Bingung antara seneng apa kicep yah. Sekarang kok pada nungguinnya tulisan Adit daripada tulisan saya yang punya blog. Suka ditagih, "Kapan nih Diari Papi Ubii nongol lagi?" Nggak ada yang nungguin tulisan saya apaaaa? OKE FAIN! **ngambek**
Here's Adit's writing again for the Diari Papi Ubii category. Tapi tema nya agak melenceng dari tema-tema parenting and family nih. ZZZ **toyor Adit, lalu cium tangan**
Enjoy!
“In one aspect, yes, I believe in ghosts, but we create them. We haunt ourselves.”
― Laurie Halse Anderson, Wintergirls
Hanya beberapa jam sebelum saya berangkat ke Mexico City 2 minggu lalu (yang bikin saya absen nulis di blognya Grace lumayan lama), saya menerima kabar buruk dari Papa yang bikin saya pamit ke toilet sebentar untuk menangis.
Mama saya kena serangan stroke. What the fucking fuck. Ini mendadak banget. Mama saya itu wanita tangguh nan tahan banting. Doi selalu sehat — dan banyak yang salut karena di usia kepala 6, Mama masih sanggup traveling kemana-mana. Countless long-haul flights and timezone differences sudah doi lalui seolah-olah they were nothing. Beda dengan saya yang kena jet lag remeh aja udah rewel ngga masuk kantor 2 hari. Otomatis lah kabar ini bikin saya shock ngga kepalang. Saya sempet pengen bilang ke kantor kalau saya ngga jadi pergi ke Mexico City karena Mama sakit (which is very acceptable reason and I think my office wouldn’t mind), tapi Papa tetap meyakinkan saya buat berangkat dan nggak perlu mikir macem-macem karena ini cuma stroke ringan. But I couldn’t. Di beberapa artikel medis yang saya baca, stroke itu imbasnya ngeri banget. Saya jadi parno sendiri. Indeed, saya jadi berangkat. Tapi pikiran melayang ke Jogja — will she be alright? Pas transit di bandara Narita Tokyo pun saya lewat counter Garuda Indonesia dan tergoda buat beli tiket pulang ke Indonesia. Tapi kemudian saya dapat WhatsApp dari keluarga di Jogja, intinya my Mom is doing fine — ditambah saya dapat kata-kata penyemangat dari temen-temen via japri dan status comments: it really means a lot. Saya jadi sedikit tenang kemudian melanjutkan perjalanan… kemudian bete lagi gara-gara perjalanannya lama mampus.
Selama perjalanan Tokyo-Dallas, saya cuma nonton film yang satu ini. Film favorit sepanjang masa.
Mama saya kena serangan stroke. What the fucking fuck. Ini mendadak banget. Mama saya itu wanita tangguh nan tahan banting. Doi selalu sehat — dan banyak yang salut karena di usia kepala 6, Mama masih sanggup traveling kemana-mana. Countless long-haul flights and timezone differences sudah doi lalui seolah-olah they were nothing. Beda dengan saya yang kena jet lag remeh aja udah rewel ngga masuk kantor 2 hari. Otomatis lah kabar ini bikin saya shock ngga kepalang. Saya sempet pengen bilang ke kantor kalau saya ngga jadi pergi ke Mexico City karena Mama sakit (which is very acceptable reason and I think my office wouldn’t mind), tapi Papa tetap meyakinkan saya buat berangkat dan nggak perlu mikir macem-macem karena ini cuma stroke ringan. But I couldn’t. Di beberapa artikel medis yang saya baca, stroke itu imbasnya ngeri banget. Saya jadi parno sendiri. Indeed, saya jadi berangkat. Tapi pikiran melayang ke Jogja — will she be alright? Pas transit di bandara Narita Tokyo pun saya lewat counter Garuda Indonesia dan tergoda buat beli tiket pulang ke Indonesia. Tapi kemudian saya dapat WhatsApp dari keluarga di Jogja, intinya my Mom is doing fine — ditambah saya dapat kata-kata penyemangat dari temen-temen via japri dan status comments: it really means a lot. Saya jadi sedikit tenang kemudian melanjutkan perjalanan… kemudian bete lagi gara-gara perjalanannya lama mampus.
Selama perjalanan Tokyo-Dallas, saya cuma nonton film yang satu ini. Film favorit sepanjang masa.
Balik ke tanah air, saya baru bisa jenguk Mama pas doi udah dipulangkan ke rumah. Doi tampak kuyu. Recovery-nya masih on the go, and nothing we can do much but cheering her and keep her away from problems. Kami sekeluarga sepakat, kalau ada masalah sekecil apapun disamping kondisi Mama, haram hukumnya untuk membahas masalah tersebut di depan doi. Takutnya nanti kebawa pikiran Mama. Lