya saat itu sudah pasti menunjukkan cleavage. Saat jam kuliah, tentu saja saya nggak pakai hot pants. Tapi, baju-baju saya biasanya tetap yang ngepres bodi dan pamer.
Penampilan kayak gitu sudah pasti mengundang mata cowok-cowok. Dan saya merasa senang. Saya merasa diperhatikan. Saya merasa gaul. Ya, saya sedangkal dan seremeh itu. Dulu.
Untuk urusan perilaku, saya juga jadi nggak punya self control. Saya sering minum-minum. Itu sudah sejak SMA sih sebenarnya. Saya lebih sering minum saat masih SMA ketimbang saat sudah kuliah. Walau saya kuliah di Jogja dan bebas keluar, tapi teman-teman saya kebanyakan cewek-cewek baik. Berbeda dengan saat saya masih SMA, saya sering nongkrong sama geng IPS yang anak-anaknya lebih asyik, bebas, dan suka main, padahal saya anak IPA. Geng IPS saya kebanyakan cowok. Ya banyak juga sih ceweknya, tapi cowoknya tetap lebih banyak. Kami sering minum bersama di kontrakan/kosan salah satu dari mereka. Nggak deket-deket amat sih sebenarnya. Tapi untuk join minum bersama, nggak harus dekat, bukan?
Namanya anak SMA, uang kami terbatas. Jadi kami most of the time cuman sanggup beli anggur merah. Kalau ada geng kami yang berulang tahun, baru lah minuman kami bisa naik kelas sedikit. Beli vodka dan minuman buahvita lalu kami racik sendiri. Setelah kuliah dan uang jajan meningkat, baru minuman saya lebih naik kelas lagi macam Tequilla atau Baileys.
Dulu awal-awal saya minum dan belum terbiasa, nggak jarang saya sampai muntah. Tapi saya memaksakan diri untuk terus minum demi terlihat asyik dan gaul sampai akhirnya lama-lama terbiasa juga. Di zaman itu, terlihat gaul adalah tujuan hidup paling mulia dan paling utama buat saya.
Untuk masalah pacaran, saya sama bebasnya dengan Karin. Apalagi setelah ngekos di Jogja. Saat melihat Karin rutin meng-upload foto-foto pacarannya dengan pose mesra dan teman-teman emak-emak saya berkata kalau itu menjijikkan dan merusak moral bangsa, jujur saya ikut malu. Karena dulu saya pun begitu. Demen banget meng-upload foto mesra saya sama pacar (yang sekarang tentunya sudah berpangkat sekedar mantan). Entah foto pelukan, sampai kissing, saya upload-in. Bedanya, medsos yang popular di masa saya dulu hanya Friendster dan orang-orang hanya membuka Friendster once in a blue moon. Beda banget sama era si Karin. Sekarang, medsos banyak banget. Sekarang, apa-apa bisa segini gampangnya jadi viral. Sekarang, orang gampang banget mengambil panutan hanya dari dunia digital padahal belum kenal di dunia nyata sama sekali. Jadi saya lebih beruntung daripada Karin. Foto-foto mesra saya nggak pernah jadi masalah, apalagi sampai viral. Plus, Friendster sudah lenyap sekarang. Thank God.
Intinya, saya pernah menjadi Karin.
Mulai dari gaya busana, gaya pacaran, nggak punya self-control, dan pergaulan. Bedanya, saya nggak sesering Karin dalam memaki atau bercanda menggunakan kata-kata kasar.
Mulai dari gaya busana, gaya pacaran, nggak punya self-control, dan pergaulan. Bedanya, saya nggak sesering Karin dalam memaki atau bercanda menggunakan kata-kata kasar.
Kalau kalian bertanya-tanya, "Kok bisa ya anak zaman dulu, bukan di Jakarta pula, seliar Karin dalam bergaul?", jawabannya bisa. Bisa banget.
Seperti yang sudah saya singgung di atas. Saya tumbuh tanpa punya hubungan yang baik dengan Mama. Saya takut sama Mama, takut dimarahi, takut ketahuan kalau saya nakal, dan lain-lain. Saya malas berhadapan dengan Mama, malas diceramahi, malas didikte, dan lain-lain. Saya sama sekali nggak pernah punya hubungan yang asyik dengan Mama di masa remaja saya. Saya nggak pernah dan nggak bisa curhat dengan beliau. Jangankan curhat, untuk cerita hal-hal ringan di sekolah abis belajar apa misalnya, saya malas. Intinya saya malas menjalin komunikasi dengan Mama karena sosok Mama yang suka marah sudah sangat melekat di pikiran saya.
Itu alasan terbesar dari semuanya. Saya jadi malas ada di rumah. Saya merasa nggak kesepian saat menghabiskan waktu di luar rumah. Saya merasa diperhatikan, dicintai, dan dipedulikan. Dengan ngumpul-ngumpul bareng geng, saya merasa didengarkan. Saya bisa cerita apa saja yang saya mau tanpa takut dimarahi atau dihakimi. Saya bisa curhat dan cerita hal-hal nggak penting. Saya merasa bahwa dunia luar dan teman-teman saya adalah keluarga yang sesungguhnya. Dulu.
Dengan Mama, saya nggak pernah berani terbuka. Mama nggak pernah bisa menempatkan dirinya menjadi teman saya. Saat kuliah saya sudah mulai coba-coba pakai eyeliner di bawah mata. Respons Mama langsung menghardik saya dengan mengatai saya seperti nenek sihir. Saya merasa terhina. Mama jarang sekali memberitahu saya dengan cara yang enak dan halus. Sehingga akhirnya saya jadi pembangkang dan lebih banyak hidup bersama teman-teman. Pulang hanya untuk makan, mandi, dan tidur.
Saat ini hubungan saya dan Mama sudah sangat baik. Setelah jadi ibu, saya jadi merasakan sendiri betapa susahnya menjalani peran ibu.
Baca: A Rough Day In Motherhood
Saya jadi merasakan sendiri betapa jadi ibu dan istri itu tidak mudah. Dan tentu saja, saya jadi sungguh-sungguh amat menyesal sudah ribuan kali menyakiti Mama. Lebih menyesal lagi, karena saya sengaja menyakitinya.
Baca: A Rough Day In Motherhood
Saya jadi merasakan sendiri betapa jadi ibu dan istri itu tidak mudah. Dan tentu saja, saya jadi sungguh-sungguh amat menyesal sudah ribuan kali menyakiti Mama. Lebih menyesal lagi, karena saya sengaja menyakitinya.
Saat ini saya sadar, bahwa Mama dan Papa adalah keluarga dalam arti yang sebenar-benarnya. Kini, jika saya ada masalah, siapa yang membantu? Mama dan Papa. Kini, jika saya kesulitan biaya untuk membawa Kakak Ubii melanjutkan ikhtiar kesehatannya, siapa yang membantu? Mama. Padahal saya tahu betul Mama dan Papa juga masih butuh biaya banyak untuk adik saya yang masih SMA.
Kini, saya juga sadar bahwa hal-hal remeh yang dulunya saya banggakan dan agungkan: body, outfit, gaul, ratu nongkrong, dan asyik - sama sekali bukan apa-apa. Nggak ada yang bisa saya manfaatkan untuk mengarungi rumah tangga dan jadi ibu. Semua itu sudah nggak penting sama sekali. Lenyap begitu saja seiring saya menjalani babak dan peran baru dalam hidup.
Dulu saya pernah menjadi Karin.
Hari ini saya adalah seorang ibu.
Dari fenomena Karin dan pengalaman masa muda saya, berikut hal-hal yang ingin saya sampaikan pada kalian, orangtua atau calon orangtua:
1) Punya anak itu nggak gampang. Bukan sekedar masalah biaya untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Jauh lebih daripada itu.
2) That's why PR terbesar untuk orangtua di era sekarang bukan hanya menjadi mesin penghasil uang, melainkan bagaimana caranya agar kita bisa menjalin kedekatan dengan anak-anak kita kelak. Bagaimana kita bisa memposisikan diri kita menjadi sahabat mereka. Bagaimana kita bisa menggusur dinding pembatas sehingga anak-anak kita nggak sungkan dan nggak takut untuk bercerita tentang hal apa pun pada kita. Bagaimana kita meredam amarah sehingga nggak langsung nyolot mengomeli anak walaupun kita merasa apa yang mereka lakukan itu nggak baik, supaya mereka nggak jadi kapok terbuka pada kita.
3) Menjadi teman bagi anak, kedengarannya sederhana dan mudah. Namun, kadang penerapannya nggak segampang itu. Untuk menjadi teman anak, kita perlu memposisikan diri layaknya usia mereka. Berpikir dari sudut pandang mereka.
Masalah yang dihadapi anak mungkin terlihat sepele dan remeh di mata kita, tapi bisa jadi hal yang besar dan genting di mata anak. Ada baiknya nggak mengabaikan keluhan mereka. Meskipun sepele, dengarkan keluhan itu, pahami, dan cari solusi bersama.
Contoh kecil: Saya punya teman emak-emak bernama Kunti. Mba Kunti ini punya anak hampir 5 tahun, Lumi namanya. Mba Kunti bercerita pada saya bahwa saat ini Lumi sedang takut-takutnya ke kamar mandi sendiri karena takut sama monster yang bernama Jack. Mba Kunti dan suami nggak tau siapa monster Jack dan seperti apa si monster sehingga kadang mereka berpikir, "Hedeh, apaan sih gitu aja takut." Sempat Mba Kunti dan suami kepengin mendiamkan ketakutan Lumi, tapi mereka berpikir bahwa itu nggak akan jadi solusi untuk Lumi karena Lumi mungkin butuh didengar dan ditenangkan agar berani ke kamar mandi sendiri lagi.
Apa yang dialami Lumi baru masalah anak balita. Entah besok ketakutan apa lagi yang harus didengar oleh Mba Kunti/suami dan harus berusaha diatasi bersama. That's just a simple example tentang bagaimana anak pasti merasa punya masalah. Seiring dengan bertambahnya usia anak, pasti mereka akan menemukan kendala dan tantangan baru. That's why it's important for us to be there for them and listen to them tanpa mengabaikan dan menyepelekan keluhan mereka. Karena hal yang sepele di mata kita bisa jadi a very big deal di mata anak.
3) Menjadi teman bagi anak, kedengarannya sederhana dan mudah. Namun, kadang penerapannya nggak segampang itu. Untuk menjadi teman anak, kita perlu memposisikan diri layaknya usia mereka. Berpikir dari sudut pandang mereka.
Masalah yang dihadapi anak mungkin terlihat sepele dan remeh di mata kita, tapi bisa jadi hal yang besar dan genting di mata anak. Ada baiknya nggak mengabaikan keluhan mereka. Meskipun sepele, dengarkan keluhan itu, pahami, dan cari solusi bersama.
Contoh kecil: Saya punya teman emak-emak bernama Kunti. Mba Kunti ini punya anak hampir 5 tahun, Lumi namanya. Mba Kunti bercerita pada saya bahwa saat ini Lumi sedang takut-takutnya ke kamar mandi sendiri karena takut sama monster yang bernama Jack. Mba Kunti dan suami nggak tau siapa monster Jack dan seperti apa si monster sehingga kadang mereka berpikir, "Hedeh, apaan sih gitu aja takut." Sempat Mba Kunti dan suami kepengin mendiamkan ketakutan Lumi, tapi mereka berpikir bahwa itu nggak akan jadi solusi untuk Lumi karena Lumi mungkin butuh didengar dan ditenangkan agar berani ke kamar mandi sendiri lagi.
Apa yang dialami Lumi baru masalah anak balita. Entah besok ketakutan apa lagi yang harus didengar oleh Mba Kunti/suami dan harus berusaha diatasi bersama. That's just a simple example tentang bagaimana anak pasti merasa punya masalah. Seiring dengan bertambahnya usia anak, pasti mereka akan menemukan kendala dan tantangan baru. That's why it's important for us to be there for them and listen to them tanpa mengabaikan dan menyepelekan keluhan mereka. Karena hal yang sepele di mata kita bisa jadi a very big deal di mata anak.
4) Saya setuju bahwa fenomena medsos itu cukup mengerikan. Betapa remaja zaman sekarang sangat mudah mengidolakan seseorang hanya karena seseorang tersebut gaul, seksi, dan liar tanpa prestasi. Tapi, saya rasa, kita nggak bisa serta-merta menyalahkan medsos dan pergaulan saja. Itu sangat nggak adil, menurut saya. Saya percaya pilar utama dan pertama pendidikan moral adalah keluarga. Jadi, kalau sampai remaja ikut arus pergaulan nakal zaman sekarang, saya yakin bahwa keluarga tetap ikut andil. In most cases including mine. Pendidikan moral, nilai-nilai, prinsip hidup, dan karakter berkembang pada awalnya di mana? Di rumah, bersama keluarga. Kalau ada remaja yang tergelincir ke pergaulan kurang baik, coba tanya, bagaimana hubungannya dengan orangtuanya.
Untuk poin ini, saya punya contoh nyata. Di geng SMA saya yang suka minum dan nakal-nakal, ada satu anggota geng kami, perempuan. Sebut saja Aurel. Dari dulu sampai sekarang, Aurel berkumpul dengan teman-teman yang merokok dan minum. Tapi, Aurel sama sekali nggak pernah tergelincir dan coba-coba. Sama sekali. Saya tahu betul karena Aurel ini adalah sahabat karib saya selama 11 tahun ini. Ketika dulu saya minum-minum, Aurel menemani. Tapi dia nggak ikut minum. Saat saya iming-imingi Aurel untuk mencoba pun, dia tetap dengan teguh menolak. Saya adalah saksi bagaimana Aurel sangat dekat dengan keluarganya. Dari kami SMA sampai detik ini, kedekatan mereka sama sekali nggak berubah. Mama Aurel adalah Mama yang asyik. Asyik dalam arti, beliau sangat ramah dan suka bercerita. Aurel sering sekali foto berdua dengan pose centil bersama Mama nya layaknya teman. Dengan Papa nya pun, Aurel begitu dekat. Sejak saya kenal Aurel, 11 tahun ini, belum pernah sekali pun Aurel curhat sebal pada orangtua nya. Dan yang saya jadikan pelajaran dari keluarga Aurel adalah, betapa mereka punya waktu rutin untuk staycation menginap di hotel sekeluarga dan jalan-jalan bersama. Sering banget Aurel upload foto-foto mereka main di pantai, nonton di bioskop, atau di kamar hotel mejeng berempat (Aurel, Papa, Mama, dan Kakak Aurel). Bagaimana orangtua Aurel bisa memposisikan diri mereka sebagai teman adalah contoh nyata yang ingin saya tiru. Kalau ada teman SMA saya yang membaca tulisan ini, mungkin kalian bisa menebak siapa si Aurel ini yah. Dia sekelas kok sama saya pas kelas XII ;))))
5) Dari pengalaman saya (dan mungkin juga Karin), saya pengin bilang: Jangan menempatkan prestasi akademik anak di atas segalanya. Jika anak kita menjadi juara kelas, Ibu mana yang tak bangga? Rasa bangga itu tentu sangat wajar. Tapi, nggak perlu memujinya secara berlebihan dan nggak perlu kemudian menyatakan harapan supaya si anak bisa jadi juara kelas lagi di semester berikutnya, apalagi sampai menunjukkan kekecewaan yang kentara karena anak nggak dapat ranking. Karena prestasi akademik gemilang sama sekali bukan jaminan akhlak dan moral mereka juga akan gemilang dalam arti positif.
Saya adalah sample nyata. Dulu, saat SD saya pasti bertengger di 3 besar, dulu masih pakai sistem rangking, bukan? Di SD saya, anak yang masuk 3 besar pasti akan dipanggil ke depan untuk menerima bingkisan apresiasi di upacara bendera tahun ajaran baru. Disaksikan seantero sekolah mulai dari para guru sampai kakak dan adik kelas. Hadiahnya, kalau nggak salah ingat, memang hanya buku tulis dan pensil. Buku tulis nya pun buku tulis biasa, bukan merk SIDU atau KIKY. Pensil nya pun bukan pensil 2B, melainkan pensil warna warni yang sama sekali nggak mahal. Tapi, diberi hadiah di depan seantero sekolah dengan disebutkan nama lengkap dan prestasi, rasanya sungguh membanggakan. Saya bisa merasakan Mama begitu bangga tiap saya rangking di kelas. Apalagi kalau saya sampai rangking 1, Mama terlihat begitu sayang pada saya.
Pelan tapi pasti, pola pikir saya menjadi terbentuk: Berprestasi secara akademik bikin Mama bahagia dan sayang saya. Prestasi akademik adalah segalanya.
Lama-lama, pola pikir tersebut berkembang menjadi: Jika saya bisa membuktikan diri saya dalam hal akademik, itu sudah lebih dari cukup. Jika saya bisa dapat nilai sempurna, Mama nggak punya hak lagi untuk mengomeli saya dan untuk mengurusi pergaulan saya. Saya sudah 'memberinya' sebuah prestasi, di luar itu, terserah saya mau berbuat apa dengan hidup, gaya pakaian, dan pergaulan saya.
Itu saya camkan sampai kuliah. Tiap saya pulang kampung membawa lembar hasil IP, di mana IP saya tidak pernah kurang dari 3,6 dan bahkan saya pernah dapat IP 4, saya pulang dengan perasaan menang dan jumawa. Suatu hari, saat libur sebelum memasuki masa semester perkuliahan yang baru, dan liburnya lama banget, saya main sampai pagi tanpa pamit. Begitu saya pulang esok harinya, Mama marah besar. Dengan sombongnya saya bilang, "Lho, kan Grace sudah dapet IP tertinggi lagi, apa masih kurang?"
Saya bisa berprestasi bukan karena saya cerdas dari orok, melainkan karena saya rajin. Dan saya rajin belajar dan mengulang pelajaran hari itu bukan atas kesadaran diri sendiri, tetapi karena saya merasa bahwa itu keharusan supaya saya bisa membungkam Mama yang suka mengomel.
Dari yang saya baca di sebuah media online, Karin juga dulunya siswi berprestasi. Kalau nggak salah ingat, peraih NEM tertinggi ke-3 di daerahnya dulu sebelum dia hijrah ke Jakarta. Prestasi Karin dan prestasi saya secara akademik, ternyata nothing, bukan? Ternyata prestasi kami dalam bidang akademik itu sama sekali nggak menjamin bahwa aspek kehidupan kami yang lain pun akan sama baiknya.
Jadi, biasa sajalah dalam membicarakan prestasi akademik dengan anak-anak kita kelak. Karena jika kita terlalu berlebihan di area itu, bisa jadi itu akan dijadikan senjata anak-anak kita untuk menjustifikasi semua perilaku mereka yang kurang baik.
6) Selain harus bisa menempatkan diri menjadi sahabat, PR kita sebagai orangtua menurut saya adalah bagaimana menanamkan pada anak kelak bahwa menjadi berbeda itu bukan masalah. Berbeda maksudnya tidak ikut-ikutan apa yang sedang ngetrend kalau memang itu nggak baik dan nggak menyehatkan. Di era sekarang, remaja gaul adalah yang merokok dan yang begadulan. It's okay to be different. Nggak ikut-ikutan seperti mereka bukan berarti anak-anak kita nggak keren. Di masa remaja, peer-pressure benar-benar bisa jadi momok sehingga anak-anak berlomba-lomba untuk ikut keren dan gaul.
7) Saya dan suami sama-sama setuju bahwa dalam keluarga kecil kami, membicarakan seks tidak akan menjadi hal yang tabu. Bukan berarti kami akan bercanda dan mengobrol hal-hal yang tidak pantas pada anak-anak kami. Tentu bukan itu maksudnya, ya. What I mean is.. kami merasa bahwa pendidikan seks sejak dini sangat perlu dikenalkan dengan menyesuaikan usia anak. Kalau anak masih balita, ya cara tersederhana adalah dengan menyebut alat vital mereka dengan nama yang sebenarnya: penis dan vagina. Bukan dengan sebutan konyol macam burung, joko, otong, roti, dan lain-lain. Kenapa ini perlu dan bagaimana kita bisa memberikan pendidikan seks sesuai usia anak? Pernah saya tulis di blog ini:
Baca: Pendidikan Seks untuk Anak, Lakukan Sekarang Juga
Suami saya pernah bercerita pada saya. Dulu, saat ia SMA, blue film yang ia tonton adalah bersama Papa nya. Papa mertua saya berpikir logis saat itu. Masa SMA tentu anak sudah lebih excited menghabiskan waktu bersama teman ketimbang di rumah bersama keluarga. Anak usia SMA tentu sudah akil balik dan sudah merasakan adanya dorongan biologis dan keinginan untuk menonton blue film. Mungkin sekarang sudah lebih dini ya, karena zaman sudah berbeda. Jadi, menurut papa mertua saya, ketimbang anaknya pertama kali menonton sama teman-temannya di luar rumah lalu bingung bagaimana harus bereaksi dan malah jadi mumpet-mumpet tiap kali pengen nonton, lebih baik anaknya nonton di rumah bersama beliau. Saat itu beliau juga sekaligus memberitahu suami saya bahwa dorongan biologis itu manusiawi. Nggak perlu mumpet-mumpet. Nggak perlu malu. Nggak perlu disembunyikan. Nggak perlu merasa tabu membicarakannya dengan keluarga. Buat saya itu poin yang bagus karena suami saya benar-benar jadi sangat akrab dan terbuka pada Papa nya dan dia merasa pengalamannya tersebut ternyata positif.
6) Selain harus bisa menempatkan diri menjadi sahabat, PR kita sebagai orangtua menurut saya adalah bagaimana menanamkan pada anak kelak bahwa menjadi berbeda itu bukan masalah. Berbeda maksudnya tidak ikut-ikutan apa yang sedang ngetrend kalau memang itu nggak baik dan nggak menyehatkan. Di era sekarang, remaja gaul adalah yang merokok dan yang begadulan. It's okay to be different. Nggak ikut-ikutan seperti mereka bukan berarti anak-anak kita nggak keren. Di masa remaja, peer-pressure benar-benar bisa jadi momok sehingga anak-anak berlomba-lomba untuk ikut keren dan gaul.
7) Saya dan suami sama-sama setuju bahwa dalam keluarga kecil kami, membicarakan seks tidak akan menjadi hal yang tabu. Bukan berarti kami akan bercanda dan mengobrol hal-hal yang tidak pantas pada anak-anak kami. Tentu bukan itu maksudnya, ya. What I mean is.. kami merasa bahwa pendidikan seks sejak dini sangat perlu dikenalkan dengan menyesuaikan usia anak. Kalau anak masih balita, ya cara tersederhana adalah dengan menyebut alat vital mereka dengan nama yang sebenarnya: penis dan vagina. Bukan dengan sebutan konyol macam burung, joko, otong, roti, dan lain-lain. Kenapa ini perlu dan bagaimana kita bisa memberikan pendidikan seks sesuai usia anak? Pernah saya tulis di blog ini:
Baca: Pendidikan Seks untuk Anak, Lakukan Sekarang Juga
Suami saya pernah bercerita pada saya. Dulu, saat ia SMA, blue film yang ia tonton adalah bersama Papa nya. Papa mertua saya berpikir logis saat itu. Masa SMA tentu anak sudah lebih excited menghabiskan waktu bersama teman ketimbang di rumah bersama keluarga. Anak usia SMA tentu sudah akil balik dan sudah merasakan adanya dorongan biologis dan keinginan untuk menonton blue film. Mungkin sekarang sudah lebih dini ya, karena zaman sudah berbeda. Jadi, menurut papa mertua saya, ketimbang anaknya pertama kali menonton sama teman-temannya di luar rumah lalu bingung bagaimana harus bereaksi dan malah jadi mumpet-mumpet tiap kali pengen nonton, lebih baik anaknya nonton di rumah bersama beliau. Saat itu beliau juga sekaligus memberitahu suami saya bahwa dorongan biologis itu manusiawi. Nggak perlu mumpet-mumpet. Nggak perlu malu. Nggak perlu disembunyikan. Nggak perlu merasa tabu membicarakannya dengan keluarga. Buat saya itu poin yang bagus karena suami saya benar-benar jadi sangat akrab dan terbuka pada Papa nya dan dia merasa pengalamannya tersebut ternyata positif.
8) Sekali lagi, menurut saya, bekal pertama dan utama anak agar jadi orang baik di kemudian hari adalah keluarga. Bagaimana dengan agama?
Mama saya adalah jemaat gereja yang super taat. Beliau jarang sekali absen dari gereja tiap Minggu. Beliau mendidik saya dengan ajaran agama yang kuat. Praktik keagamaan sederhana dan daily seperti berdoa sebelum makan, tidur, dan setelah bangun tidur nggak pernah absen kami jalankan bersama. Saya pun saat kecil sampai remaja SMA pasti ke gereja tiap Minggu. Pernah suatu saat saya malas-malasan ke gereja dan lebih memilih nonton Doraemon di RCTI jam 8 pagi dan Mama marah besar dan mengomel panjang lebar tentang bagaimana saya mengecewakan Tuhan dan anak yang baik harusnya nggak malas ke gereja. Lama-lama saya ke gereja tiap Minggu bukan karena saya ingin. Bukan karena saya rindu berdoa dan melakukan pujian di rumah Tuhan. Saya rajin ke gereja tiap Minggu hanya karena malas dengan omelan Mama kalau saya bolos. Bisa ditebak, begitu kuliah ngekos sendiri di Jogja, saya nggak pernah ke gereja lagi.
Dengan masa kecil sampai remaja saya yang rutin beribadah dan dibekali dengan agama yang kuat, apakah itu cukup? Ternyata tidak.
Jadi, sampai poin ke-8 ini, saya masih pada standpoint saya: Keluarga adalah fondasi utama dan PR orangtua adalah bagaimana bisa menjadi sahabat untuk anak-anak kelak.
***
Kalau ditanya apakah saya malu mengakui ini, ya, saya malu. Hal yang saya ceritakan sudah jelas bukan sesuatu yang bisa dibanggakan dari segi apa pun.
Kalau ditanya apakah saya serta-merta menyalahkan Mama, tidak. Saya yang nggak punya keteguhan hati dalam membatasi diri agar nggak mudah terpengaruh dengan peer-pressure tentu juga adalah ketololan saya. Tapi, saya juga nggak bisa menyangkal bahwa pola asuh Mama berperan sangat besar pada watak saya yang dulunya suka membangkang, terbawa arus, dan mementingkal hal sepele.
Saya percaya sampai saat ini bahwa everything always happens for a reason and is caused by a reason. Semua ada sebab dan akibatnya. Mungkin Karin punya alasannya sendiri (yang sebetulnya tetap tidak bisa dibenarkan, ya) sehingga dia jadi sebebas ini. Tapi, menurut saya, nggak adil jika kita menghakimi Karin Novilda dan Karin-Karin yang lainnya sebatas apa yang kita lihat tanpa tahu bagaimana mereka diasuh dan dididik dalam keluarga mereka.
Tulisan ini untuk orangtua. Semoga apa yang saya ceritakan ini bisa bermanfaat untuk membuka mata kita untuk menjadi orangtua sekaligus sahabat untuk anak-anak kita. Semua saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi saya, jadi mungkin saja terasa subjektif. Ambil saja baiknya, jika ada. Dan acuhkan saja tulisan ini, jika kalian merasa apa yang saya tulis terlalu bersebrangan dengan nilai-nilai yang kalian percayai.
***
Dear Karin,
Kalau kamu suatu saat berkesempatan membaca tulisan saya ini, believe me. Been there, done that. Saya percaya kamu sudah cukup besar untuk membuat pilihan. Dan saya sama sekali nggak bermaksud ngejudge kamu. I mean, who am I to judge? I was like you before I got married.
Di usia kamu saat ini (dan mungkin di tengah apa yang sudah kamu alami sampai detik ini), memang rasanya menyebalkan banget kalau diceramahin orang lain, apalagi yang 'hanya' followers kita yang nggak kenal kita sama sekali. Rasanya males banget, kan? Siapa mereka kok ngatur-ngatur?
Tapi, percaya lah, kalau ada nasihat yang disampaikan ke kamu (nasihat yah, BUKAN omelan apalagi cacian kasar), it's because people care about you. You're so young and you still have a long journey ahead of you. Saat nanti kamu sudah dewasa dan harus hidup mandiri, percayalah, there's absolutely nothing that you can be proud of from this chapter of your life. Semua pujian adik-adik ke kamu, semua baju kerenmu, semua label gaul, edgy, keren, dan lain-lainmu, akan bertahan hanya sampai pada waktu tertentu. Those are not really real. Time will fly so fast and those will be all gone. Kamu nggak akan butuh itu ketika kamu harus mencari pekerjaan dengan jabatan yang kamu idamkan. Kamu nggak akan butuh itu saat kamu harus menjalin kedekatan dengan calon mertua kamu. Kamu nggak akan butuh itu saat kamu sudah jadi seorang ibu. Sama sekali.
Saya bisa bilang diri saya cukup beruntung. Suami saya sama sekali nggak mempedulikan masa lalu saya. He never judges me for who I was and how I used to think, say, and behave. Tapi, mungkin, nggak semua laki-laki secuek suami saya. Apalagi kita hidup di Indonesia, di mana menikahi seorang pria berarti menikahi keluarganya juga.
But, I do believe that someday ketika kamu sudah bisa bilang ke diri kamu sendiri, "Stop! I'll be a better Karin Novilda!" you will be a much stronger, more determined, and more thoughtful human being. You will know exactly what you want to achieve and how to achieve it.
Until then, it's your life. Life is complicated already without we complicate it more. So, be happy and live your life to the fullest. But, I guess, you ought to think twice before posting kissing, smoking, and drinking photos, young lady. Take it from someone who knows exactly what rebel means.
And, I mean this, your real family is your mom, dad, and siblings. They are the ones who are really looking out for you and they will always do. Family is what we we're gonna cherish later when we're older. Family is where we wanna go home after every tiring journey and bad chapter in our lives. So, know this and this only: We won't live forever. Every second being with our family counts. Make yours count.
*Note: Tulisan ini saya buat, hasil ngobrol panjang lebar dengan Mama Lumi, thank you Mba Kunti*
THUMBS UP!!
ReplyDeleteThanks postingannya yang kece ini, mami UBii!
--bukanbocahbiasa(dot)com
Semoga ada manfaatnya, ya Mba.
DeleteyA,, Saya juga bisa belajar dari tulisan ini mami ubi,,dulu saya juga nggak deket sama ibu saya,,semua sama karena adanya cuma ngomel2,, membuat saya jg ngumpet2 (buat pacaran secara backstreet) but I regret it ,, ketika menjadi Ibu semua berubah,, I love u Mom :*
ReplyDeleteIya, saat sudah jadi ibu baru terasa omg sungguh gak mudah ya jadi ibu padahal anak-anak kita masih kecil. Kalo sudah remaja nanti, pasti makin berat PR kita. Semoga kita bisa ya, Mak. Saling mengingatkan ya ^^
DeleteI hope Awkarin or another Karin will read this post!
ReplyDeleteI hope the same too! :'))
DeleteSaluuttttt mami gesi. Pembelajaranmu di universitas kehidupan, awesome! Makasih sharingnya mami...
ReplyDeleteEmang guru terbaik adalah kehidupan ya, Manda #tsaahh ngemeng apa aku ini bahahaha
DeleteLgs agak2 terharu gitu bacanya.. lgs inget kalo aku juga punya anak perempuan yg mungkin kalo ga dr skr aku perhatiin lebih, bisa jd dia bakal jd seperti karin novilda ini.. :( . Ka diinget2 ,masa remajaku juga ga baik2 bgt, ga seliar karin, tp juga ga bisa dibilang alim. Aku ngerokok, pernah ngerasain pacaran model bebas sebebas2nya, cabut dr sekolah, nangis2 pas putus ama pacar, dll, yg kalo aku inget skr aja mbak, maluuuuuu bgt. Pdhl untungnya itu smua ga terekam abadi di sosmed, tp ttp keinget di pikiranku. Ga kebayang seperti apa malu yg aku rasain kalo sampe itu diliat,diakses, dikomenin ama seluruh Indonesia Raya ya..
ReplyDeleteIntinya, aku dulu begitu, itu krn didikan ortu yg amat sangat keras dan disiplin. Ada baiknya, tp negatifnyapun ada. Aku jd ga betah dirumah, pas kuliah di Penang aja, 4 thn full mbak, sekalipun aku ga mau pulang ke medan yg jraknya cuma 45 menit doang naik pesawat! Kenapa? Krn aku males dgrin ceramah papa dan mama tiap pulang. Sama kayak mbak, hububgan ama ortuku skr sih jauuuuh lbh baik, tp kdg kupikir, itu krn kita beda pulau, jrg ketemu. Soalnya kalo pas mudik k medan ampe 2 minggu, ttp kok sesekali kita ribut lagi :p Jadi, aku stuju 100% kalo didikan keluarga di rumahlah yg akan membentuk karakter anak. Didik anakmu dgn keras , dan dia akan jd rebel sejati . Aku tau bener, krn aku ngalamin itu. Didik mereka dgn kelembutan, (yg jujurnya aku blm bisa lakuin 100%), dan anak bakal deket dgn kita seperti teman. PR banget yg hrs bisa aku lakuin mulai dr sekarang ..
Mba Fanny, hugsssss, we experienced more or less the same teenage rebel moments yaaa. Huhuhu. Kadang masih kebawa sampai sekarang betapa kita gampang kesulut emosi ke anak2 kita. Tapi untung masih ada reminder supaya masa kecil kita ga terulang dirasakan sama anak2 kita. Semangat mba Fanny, semoga kita bisa jadi lebih baik yah mbaaa
DeleteLgs agak2 terharu gitu bacanya.. lgs inget kalo aku juga punya anak perempuan yg mungkin kalo ga dr skr aku perhatiin lebih, bisa jd dia bakal jd seperti karin novilda ini.. :( . Ka diinget2 ,masa remajaku juga ga baik2 bgt, ga seliar karin, tp juga ga bisa dibilang alim. Aku ngerokok, pernah ngerasain pacaran model bebas sebebas2nya, cabut dr sekolah, nangis2 pas putus ama pacar, dll, yg kalo aku inget skr aja mbak, maluuuuuu bgt. Pdhl untungnya itu smua ga terekam abadi di sosmed, tp ttp keinget di pikiranku. Ga kebayang seperti apa malu yg aku rasain kalo sampe itu diliat,diakses, dikomenin ama seluruh Indonesia Raya ya..
ReplyDeleteIntinya, aku dulu begitu, itu krn didikan ortu yg amat sangat keras dan disiplin. Ada baiknya, tp negatifnyapun ada. Aku jd ga betah dirumah, pas kuliah di Penang aja, 4 thn full mbak, sekalipun aku ga mau pulang ke medan yg jraknya cuma 45 menit doang naik pesawat! Kenapa? Krn aku males dgrin ceramah papa dan mama tiap pulang. Sama kayak mbak, hububgan ama ortuku skr sih jauuuuh lbh baik, tp kdg kupikir, itu krn kita beda pulau, jrg ketemu. Soalnya kalo pas mudik k medan ampe 2 minggu, ttp kok sesekali kita ribut lagi :p Jadi, aku stuju 100% kalo didikan keluarga di rumahlah yg akan membentuk karakter anak. Didik anakmu dgn keras , dan dia akan jd rebel sejati . Aku tau bener, krn aku ngalamin itu. Didik mereka dgn kelembutan, (yg jujurnya aku blm bisa lakuin 100%), dan anak bakal deket dgn kita seperti teman. PR banget yg hrs bisa aku lakuin mulai dr sekarang ..
Just wanna say thanks Mba for this Great article..
ReplyDeleteYou're much welcome, Mba Ira. Semoga ada manfaatnya :)
DeleteMba gesiii... sepertinya pengalaman kita hampir sama ya. Bedanya yang bersikap tegas dan tanpa ampun dari bokap.
ReplyDeleteMemang keluarga adalah pondasi utama untuk membangun bangsa. Terutama Ibu. Karena dari Ibu anak mencontoh segalanya. Duit bisa di cari tapi Kebersamaan dengan anak. Priceless.
artikelnya bikin aku mewek dan flashback ke masa lalu. T.T
Yes setuju mba. Kebersamaan dengan anak = priceless. Dan gak bisa terulang lagi, kecuali kita punya kantong ajaibnya Doraemon, ahayyy. Semangat mbaaa Ruffie! :*
DeleteYa Tuhan, mamiiii
ReplyDeleteiya sih, sikap anak itu bergantung pola asuh juga yak
aku sih pernah agak nakal, tapi enggak sampai seliar itu mi
soalnya ortu itu ngontrol banget sampai aku enggak pernah ngerasain yang namanya ngekos....
Iyaaa, pengaruh banget sampai ke pembentukan karakter si anak ke depannya. At least from my own experience. Semoga kita bisa jadi lebih baik :'))
Deletesalut, aku pun pernah ngumpet2 main ke rumah temen krn suka gak dibolehin.. semoga tulisan ini bisa membangun kedekatan anak dan ortu lebih banyak lagi
ReplyDeleteAmin amin amin #thispostgoal hehehehe
DeleteGrace. Thanks. Banyak yg bisa kuambil dari blogpost mu ini
ReplyDeleteSama-sama, Mba Astin. Makasih ya sudah mampir ^^
Deletepostingan yang keren banget... membuka mata dan hati para ortu...
ReplyDeleteSyukurlah kalau dirasa ada manfaatnya :) Makasih Mba Esti.
DeleteTulisan yang panjaaaaanggg, tapi aku membacanya sampai selesai. I totally agree mami ubii, karena akupun merasakannya pula, tapi manifestasinya agak berbeda, aku justru tumbuh jadi anak yang minder dan nggak percaya diri. Semoga kini kita semua jadi ortu yang bisa bersahabat dgn anak.
ReplyDeleteIya nih, Mba Ratna. Nggak sadar ternyata jadinya sepanjang ini, LOL. Amin, semoga kita bisa jadi sahabat untuk anak-anak kita yah.
DeleteMakasih sharingnya mbak....it's great article..
ReplyDeleteTrimakasih sudah berkunjung, Mba Retno ^^
DeleteAku dulu pernah ingin menjadi seperti 'Karin', untung aku gak senyali itu. Malah sekarang bersyukur zaman SMU gak populer. Xixixi
ReplyDeleteTapi sekarang jadi emak blogger Jogja populer kaannnn :p
DeleteTulisannya bagus bgt, mba.. Ijin share ya
ReplyDeleteSilakan, Mba Fita. Alhamdulillah kalau dirasa ada manfaatnya.
DeleteA great share Mbak. Poin-poinnya valid dan bener banget. Saya ga bisa komen apa-apa. The post itself explain everything! Love it.
ReplyDeleteMami Gesi....
ReplyDeleteBackground kita sekali lagi, SAMA !!
Yeess saya lebih suka diluar, jd anak GAUL, saya jd smoker juga bareng anak tongkrongan, saya ngumpetin rokok di jok motor dibawah jas hujan krn mama suka bongkar isi tas saya
Dan skr, saya jadi ibu
Kalo ngeliat anak kaya Karin, saya merasa agak iri siih, kenapa gue skr jadi ibu ?
But aku cuma bisa mbatin, yaaa someday gimanapun caranya, berapa lama pun kamu akan menjadi seorang ibu
It Will..
Semua temenku yg masih GAUL, yaaa kalo udh nikah, mana bisa. HAHAHAHAHAHA *ketawa jahat*
Bahahaha mba Eka. Justru aku suka tertegun dan mikir Tuhan itu baik banget. Aku yang dulunya begitu, suka sakitin mama, kok ya masih dikasih berkat dan izin jadi ibu. Trus aku terharu sendiri, hehehehe
DeleteYeess true..
DeleteAku gak nyangka loohh bisa jd se lembut ini, aku pikir aku akan tetap liar, jd emak emak yg nongkrong Sama ngerokok juga, anak dititip ke BS. Kan ada tuh yg kaya gitu ? Hehehehe
Tiap org pasti punya titik balik, punya kesempatan untuk jadi lebih baik lg 😇
Jadi kita skr cuma bisa berusaha menjadi org tua yg baik, gak melakukan pola asuh yg 'salah' seperti yg kita terima dulu...
Mami Gesi....
ReplyDeleteBackground kita sekali lagi, SAMA !!
Yeess saya lebih suka diluar, jd anak GAUL, saya jd smoker juga bareng anak tongkrongan, saya ngumpetin rokok di jok motor dibawah jas hujan krn mama suka bongkar isi tas saya
Dan skr, saya jadi ibu
Kalo ngeliat anak kaya Karin, saya merasa agak iri siih, kenapa gue skr jadi ibu ?
But aku cuma bisa mbatin, yaaa someday gimanapun caranya, berapa lama pun kamu akan menjadi seorang ibu
It Will..
Semua temenku yg masih GAUL, yaaa kalo udh nikah, mana bisa. HAHAHAHAHAHA *ketawa jahat*
Keren mba gesi sekelam apapun masa lalu kita itu juga yang membentuk diri kita menjadi seperti sekarang, alhamdulillah masih di kasih waktu untuk bertaubat, kehidupan kedua, keren mb ges tulisannya
ReplyDeleteIya mba, alhamdulillah, Gusti masih sayang dan berkenan memanggilku. Makasih sudah mampir :*
DeletePengalaman kita sama mba.. dan pnyebabnya pun sama.. skrng baru sdr perlunya kedektan dgn anak.. spya anak ku tdk mngalami hal yg sma ..
DeleteAku nangis mbak bacanya.. melihat Karin, membaca artikel ini seperti bercermin.. aku pun pernah menjadi "Karin". Yuph, I agree... FAMILY is THE BEST FOUNDATION of A CHILD'S LIFE... thanks for sharing :)
ReplyDeleteSudah kelar kan nangisnya? Ntar ngabisi stok tissue di rumah loh :p
DeleteTerima kasih atas tulisannya, Mba... Entah kenapa, ada sebagian diri saya yang terobati saat membaca tulisan ini... :)
ReplyDeleteSama-sama, Mba. Syukurlah kalau ada manfaatnya. AKu juga jadi lega bisa berbagi ini, terutama krn sekarang sudah jadi ibu :'))
DeleteRata2 mama jaman dulu suka ngomel ya ges. Aku merasakan omelan mama hanya sampe kelas 6 sd, karena smp dan sma aku sekolah di asrama. Kuliah juga beda kota. Cuma, aku dulu sering disindir nakal oleh ibu asramaku dan itu membuatku menjadi pribadi yang enggak enakan. Aku jadi orang yang kepingin terlihat baik dan ga nakal padahal hati aku enggak nerima dgn semua kebohongan ini. Aku ingin diriku apa adanya. Syukurnya aku menikah dengan lelaki yang bisa membimbingku dan menyadarkanku kalau aku harus menjadi diri sendiri. Apa yang kulakukan karena aku mau bukan karena enggak enakan dengan org lain.
ReplyDeleteAlhamdulillah, Mba Liza, ikut senang baca ceritanya. Salam utk keluarga ya.
DeleteRata2 mama jaman dulu suka ngomel ya ges. Aku merasakan omelan mama hanya sampe kelas 6 sd, karena smp dan sma aku sekolah di asrama. Kuliah juga beda kota. Cuma, aku dulu sering disindir nakal oleh ibu asramaku dan itu membuatku menjadi pribadi yang enggak enakan. Aku jadi orang yang kepingin terlihat baik dan ga nakal padahal hati aku enggak nerima dgn semua kebohongan ini. Aku ingin diriku apa adanya. Syukurnya aku menikah dengan lelaki yang bisa membimbingku dan menyadarkanku kalau aku harus menjadi diri sendiri. Apa yang kulakukan karena aku mau bukan karena enggak enakan dengan org lain.
ReplyDeleteAhihie... ga tau siapa itu Karin, abis baca tulisan mami Ubii ini langsung cus IG, kepo bgt siapa itu Karin 😁 pas udah buka IGnya, langsung speechless...
ReplyDeletesemoga bisa mendidik anak dgn baik dan benar...
Amiinnnnnnn.
DeletePengen nangis bacanya mba,sedikit banyak ini masa laluku juga... dan PRku skrg how to be a best friend to my children :). Thanks a bunch for sharing.
ReplyDeleteSama-sama, Mba. Salam kenal ya :)
DeleteIlmu banget buat umur menjelang 20 gini bisa mempersiapkan lebih dulu..makasih mami ubi udah mau berbagi cerita
ReplyDeleteSama-sama, Mba. Makasih sudah mampir ya ^^
DeleteHaduh, aku kok sedih ya bacanya. Jadi takut gak bisa jadi ibu yang baik. Aku ibu yang sangat tegas. Terutama sama anak sulungku yang perempuan. Makasih banyak Mak Ges tulisannya. Aku jadi banyak berkaca. :'(((
ReplyDeleteMak Nia, huhuhu, maaf ya jadi bikin Mak Nia sedih. Peluukkk... Aku juga masih harus banyak belajar, Mak. Saling mengingatkan yaa..
DeleteMakasih ges udah diingatkan..keluarga memang kunci utama :)
ReplyDeleteSama-sama Chel. Salam buat Intania anak wedok calon mantuku :p
DeleteMami ubi, aku gk kenal siapa karin dan malah baru denger ceritanya jadi viral.
ReplyDeleteTp aku gk peduli siapa karin, aku hanya merasa ini sebuah pelajaran berharga bagi setiap keluarga.
mungkin secara gk langsung kelakuanku sewaktu kuliah hmpir mendekati apa yg mba Grace alami dlu.
Dan skrg meskipun aku blm berumah tangga apalagi jadi ibu, tp dalam hati aku selalu memintakan maaf atas ketidaktahuan orgtua bagaimana carany menjadi sahabat bagi anaknya, sehingga aku merasa kurang Kasih sayang dr org tua.
Dan skrg aku sbg anak yg harus banyak memaklumi semuanya, karna sejatinya Cinta sejati adalah Cinta orangtua pada anak2ny.
Betul Mba, setuju, cinta orangtua pada anaknya tidak terbatas.
DeleteMelihat dari sisi lain. Makasih mami ubii, dan selamat atas perubahannya ya mba ges. Itu pasti berat. *hug
ReplyDeleteSaya juga doakan karin dkk segera sadar atas tindakannya, dan ini bisa jadi pelajaran kita bersama. Aamiin.
Nice share! ;)
Trimakasih supportnya, Mba. Berat tapi alhamdulillah sudah terlewati. Makasih ya sudah mampir :)
DeleteAbsolutely agree with your opinion, Mbak Grace. Kadang-kadang didikan orangtua suka bikin kita terkekang dan ketakutan.
ReplyDeleteTapi yang paling penting sekarang, kita harus memberi mereka kesempatan memperbaiki diri.
Dan kita pun akhirnya harus memperbaiki diri juga ;)
DeleteMami ubi, mewek juga akhirnya sampai bawah.. :(
ReplyDeleteJujur, pas akhirnya ngepoin akun IGnya karin, aku malah kasian sama karin. Kasian karena sebenarnya aku tau apa yg karin alami di belakang semua itu. Karena dulu aku pun sama kayak karin..
Dan sama banget ceritanya sama Gesi, mamapapa saya persis bgt kayak gitu. Bahkan sampai sekarang aja, saya ga terbiasa curhat sama mereka.
Tapi saya bersyukur bgt punya ortu kayak mereka, karena saya jadi tau kalau kita ga bisa jadi ortu yg baik untuk anak2 kita, kita tau apa akibatnya untuk anak2 kita. Makanya sekarang saya paham harus gimana ke ahza.
Insya Allah ini jadi pelajaran dan bekal kita ya Mami Ubi.
Kisskiss
Makasih sudah sharing
Kamu hebat!
izin share ya miubii..
ReplyDeleteSilakan Mak ^^
DeleteIni aku perlu waktu yg cukup lama buat baca blogmu.. But, I always love your blog... Kisss
ReplyDeletePanjangnya durjana banget ya Nul wakwaaawwww hahahaha thanks babe!! 😚💜
DeleteKeren mba gesi sekelam apapun masa lalu kita itu juga yang membentuk diri kita menjadi seperti sekarang, alhamdulillah masih di kasih waktu untuk bertaubat, kehidupan kedua, keren mb ges tulisannya
ReplyDeleteSaya sdh cukup tua... tp saya rasa masih perlu banyak belajar jadi orang tua. dan saya justru diingatkan oleh Grace yg masih sangat unyu jauh di bawah saya... makasih....☺
ReplyDeleteMba, bikin tulisan tentang perjalanan "insyaf"nya juga dong... siapa tau di luar sana banyak Karin yang ingin jadi lebih baik tapi ga tau gimana caranya... atau merasa sudah terlanjur basah...
ReplyDeleteThanks inputnya Mba. Tapi kalau disodori tema itu, aku malah bingung gimana ceritainnya karena it happened just like that 😬
DeleteSaat Karin lagi heits ini pada bilang "Ya ampun di Jakarta gitu banget ya gaul." Padahal tentunya ini bukan di Jakarta aja, di kota lain juga sama. Dan yang menentukan kita akan begitu atau enggak adalah keluarga. Dan ini bikin saya mikir tentang bagaimana caranya biar anak saya enggak gitu. Itu susah :(
ReplyDeleteSaat Karin lagi heits ini pada bilang "Ya ampun di Jakarta gitu banget ya gaul." Padahal tentunya ini bukan di Jakarta aja, di kota lain juga sama. Dan yang menentukan kita akan begitu atau enggak adalah keluarga. Dan ini bikin saya mikir tentang bagaimana caranya biar anak saya enggak gitu. Itu susah :(
ReplyDeleteIzin reshare dan di compare sama tulisan saya ya kak :)
ReplyDeleteSilakan ☺️
DeleteMaaamiiii... ternyata dirimuuuu. Yang lalu biarlah berlalu karena sekarang awkarin yang ini udah jadi mami kece! Siap, insyaa allah kuterapkan pelajaran yang kau tulis ini, mami. Thanks sharingnya :*
ReplyDeleteBetul-betul pencerahan dan pelajaran menjadi orang tua ini mak, bagus banget sharingnya. Endingnya biking berkaca-kaca
ReplyDeleteKeren mak ges, endingnya menyentuh banget. Ini bisa menjafi pelajaran saya sebagai orang tua untuk kedepannya. Tfs mak
ReplyDeleteMakasih juga sudah mampir Mba Lis 😘
Deletemembaca tulisan mbak saya jadi benar2 diajak berpikir mengenai pentingnya keluarga bagi perkembangan anak. Walaupun saya belum menikah, tapi saya sudah bisa merasakan pentingnya dukungan orangtua untuk anaknya. Semoga melalui tulisan itu mbak bisa menginspirasi para orangtua dan calon orangtua yang ada :)
ReplyDeleteAminn, makasih sudah mampir yaa ^^
DeleteRasanya pengen hi5 sama mba grace. Sebagai mantan siswa berprestasi terus jadi rebel aq bisa banget ngerti maksud mba di blog post ini. Tapi saya agak beruntung hubungan dengan keluarga saya lebih baik dibanding hubungan mba - mama mba dulu. Sekarang saya baru saja berkeluarga dan ada kekhawatiran bagaimana nantinya kalau anak2 saya sebandel atau lebih bandel dari saya? Tulisan mba membuka mata saya bahwa harapan untuk jadi lebih baik SELALU ada. Trims mbaa.. by the way, this is the first time i read your blog & i LOVE it.. i'm a fans!
ReplyDeleteAku maklum knp org tua jaman dulu begith kasar, dulu mereka jg dididik dgn jd mungkin nurun. Aku gk pengen hal itu terulang ke anak2ku. Ya cukup smp diriku saja. Aku gk mw anak2 lari dari aku dan cari pelampiasan. Aku paham bgt rasanya jd dirimu. Meski aku gk smp jd anak nakal kyk gt soalnya aku cemen, err. Aku justru kasian sm karin.
ReplyDeletepostingan yang kece banget mbak..
ReplyDeletesaya sendiri saat SMA pernah jadi karin wkwk :v
masalah hampir sama dengan mbak grace , hanya saja saya takut sama bapak kalau mbak grace kan takut sama ibu haha,takut dimarahin kalau melakukan kesalahan,gak boleh keluar malam, pokoknya serbat takut sama bapak sehingga komunikasi sama bapak jadi berkurang...
well saat ini ternyata bapak baik banget ahhaha #sadar
padahal dulu punya rasa benci sama bapak ,di omeli dan sebagainya,setelah dewasa dan mengerti hidup di umur 20 tahun ternyata bapak itu baik banget ...
semua larangan bapak itu karena memang untuk saya ,untuk kebaikan masa depan saya hahaha :V wkwkkw
btw terima kasih mbak grace postinganya sangat menginspirasi
salam
sutopo blogger jogja
Grace, super. Been there before juga. Gaya pacaran gw juga ancur banget. Tapi gw salut ma elo yang brani buka2an ttg your past di blog. It needs a tremendeus guts to do that, really. Kalo gw lebih milih simpen sendiri or share personal ke certain people...
ReplyDeleteBetul Mbak, saya juga merasakan bagaimana susahnya menjadi orang tua setelah saya pun menjadi orang tua. Tapi, saya bersyukur sih, dulu orang tua saya memang sih kadang kalau saya salah suka dimarahin. Tapi mereka juga ngga segan menunjukkan kasih sayangnya. Saya ingat saat saya seusia SMP, karena hobby saya dan ayah saya sama, yaitu baca, seharian bisa baca buku bareng berjejer di sofa ruang tamu. Mungkin itu juga kali ya Mbak, yang membuat saya berpikir ribuan kali sebelum berbuat sesuatu yang akan membuat mereka bersedih. Tapi,yang jadi PR ke depan ya bagaimana saya bisa menjalin komunikasi dgn anak2 supaya mereka punya self control yg baik ya Mbak. Duh, masih panjang...dan penuh tantangan. Semoga saya mampu.
ReplyDeleteNice sharing mba! Butuh keberanian kayaknya buat sharing dosa2 masa lalu kayak gitu hehehe..
ReplyDeleteKoreksi dikit mba, si karin bukan anak SMA, umurnya udah 19 tahun.. Dia jg bisa dibilang mandiri karna sejak usia 16 hidup dari penghasilan sosmed, bahkan rumahpun udah beli sendiri.. Semua kehebohan di sosmed ttg dia berdampak dgn naiknya traffic di akun dia & bikin karin tambah kaya aja.. paling ga ada sisi positiflah krn anak itu emg foto2nya keren & sukses make money from socmed
Hai Mba Grace, salam kenal, ya. Saya ijin share tulisannya di FB saya. Berikut caption yang menyertainya:
ReplyDeleteMalem2 baca ini. Langsung sampe tuntas. Kepoin IG Karin dan videonya.
Saya gak akan ngomong tentang Karin. Cukup sudah orang bicara tentangnya.
Saya bicara tentang apa yang Mba Grace tulis. Tentang hubungan orang tua dan anak yang mempengaruhi pembentukan karakter anak.
Baca komen di blog Mba Grace, saya bersyukur saya gak sendiri. Ternyata memang bukan cuma saya yang dibesarkan dengan teriakan, kata kasar, dan hukuman fisik. Tapi ketika waktu melempar kami menjalani lakon sebagai istri, lalu ibu, maka sebagian besar dari kami melunak. Bukan serta merta membenarkan pola asuh yang diterima, tapi mengamini kuat-kuat beratnya mengasuh dan mendidik anak-anak itu. Dan itu, entah bagaimana, justru membalikkan hubungan buruk dengan orangtua, menjadi hubungan yang dulu tak terbayangkan: romantisme dan penuh kasih sayang. Di tengah jatuh bangun hidup sebagai orang dewasa, satu hal: orang tua adalah tempat bersandar yang paling setia. Mereka tulus, dan tidak pamrih. Mereka adalah tempat meminta bantuan tambahan kekuatan bernama: doa. Meski memang tidak semua hal dan detil harus sampai ke telinga mereka.
Mba Grace, saya, ibu-ibu lain di kolom komentar, dan Karin, cuma potret. Cermin untuk berkaca. Ensiklopedi untuk belajar.
Saya menahan nafas mengingat betapa masih menggunungnya PR saya sebagai ibu, pun menganak-sungainya dosa saya kepada anak-anak. Semoga selamanya, saya tidak lupa pelajaran hari ini.
Masih belum ganti hari,
Selamat hari anak nasional,
Selamat membangun kedekatan personal, ikatan tanpa batas, dan hubungan penuh cinta dengan anak-anak.
#belajardenganazzdaan
Blog Mba Grace:
http://www.gracemelia.com/2016/07/catatan-untuk-para-orangtua-dulu-saya-pernah-menjadi-karin-novilda.html?m=1
Suka kata-kata terakhir, saya sebelas dua belas sama mami ubi, sama-sama pernah jadi Karin di masa muda namun beruntung media sosial ga seganas sekarang. Dan iya, PR banget menjadi orang tua, ga ada pendidikan dan pengulangan untuk menjadi baik kita tetap meraba-raba menemukan yang pas untuk diterapkan pada anak. Finally, semoga kita mampu menjadi orang tua, keluarga dan teman bagi anak
ReplyDeleteuntungnya aku berada dalam keluarga yang hangat , walau dengan bapak agak jaug karena terlalu pintar tapi mama bisa memberikan kasih sayang yang luar biasa, Aku sih nakal-nakal biasa ala remaja gak seperti mbak Grace sih.
ReplyDeleteKalau saya kok mirip sosok "aurel" ini.... ya???
ReplyDeleteHihihihihi
Oh yaaa? Waaahh, lucky youuu ☺️🙏🏻
DeleteAku dulu juga SMA di Salatiga, Mbak. Di jalan kemiri. Hehe
ReplyDeleteSaya rasa, agama itu juga harus kuat. Hanya saja, cara pengajarannya ke anak yang perlu diperbaiki. Karena saat kita dekat dengan Tuhan, maka kita akan menjadi lebih mawas diri. Sebab kita tak tahu lingkungan seperti apa yang akan anak kita alami kelak pada zamannya.
Apapun yang di depan mata anak kita akan dianggap sebuah ujian, untuk tetap taat atau membangkang ajaran Tuhan & orangtua. Dan semua ada konsekuensinya, reward and punishment dari Tuhan langsung. CCTV abadi.
Poin yg lainnya adalah DOA Orangtua. Anak adalah titipan sudah layaknya bekerja sama dengan-Nya yang menitipi. Sebab Doa adalah nasihat tak terlihat yg langsung menyentuh ke hati lgsg dr Sang Pembolak-balik hati.
Makasih sharingnya Mama Ubi.
Jd mengingat-ingat kembali materi di kelas pendidikan karakter pas kuliah.
Oh ya? Baru tau dulu Mba Anita pernah hidup di Salatiga juga euy. Kangen nggak sih sama kota adem itu? :)
DeleteSebagai generasi 90an, saya menikmati masa2 SMA ataupun SMP dengan hal yang berbeda dengan yang lainnya. Karena saya dulunya tertutup dan hanya bergaul dengan teman2 yang circle yang mampu membuat saya nyaman. Tapi masa2 telat sekolah, cabut pm pernah saya alami juga hahahaha.
ReplyDeleteSemoga postingan ini bisa dibaca bagi yang sedang mengalami krisis masa muda dan orang tua yang sedang belajar mendidik anaknya :)
Aminn, I hope so! :'))
Deletehmm, saya mungkin mirip seperti aurel temen mbaknya deh hehe. saya dulu sering clubbing dll, tp bagian nungguin temen aj :). ikut ngelantai sih haha, tp ya kalau temen tipsy mesti saya yg njagain & nganter pulang. seumur2 ga pernah ngrokok & minum2.
ReplyDeletetp terus terang pada saat lihat video si karin, saya marah. saya memang cm lihat 1 video dia (yg paling baru waktu itu), dimana teman2nya dressed up as pikachu di mall ramai. disitu ada adegan dia meluk2 manjat2 pacarnya. trus ada adegan dia pura2 seperti sedang (maaf) oral. itu di dalam mall ramai mba. kelapa gading mah ga pernah sepi. mall keluarga banyak anak kecil jg.
temen2 saya dulu senakal2nya, mereka kayak gt ya di club, di bar, atau di rumah sendiri. mentok2 ya friendster seperti mbak. bukan di depan umum kayak mall yg pasti banyak anak kecil yg ngliatin & bisa trauma. sebagai orang tua yg terkadang ngajak anak ke mall, ke mall itu untuk makan, jalan2, senang2, bukan untuk melihat remaja tanggung ingin cari viewer youtube. kasihan anak saya dong ngliat penampakan kayak gt.
ada batasan antara being free spirited & rebellious teenager dengan attention whore (maaf). sayangnya di video itu menurut saya, karin ini sudah masuk di poin kedua
Halo Mba Dee! Nice sharing! Aku malah belum lihat video yang Mba Dee ceritain nih. Kudet yah aku. But, aku setuju, kalau mau 'nakal' mending jangan di tempat umum yang notabene adalah tempat tujuan keluarga yang bawa anak. Setuju banget!! Thanks Mba.
DeleteHuaaah.. Merinding Gees bacanya 😢
ReplyDeleteMerinding disko? Ah jadi ingat dulu aku anak disko #ganyambungbiarin
DeleteFamily, 100% agree. Thanks for share.
ReplyDeleteYou're welcome, Mak Dame! 😚
DeleteSalam kenal, Grace..
ReplyDeleteSy suka tulisanmu, dan setuju dg isinya. Kalau dilihat dr contentnya, sepertinya kita seumuran yah, at least kita mengalami masa kecil di era yg sama.. ^^
Sy hanya ingin menambahkan, berdasarkan pengalaman pribadi sy juga, bahwa sebenarnya, dengan pemahaman yg benar tentang firman, kedekatan kita dg Tuhan juga akan sangat membantu dlm usaha kita membentengi diri dari pengaruh2 negatif pergaulan bebas. Kuncinya adalah "pemahaman yg benar". Dan lagi2, orangtua lah yg mendapat tugas untuk menanamkan dasar yg benar dan kuat pada anak2nya.
Orangtua tidak akan bisa 24 jam bersama kita. Saat kita bersama orang lain, khususnya teman2 gaul kita, saat itulah "pendidikan iman" kita berperan penting. Saat kita merasa tidak ada kehadiran orangtua/keluarga yg akan mengawasi dan menjudge kita, ada "sesuatu" yg lain yg masih akan mungkin menghalangi kita melakukan hal yg buruk. Bahkan ketika "sesuatu" ini tidak kelihatan. Itu yg terjadi pada sy. Dulu, sampai sekarang.
Dalam hidup saya, iman dan keluarga, seperti dua sisi mata uang yg tidak bisa dipisahkan. Dalam hal mendidik anak, keduanya akan bisa saling melengkapi.
Well, sepertinya sungguh berat ya tugas jadi orangtua jaman sekarang.. ^^
Halo juga Mba Nana, salam kenal yah. Thank you untuk tambahan sharingnya ya. Aku setuju dengan sharing Mba Nana. Like agree 100%. Yang aku maksud di tulisanku di atas lebih pada poin pemahaman agama saja akan kurang cukup jika nggak dibarengi dengan orangtua yang bisa jadi sahabat anak. Kita satu era ya? LOL :p
DeleteTulisan yang bagus mama ubi. Pelajaran bagi saya jika punya anak kelak.
ReplyDeleteSaya juga sama seperti mama ubi yang gak dekat dengan mama alasannya sama, Ma. Walau memang saya tidak mengalami kehidupan remaja yang seperti Karin.
Masalah yang ditimbulkan Karin memang menjadi pelajaran penting bagi kita.
Terima kasih buat share dan tipsnya Ma.
Halo Rin! Thank you for visiting ya. I'm glad kalau tulisanku ini dirasa ada manfaatnya :))
DeleteHai Mami Ubii, salam kenal, terimakasih sudah menyuarakan sebagian besar dialog saya sama diri saya sendiri (yang pastinya cuma terjadi di kepala saya) :D Dan malu setengah mati sama orang tua setelah merit dan punya anak, ternyata membesarkan anak (perempuan) itu gak gampang. Anak-anak yang ketika kecil masih bisa kita kontrol sepenuhnya, ketika beranjak dewasa tentu gak sama lagi. Saya pun, punya masa tidak menyenangkan itu sampai juga mengecewakan orang tua.
ReplyDeleteSampai sekarang masih belajar supaya tidak mengulangi hal yang sama pada anak perempuanku. Semoga ya Mami Ubii. Semangat!
Halo Mba Ottsaa, makasih sudah mampir. Iya nih, aku juga ngerasa malu banget dan mengasuh anak ternyata nggak mudah. Semoga kita nggak mengulang hal yang sama ke anak-anak kita yah. Ganbatte!
DeleteDear mba Grace. Aku bacanya sampai terharu. Aku memang menjalani masa sekolahku sebagai anak baik baik -- anak yang bandelnya cuma karena main tapi memang cuma nggak betah lama di rumah dan nggak akur sama adik-adik -- but i feel you. Dulu teman lebih penting, sampai setelah bekerja dan tinggal jauh dari mama papa, aku tau, dekat dengan keluarga itu penting. Apalagi, setelah aku memutuskan untuk berhenti pacaran, dan mencari calon suami saja.
ReplyDeleteTulisan Mba ini benar benar pelajaran buatku. Terima kasih. Doakan semoga nantinya aku juga bisa jadi ibu sekaligus sahabat terbaik untuk anak anakku. Aamiin. Dan semoga partner hidupku juga demikian.
Amin amin, turut mendoakan, Mba. Semoga kelak dapat menjadi ibu dan sahabat yang baik, calon suami juga ;)
DeleteSaya juga gak deket sama bapak-ibu saya, Mami Ubii.. Tapi bedanya dengan Mbak Grace, saya tipe anak pemalu dan penakut. Jadinya, saya menjadi anak introvert dan suka minder, hingga dewasa.
ReplyDeleteSemua itu pelajaran berharga buat kita para ibu, ya. Bahwa tiap anak berbeda, dan kita harus pandai2 mendidik mereka sesuai karakternya. Setuju banget, kita harus bisa memposisikan diri sbg sahabat buat anak2 kita. Biar mereka mau selalu terbuka pada kita, hingga mereka dewasa pun
Makasih sudah mampir dan ikut sharing ya, Mba Diah ^^
DeleteKasus karin, aku suka bingung sama omongan orang, "anak zaman sekarang", padahal dari zaman kita muda (kita? LOL) hal begini ya emang wayahnya. Pengen keren, gaul, bitchy, dkk. Udah komen itu aja. Hahaha.
ReplyDeleteBtw nice post!
Hahahahaa spot on! Lol. Thanks Mba Lita!!
DeleteMakasih sharingnya mama Ubii. Dulu saya juga ngerasain hal yang sama krn ngga deket ama mama saya. Tapi sekarang, sejak punya anak, akhirnya tembok penghalang itu runtuh juga. Saya mengerti rasanya jadi ibu gimana..susah bangettt.
ReplyDeleteAlhamdulillah, ikut senang Mba Yuni sekarang dinding penghalang itu sudah runtuh :"))
Deletetulisannya bikin aku flashback ke masa lalu yang ngga jauh beda seperti itu dan dengan mamaku juga mba...same old story
ReplyDeletetapi sekarang aku sadar...mama lakukan semua itu cuma karena ingin anaknya jadi survive in this wild world
dampak positif dan negatifnya pasti ada...tapi mba bener, aku juga dulu harusnya punya kontrol diri di tengah 'keliaran' aku
sekarang udah jadi ibu...baru terasa susahnya, galaunya
lingkungan keluarga memang menjadi fondasi terkuat untuk seorang anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
thankyou for sharing mba...
Keren banget! Baru tau Karin dan beruntungnya baca dari sudut pandang Mami Ubii & Aiden. ��
ReplyDeleteKayaknya aku tau siapa Aurel ;))
Of course you know her, Mayang! Dia kan temen SMP mu ;))))
DeleteTulisan yang sangat touchy dan mencerahkan *hug Mama Ubi*
ReplyDeleteYep, menjadi orangtua memang sangat sulit :')
Thumbs up mbak Grace. Bagus sekali ulasannya. Semoga membawa manfaat untuk semua yang membacanya
ReplyDeleteTerima kasih sdh share :)
Tulisannya bagus Gees.
ReplyDeleteDengan tulisan ini semua orang bisa berkaca.
Thank you, Mak Neng :*
DeleteTulisan ini benar-benar membuka hati dan sambil introspeksi diri. Aku juga hidup dengan Mama yang keras dan tegas. Kadang terkesan otoriter. Prestasi, ya... nggak jauh beda dengan Mbak Grace. Aku bukanlah yang kemudian menjadi anak liar. Tapi aku lebih kepada... menjadi anak yang terkungkung. Serba takut. Serba nggak boleh. Aku sekarang pun masih mendamba... kapan saatnya aku menikah.. aku akan pergi dan nggak hidup dengan aturan Mama lagi.
ReplyDeleteTapi setelah baca ini, aku agak berpikir ulang. Thanks :)
Hmmm...
ReplyDeleteSedikit cerita dari aku ya mami. Dulu aku cupu (beruntung gak dibully) sempat ngerasa bahwa jadi cewek cewek populer itu surga banget :D
Tapi membaca tulisan mami, jadi berpikir bahwa, masing masing kita sedang mencari jati dirinya masa masa itu.
Semua orang punya masa lalu, tapi bagaimana dia akhirnya menemukan versi terbaiknya saat ini, itu yang terpenting yaaa...
Peluk mami Gesi. Dan saat ini, tanpa perlu pakai baju seksi, dirimu sungguh menginspirasi :D LOL
Like this post alot,,
ReplyDeleteBeda dulu beda skrg. Saya pernah agak bangkang dan nganggep prestasi itu segalanyaaa. Untunglah skrg tersadar
ReplyDeleteBaru bisa mampir setelah di bookmark :v
ReplyDeleteKarena, aku pun punya background cerita sendiri hingga akhirnya nekad merantau ke Ibukota. Dan ternyata tantangan demi tantangan hidup terus berlanjut dan memang tidak akan pernah ada endingnya hingga kita menghadapNya.
Saat ini, aku menjalani semua dengan rasa syukur yg dulu sempat hilang karena tenggelam oleh rasa kecewa. Keluarga yang sebelumnya ingin ku jauhi, saat ini mudah ku dekati lagi, karena mereka adalah sebenar2nya "tempat kembali", terutama setelah Alfath hadir.
Masa2 Awkarin telah terlewati, bersyukur juga karena di pertemukan dg Papanya Alfath yg gak mempermasalahkan masa lalu.
Terimakasih ya utk blogpost satu ini, peluk cium utk Kakak Ubii dan Aiden :*
Touched by your honesty and feeling so grateful that God has granted you strength, courage and wisdom after all that, and even blessed you with motherhood! Isn't God good... All the time.
ReplyDeleteThank you, Beautiful. I learn a lot tonight >HUGS<
Aku bukan anak nakal seperti karin. Aku bukan peminum, aku ga ngerokok, pacaran pakaian semuanya ga seperti karin. Aku pun ga pengen bebas liar seperti karin. Aku tumbuh besar dengan rasa iri, benci, dan sakit hati. Di umur aku yang hampir 21tahun, aku hanya besar terkurung di dalam rumah. Sibuk kerja, lelah dengan omelan di tempat kerja, dan dirumah. Uang gaji ku habis buat beli apa yang aku mau karena aku merasa ga bahagia. Orangtua menjadi orang yang aku ga pengen dengar. Mereka ingin aku seperti itu aku seperti ini. aku harus menjadi seperti yang mereka mau, dan itu menyebalkan. Hingga aku benar-benar strees, bener-benar ga sanggup lagi, aku hanya bisa menangis sekencang kencangnya, mereka malah meruqyah ku, mereka kira aku kesetanan. Mereka merasa aku ga bisa di atur dll. Dan kini, amarah aku yang udah mereda, tapi aku masih belum menuruti apa yg mereka mau, (mereka suruh aku shalat mendekatkan diri pada allah) , aku gamau, aku malas, karena aku ga enak badan. Dan akhirnya mereka memilih pindah, meninggalkan aku sendiri. Sepertinya emang aku ingin sendiri, ada rasa sakit sekali di jiwa ini. Rasanya aku ingin sendirian, menenangkan jiwa dan mental dan ragaku. Rasanya, syarap mental akal sehatku akan segera putus semua. Aku ga mau seperti karin, aku hanya ingin menikmati rasanya menjadi muda. Aku ingin melakukan yang aku mau di masa mudaku ini, jalan jalan, jatuh Cinta, cosplay, gaul sama temen, malam mingguan, dll. Bukan harus terus terus terkurung di rumah, shalat ibadah dll, aku tau meninggalkan ibadah itu salah, tapi tolong beri aku waktu di masa mudaku. Karena masa sekolahku, aku udah sakit, ga bahagia, kenyang di buly. Aku ga mau seperti karin, aku hanya mau, masa mudaku.
ReplyDeletesaya malah baru tau siapa karin dr sini, (trus kemudian stalking deh) xixiii
ReplyDeletepelajaran saya ketika melihat sesuatu yg berbeda dengan saya, alhamdulillaah saya ga mengumpat atau mencela, yg saya lakukan adalah berkata dan berdoa baik, semoga dia selalu dijaga dan dilindungi Allaah,
bukan saya sok bijak atau dulu pernah mengalami hal serupa, tapi lebih ke faktor "u" ciynn >.< haha, kidding..just..kidding
hwv, capek tau kalo hatinya, lisannya, pikirannya buruk ke orang lain..
so, the best give is praying them
keren mom ubii postingannya... yang jadi PR banget ya pas punya 2 buntut ya, gimana handle rasa marah pas yang nomer 2 riwil ehhh yang no 1 ikutan riwil pula.. kelepasan deh marah dan bentak-bentak :(((
ReplyDeleteMami Ubiii, 4 thumbs up buat artikelnya. Jujur apa adanya dan sangat menyentuh :)
ReplyDeleteMami, aku punya pertanyaan nih. Boleh kan?
terkait pola asuh orang tua. Di artikel di atas, mami kan bilang kalo orang tua harus komunikatif agar hubungan dengan anaknya lancar, supaya nanti anak dapat respect dan mematuhi orang tua tanpa harus merasa tertekan atau terpaksa. Nah, pertanyaanku, jika semisal kurang komunikatif, apakah itu merupakan masalah?
Gini, mi. Menurutku, kedua orangtuaku gak terlalu komunikatif. Mereka gak terlalu banyak bicara ke anak2nya. Berbicara cukup seperlunya saja. Bahkan penggunaan bahasa yang persuasif pun agak jarang mereka lakukan. Paling-paling omongan mereka hanya seputar "belajar yang rajin, ya", "jangan lupa kamu ada janji sama temanmu ntar sore", atau "kamarmu dibersihin, ya. Biar bersih dan nyaman"
Sesekali mereka juga marah, meskipun marahnya gak meledak banget. Marah pada umumnya, gitu.
Tapi mereka selalu jadi garda terdepan dalam membantu anak-anaknya. Semisal pas aku pulang kehujanan dan seragamku basah, padahal seragam itu besok masih harus dipake. Ibuku marah kenapa aku sampe kehujanan. Tapi besok paginya seragam itu udah tergantung kering dan rapi di kamarku. Ibuku ketiduran di ruang tengah. Ternyata beliau ngeringin seragamku semalaman dan ketiduran karena kecapekan. Beliau cuma bilang "yang penting seragammu bisa dipake" dengan bahasa yang simpel.
Ayahku juga demikian. Beliau jarang berkomunikasi dengan anak2nya. Pernah di hari minggu, beliau ada acara kantor. Padahal aku berharap ayah hadir di acara sekolahku. Eh gataunya ayahku memilih hadir di acaraku dan skip acaranya sendiri. Beliau cuma bilang "Bukannya kamu ada acara sekolah hari ini? Ayah ngikut kamu aja".
Mami Ubi, jujur aja aku bahagia punya kedua orangtua seperti mereka. They are not so good with words, but they put their children as their first priority. Sikap mereka inilah yang membuat aku respect mereka dengan kesadaranku sendiri. Bahkan hingga aku kuliah pun, aku selalu giat belajar demi bisa membuat mereka bahagia, padahal mereka tidak pernah menuntut apa-apa.
Mami Ubi, aku menyadari bahwa kayaknya aku mewarisi karakter yang sama seperti mereka. Aku sering banget tenggelam dalam duniaku sendiri, tapi aku gak pernah lupa dengan orang-orang terdekatku. Bahkan teman-temanku pernah menyebutku "Muka Extrajoss, Hati Marimas" karena aku dingin, jarang ngomong tapi selalu peduli dan pengertian.
Aku pribadi gak bermasalah dengan karakter orang tuaku dan pola asuh mereka. Menurutku, mereka bisa membuatku respect dan hormat pada mereka tanpa harus menuntutku ini-itu. Tapi itu kan aku pribadi. Orang lain pastinya beda. Pertanyaanku adalah, apakah karakter dan pola asuh seperti itu baik untuk anak? Aku menyadari bahwa aku sudah mau selesai kuliah dan mungkin beberapa tahun ke depan akan menikah dan punya anak. Tak ada salahnya cari tau dari awal. Hehe.
Maaf jika deskripsiku di atas terlalu panjang. Aku ngerasa kayaknya setiap detil penting, supaya Mami Ubi bisa lebih gampang menjawab.
Mohon banget untuk dijawab ya, Mami Ubi
Makasiiih :)
Halo Mas Muhammad. Salam kenal. Thank you for visiting my post yah. Kalau menurutku dari pengalaman pribadi dan beberapa teman, sebetulnya yang aku titik beratkan lebih pada gimana agar ortu bisa bikin anak nyaman cerita masalahnya ke ortu. Perkara ortu sedikit bicara, mungkin itu sudah pembawaan beliau-beliau ya, karena memang ada orang yang susah mengungkapkan isi hati dengan kata-kata tapi lebih mudah lewat perbuatan nyata. No problem sih menurutku. Toh akhirnya Mas Muhammad tetap bisa cinta dan hormat pada orangtua, kan? Misalnya Papaku. Beliau juga irit bicara, kalau aku cerita hanya dijawab, "Hmmm" lalu komen beliau pun irit banget. Tapi aku tetap bisa menganggap Papaku seperti teman. Jadi aku nggak takut saat cerita aku yang coba-coba merokok dan minum. Bahkan Papaku pernah menemani aku merokok segala, di belakang Mama tentu saja. Jadi kesimpulanku, (mungkin ini subjektif ya), poin utamanya bukan ortu harus jadi cerewet banyak omong ke anaknya kalau memang pembawaannya kalem/pendiam, tapi lebih ke gimana sih supaya anak nggak takut cerita masalahnya ke ortu. Semoga menjawab ya :))
DeleteOooh gitu...ok, ok dapat pencerahan baru, nih. Thanks, mami ubi. Sukses selalu menulisnya!
DeleteTulisannya jleb banget Grace! Keren & mengena, apalagi sekarang aku lagi sering bentak Raya karena banyak ulah... hiks, thank you untuk mengingatkan bahwa menjadi Ibu & mendidik anak bukan hal mudah, apalagi semua perlakuan Ibu akan terbawa oleh anak.. *sighs*
ReplyDeleteFully agreed....terima kasih sudah membawa perspektif karin terhadap 'why this could happen'
ReplyDeleteLife's never ending lesson, semoga kuta bisa membawa anak2 kita sukses di masa nya
Amazing... Tulisan ini seakan menampar saya yg suka ngomel ke anak paling besar saya.... Makasih banyak mba.. May Allah bless u
ReplyDeletemau share boleh ya mba.....
ReplyDeletemami gess... jempol dewh untuk sharingan posting yang ini.
ReplyDeletebener-bener perlu persiapan dan belajar terus menerus untuk jadi ortu. Udah hampir 9 tahun jadi orang tua, rasanya aku harus lebih keras belajar jadi orang tua yang baik bagi anak..
Wewww kerennnn pengalaman hidup, hidup di dunia hanya sekali, untuk pengalaman ambillah yang positip buat kita dan anak2 kita, ingat pengalaman bukanlah pedoman tapi pedoman harus di alami. Thank,s mami ubi
ReplyDeleteHuuuwwa setujuu mamii...
ReplyDeleteJadi ortu harus pinter main layangan yak (aka; tarik-ulur).. ga mesti ditarik terus.. yg ada malah putus terus lepas tak terkendali.. :D
Ayok semangat main layangan bu ibu..
Terima kasih tulisannya mami 😘
kerennn mba.......... :)
ReplyDeleteBuset, panjang bener...tapi gw baca juga sih. Haha. Bagus nih. Tapi dikasih baca ke anak2 muda juga boleh kan, kan membuat keputusan yang benar itu lebih cepat lebih baik. Hehehe. Salam Rebel!
ReplyDeleteMengingatkan saya kalau jd ortu emang gak mudah ya mbak :(
ReplyDeleteTrims artikelnya, kubaca sampai tuntas, moga Karin menemukan suratmu jg ya Mbak...
Boleh copas ya mbak
ReplyDeleteInspiring banget
Mengingatkan jaman masa mudaku yang "agak bebas" dulu
Trimakasih utk tulisan nya mb grace.. Is totaly my story to :')
ReplyDeleteMelihat fenomena Karin dari sudut pandang lain, keren Mbak !
ReplyDeleteI got lot of lessons here, although I am a man.
Hi mbak Grace, suka deh baca ini. berasa belajar parenting hehe.
ReplyDeleteAlhamdulillah aku blm pernah berada di posisi seperti mbak atau pun Karin. padahal saat itu aku kos dari SMA. Mungkin bisa jaga diri karena saat itu aku mikirnya, hidupku terlalu berharga kalau rusak. kebetulan, aku dari keluarga broken. Aku nggak pengen broken, jadi stand for different
Sebagai laki laki dan masih berstatus pelajar SMA, saya paham betul bahwa lingkungan sangat berpengaruh besar dalam pembentukan seseorang. Semoga saya nanti bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak anak saya kelak
ReplyDeleteanak diusia remaja emang masih labil, disaat itu mereka sedang mencari jati dirinya dan zona nyaman dia seperti apa dan kayak gimana. Jadi bisa saja mereka melakukan hal-hal yang menyimpang tanpa disadari, tapi jadi pembelajaran aja kedepannya.
ReplyDeletethank u mom buat sharing, nasehat, dan inspirasinya. menurut sy tulisan ini bisa menjembatani pemikiran dari segi orang tua dan anak secara bersamaan tanpa saling menyudutkan. sy pun belajar banyak dr tulisan mom di atas. sangat membantu..
ReplyDeletethank you..
thank u mom buat sharing, nasehat, dan inspirasinya. menurut sy tulisan ini bisa menjembatani pemikiran dari segi orang tua dan anak secara bersamaan tanpa saling menyudutkan. sy pun belajar banyak dr tulisan mom di atas. sangat membantu..
ReplyDeletethank you..
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKeren.. tp agak terganggu dgn kenggunaan kata 'kimcil'. Maknanya adalah perek kecil.. cmiiw
ReplyDeleteI almost been there, mbak :)
ReplyDeleteBerharap banget bisa banyak ngobrol sama Mbak Grace.
Kikiiii kalem ya tnyata hahaha
ReplyDeleteDibesarkan di keluarga yang keras dan jauh dari kasih sayang orang tua, tumbuh jadi orang yang membangkang dan berbuat banyak dosa. hehe inget masa masa itu dan sekarang sudah berubah dan memastikan tidak ada kesalahan di setiap langkah kehidupan.
ReplyDeleteTerimakasih tulisan nya mbak, hampir hampir mirip tapi jenis nakal nya beda, mungkin si karin akan segera hijrah setelah kejadian ini. emank perlu tuguran untuk menjadi lebih baik.
Tulisan yg bagus mbak. Saya juga seorang ibu, dan tulisan ini mengingatkan saya kembali bgm harusnya saya mendidik 3 anak perempuan saya. ijin share ya.
ReplyDeleteMba grace, apa yang anda tulis saya jg mengalaminya. Tetapi bedanya saat saya uda berkeluarga dan menjadi seorang ibu, saya tetap tak bisa dekat dengan mama. Rasa sakit hati masi ada sampai sekarang, bahkan karena mama jg terlalu mencampuri urusan rumah tangga saya. Setiap saya melihat mama, tidak ada rasa sayang hanya hambar saja.. bahkan saya lebih sayang terhadap ibu mertua yg bisa mengerti apa yang saya rasakan dan lebih perhatian. Apakah perlu saya ke psikolog dengan kondisi seperti ini? karena jujur saja, saya takut dosa, tapi saya jg ga bisa memaksakan rasa sayang.
ReplyDeleteSaya malah baru tau si Karin. Ke mana aja ya?
ReplyDeleteTapi ... Dia gak jauh beda dg saya dulu.
Sama bgt mbak. Broken home bikin saya jadi pribadi yg "aneh" di masa jahil. Pembangkang, susah diatur dan banyak yg g bagus deh. Seiring nambah umur dan berumah tangga. Saya jadi tobat. Dan malu sama masa lalu saya. Bener2 ga ada yg bisa dibanggain
ReplyDeleteSaya salut sama keberanian Mbak menceritakan masa lalunya, nggak semua orang berani seperti itu.
ReplyDeleteKalau Mbak dulu remaja yang gaul dan bebas karena tekanan di rumah, maka saya sebaliknya. Saya anak yang pendiam, kuper karena terlalu dikungkung.
Saya baru bisa merasakan kebebasan dan punya banyak teman setelah mengenal internet, jadi saya bersyukur tidak sampai mengupload hal-hal buruk ke sosmed seperti Karin.
Semoga kita bisa menjadi ortu yang terbaik untuk anak-anak kita karena memang sekarang ini godaannya berat banget. Saat ini saja mengasuh anak-anak yang balita saja sering bikin lepas kontrol dan emosi.
Sekali lagi thanks sharingnya, maybe nextime saya mau berbagi kisah masa lalu saya juga :-)
Mak Ges, dulu tuh gaul n keren tuh poin penting ya :))
ReplyDeleteUntung sih dulu belum ada facebook, kalau enggak fb bakal penuh ama foto2 mantan, hahaha.
Helo mbak Grace, salam kenal, kalau mbak pernah menjadi karin, saya cenderung pernah menjadi grace, ya saya kulaih ngekos dibandung yang pergaulannya super bebas tetapi saya selalu bisa menolak jika diajak teman genk yang minum, dugem bahkan terjerumus ke obat obatan terlarang kala itu. Karena yang ada dipikiran saya saat itu adalah mama saya yang selalu mendoakan saya siang malam demi anaknya, menyiapkan semua keperluan saya sehari hari, ayah saya yang bekerja keras untuk membiayai saya. Alhamdulillah saya tetap bergaul dengan anak anak yang bisa dibilang populer atau gaul kala itu, tanpa ikut menjadi seperti mereka.
ReplyDeleteTulisan yang cukup menampar bagi para orang tua agar lebih memperhatikan lagi hal hal terkecil sekalipun yang berhubungan dengan parenting. Saya sangat setuju, kita tidak bisa menyalahkan karin, karena pasti banyak sekali alasan sampai dia seperti itu, dia butuh perhatian lebih.
Maksud saya pernah menjadi Aurel mba hahhahahhahha
DeleteMamaku orangnya tegas Tapi selalu ramah Sama anaknya. Anak2nya selalu takut kalau beliau marah, tetapi anak2nya tidak pernah ragu untuk curhat. Apapub yg anak2nya ceritakan, mama selalu mendengarkan dengan baik. Begitu jg dengan papa yg bisa diajak bergurau, tatepi tetap tegas ketika membahas masalah serius. Setelah menikah, Aku merasakan bahwa mama Papaku adalah org terhebat Dan contoh terbaik buat hidupku. Love u mom and Dad
ReplyDeleteBeen there too..
ReplyDeleteMeski ngga se'bebas' Karin, tapi setidaknya ketika sekolah dan kos jauh dari orang tua, aku pernah di posisi bebas itu.
Bahkan ketemu suami di saat keadaan masih yaa begitulah. beruntungnya suami sama sekali tidak mempermasalahkan kenakalan saya dulu. Dan membimbing saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Thanks god, i found your artikel...thank you
ReplyDeleteBaru aja semalem ngobrolin Karin ini sama suami. Tadi pagi dia share link ini ke aku. Laaah ini mah temenku (sok ngaku ya) sukses terus mami ubii
ReplyDeleteBaru aja semalem ngobrolin Karin ini sama suami. Tadi pagi dia share link ini ke aku. Laaah ini mah temenku (sok ngaku ya) sukses terus mami ubii
ReplyDeleteyap setuju. umur 17-19 memang paling rentan, bedanya zaman kita dulu, ga ada gadget buat kita show up. pernah mengalami masa-masa itu juga.. hiks.. masa jahiliyah
ReplyDeleteSuka banget tulisannya mba..serasa "menampar" saya...krn saya "sepertinya" galak...huumm..masih trus berusaha utk mengendalikan emosi
ReplyDeleteNice post, Mbak Grace. Salam kenal :-)
ReplyDeleteDapet banget poin dan momennya. Thanks for sharing.
Nice post, Mbak Grace. Salam kenal :-)
ReplyDeleteDapet banget poin dan momennya. Thanks for sharing.
thanks banget tuluisannya mami ubi...
ReplyDeletesmoga karin baca *entah kapan
Hai mbak, salam kenal,, seneng bgt nemu tulisan mbak, ditengah kegalauan saya sebagai emak2 ngeliat perkembangan anak2 masa sekarang,, semoga karin bisa baca blog ini juga anak2 masa sekarang,, mari kuat mulai dari keluarga 😘
ReplyDeleteLepas dari konten yang dibagikan, yang emang ... ya... begitulah. Aku akhir-akhir ini sering merhatiian bagaimana dia mendisain IG nya. Cantik dan rapi tonenya, enggak kayak IG ku.
ReplyDeleteKasian karin,semoga bisa berubah baik lagi, dan dikota2 besar klu pcaran y pasti ad embel2nya minta seX ,naudzubillahmindalik ,,, sebentar lg jg dajjal muncul makanya kita hrs siap2 menghadapi fitnah yg dasyat , karin semoga km bisa bertobat sama Gusti Allah Aamiin,asalamualaikum wr.wb
ReplyDeleteini istrinya edhozell ya mami UBI???
ReplyDeleteJujur mb, sy speechless setelah membaca perspective yg mb paparkan segala realitas diatas..satu kalimat: "Damn, you are right sist..!!I so agree with you "
ReplyDeleteBut menurut sy itu semua kembali ke karakter masing2 Individu yg merupakan anugerah dari Tuhan. Sy teringat dengan salah seorang kenalan sy, sejak kecil orang tuanya terutama Ibunya tak henti2nya memberikan pendidikan yang terbaik buat dia, sampai2 pendidikan akhlak (agama) jadi prioritas, waktu kecil dia jadi rajin Baca Al Quran, masuk ponpres dll dengan harapan ortu nya membekali dia akhlak yg baik, namun kenyataannya justru malah sebaliknya. Semakin dia dewasa justru bukan semakin baik hingga sampai sudah menikah pun dia hobi banget bermaksiat, mendzalimin istri & anak2nya serta yang paling parah dia tak henti2nya BERZINA..
Bukan salah bunda mengandung..namun oleh Allah SWT setiap manusia telah dituliskan scenario hidup nya seperti yang Dia kehendaki..
So, selama kita masih diberi nafas oleh Allah, segeralah kita membenah diri kita sebagai bekal kita untuk diakhirat nanti..
Mari kita lakukan yg terbaik buat anak2 kita sejak ia masih dalam kandungan kita, stelah itu kita serahkan semuanya pada Yang Maha Pencipta.. :)
Ending nasihat Mami Ubii untuk Karin, bikin aku nyesek deh, seperti nasihat ibu ke anaknya, aku sampe berlinang, makasih Mami Ubii untuk sharenya :*
ReplyDeleteMba aku mau tanya, bagaimana cara menghilangkan rasa ketakutan akan karakter orang tua yg keras?
ReplyDeleteibu saya juga tipikal yg keras, dan perfeksionis, hingga tak heran d saat saya bekerja, saya mengalami rasa takut jika kerjaan saya slah.
saya lebih cenderung penurut dan pasrah, dibandingkan sodra2 saya yg tumbuh mnjdi agak emosi. Saya tidak menyalahkn ibu saya, krena saya yakin itu adalah rasa sayang org tua trhadap anaknya, hanya cara penyampaiannya yg berbeda.
Bagaimana cara mengontrol adik saya yang tumbuh remaja ya ? saya berusha menggantikan rasa nyaman bercerita yg sdkit d daptkan dari ibu saya ( karena klw bercerita ibu sy lbh ssering menghakimi).
Bagaimana cara memberikan mindset trhadap adik sya yg masih rmaja semisal perbuata itu 'salah' tapi tidak mnghakiminya?
Halo mba, salam kenal. Kalau ditanya begini, aku bingung juga ya, karena anak-anakku belum ada yg usia remaja. Jadi aku belum punya pengalaman langsung. Kalau aku pribadi, menghilangkan ketakutan akan karakter Mama yg keras, dengan waktu, mba. Seiring berjalannya waktu, lama-lama ketakutan itu melipir sendiri. Mungkin krn sekarang aku juga sudah jadi ibu, jadi Mama ku juga sudah nggak segalak dulu. Hehehe.
DeleteUntuk adik mba, mungkin mba bisa coba dengarkan dulu cerita-ceritanya. Setelah itu, diajak ngobrol santai, lebih ke arah diskusi. Tanyakan ke adik, menurut adik apakah perbuatan ini salah? Gimana pandangan adik terhadap perbuatan ini. Lalu mungkin bisa dikaitkan dengan ajaran agama yg dianut oleh mba. Kalau menurut ajaran agama, perbuatan tertentu dosa/tidak baik, ya sebaiknya jangan dilakukan. Maaf ya kalau kurang bisa membantu. Huhuhu. ANak-anak masih balita, jadi ilmuku juga masih sampai sini saja.. :(
Terima kasih pencerahannya Mbak... kita semua pernah muda... tapi nggak semua pernah "nakal"... at the end... terima kasih banyak atas pembelajarannya... #bighug
ReplyDeleteSaya paling males kalo baca postingan yang panjang. But no this time. Meskipun panjang,saya baca sampai akhir, loh! Suer..!
ReplyDeleteBanyak pelajaran yang bisa saya ambil. Bahwa menjadi orang tua itu, gak gampang. Saya juga masih belajar agar bisa menjadi teman yang bai bagi anak. Kami memang sering mengobrol bersama. Tapi masalah pribadi, anak saya cenderung tertutup. PR terbesar buat saya, nih!
Trimakasih mba Nurul. I'm glad if this post can be something positive and useful. Semangat yah. Perjalanan jadi ibu masih panjang. Saling mendoakan ya mba :)
DeleteGrace, thank you for sharing your thoughts. One of my dreams is become a mother one day and you are such a great example. Your writing has inspired me! Keep up the good work Grace and be blessed. XX, Judith
ReplyDeleteyang jelas lliar nya anak zaman dulu sama liarnya anak zaman sekarang itu beda.
ReplyDeleteorang kalo udah dikasih kebebasan, banyak duit, ya gitu dah, percuma mau dinasehatin kayak gimana, mending diemin nanti kapok sendiri
ReplyDeletewah mamanya sama kaya mama aku kak. terkenal tukang ngomel dari sodara sampe temen sd smp smk semua tau kalau mama ku galak bahkan temen"ku gag semua berani maen ke rumah . sd smp nurut di rumah smk bener kalau udh dipegangin kunci montor lari sampe jam 9 malam tp aku masih tahu batasan :) tapi ya itu sudah merasakan tidak betahnya di rumah karena hal kecil pasti diomelin, keras pula ngomelnya. trus kuliah" ini baru agak tobat karena mikirnya udah makin kebuka dan berhubung aku kuliah di institut keagamaan jadi lebih tahu mana yg baik dan sekarang mencoba untuk meng-eman keluarga mengawetkan hubungan anak dan orangtua :) pokoknya sekarang fokus kuliah dan fokus ngebahagiain orangtua :) nice buat postinganmu kak :)
ReplyDeleteHalo Mbak Grace..........makasih banget untuk share pengalamannya. Pola didik orang tua akan sangat berpengaruh pada pembentukan pribadi anak.......
ReplyDeleteSetuju, been there done that. Cuma mau nambahin satu info,
ReplyDeleteWhat Goes Online, Stays Online Forever
atau
Everything posted online is there forever, even after it's been deleted.
Apalagi materi yg kita upload bersifat aib, atau sex material, dsb. Dampaknya di masa depan, baru deh nyesel, tapi nasi sudah jadi bubur. Makanya mesti lebih bjiak lagi kalo mau upload.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteWhaaa...keren mba anak muda banget dan ngena banget sih..ke saya...
ReplyDeleteJujur saya jaman sekolah - kuliah anak yang nurut banget sama ortu (ortu dan keluarga baik selalu ga ada jarak) dan guru...
Penggalan kalimat semua ada batas waktu nya...hangkrikkkk..
Sekali kali yang baik pengen jadi penjahat juga... Ini waktunya kali y,,
7 Tahun kerja menjadi penjahat, datang paling pagi,dalam seminggu 5 hari kerja, 3 hari kerja dilakuakan pola jam set 8 alasan sarapanjam 11 dtng bentar istirahat, terus hilang sampe jam 7 malam, diluar ya gw maen game ngemall nonton main ke kota orang datang udah O.T ( 3 jam)untung bukan perkerjaan.yang berhubungan langsung dengan manusia..gw tinggal manipulasi data aja kalo ada laporan dan bos gw manut2 aja.. Tapi mulai kerasa efek gini terus kayak ga ada perkembangan dalam hidup..
Takutnya nanti gw punya pacar--> beristri --> dan punya anak..buset dah kalo kaya gw ngerii juga... Naga aja bisa dikibuli...kayak bipolar muka baik tapi tukang tipu waduhh... Dan mungkin semunya harus berhenti ke bipolaran ini sebelum terlambat
Semoga nanti saya menjadi orang tua yang utuh setidaknya Nakal dan bandel itu yang hanya lewat saja bukan kelewatan batas dan biarlah nikmati masa muda
Ketika saya baca ini, tiba-tiba otak saya mengingat hal yang sama.
ReplyDeleteYa, saya juga sama dengan Karin. Hanya ingin dimengerti masa sulit yang sedang dialami. Saya merokok, tapi tidak untuk mabuk. Walaupun teman-teman sedang mabuk, saya pun hanya sibuk merokok. Berkumpul dengan mereka, tertawa bersama, pulang pagi itu cukup menghibur saya.
Saya pikir saya tidak perlu mabuk untuk melupakan setiap masalah saya. Cukup pergi ke club atau ke cafe untuk menikmati suasana.
Saya setuju banget dengan Mami Ubii. Yang Karin butuhkan adalah rumah. Rumah yang berisikan mama, papa, kakak/adik yang hangat. Itu seperti yang saya butuhkan 6 tahun lalu.
Dan tulisan ini semoga bermanfaat untuk kita semua, karna kita pasti akan menjadi orang tua. Sedari anak saya umur 1 tahun ini, saya sudah bertekat ingin menjadi temannya. Karna saya tidak akan sanggup melihat anak saya menjadi seliar saya. Semoga kita semua bisa menjadi orang tua yang dibanggakan anak.
Sampai menitikkan air mata.. kadang saya khawatir, mungkin selama ini saya sudah menanam benih2 karin pada anak saya. saya tinggal di Jepang yang semuanya serba disiplin, teratur dan ontime. banyak hal yg mungkin terlalu ketat kami sampaikan ke anak. anyway, thanx ya mbak Grace.. ngena banget ini tulisannya..
ReplyDeleteCukup 1 kata....idem...
ReplyDeleteSungguh.. tulisannya memotivasi banget mbk.. dibuat warning juga utk remaja sprti sayaa untuk lebih berhati hati, dan saya sekarang pun juga lagi jauh dengan orang tua, mereka di kediri saya di jogja, disini pergaulan sngat tak terbatas mbak, ngeriii kalau kita terjerumus.,Alhamdulillah dapat ilmu lagi dari mbk. Terimakasih
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete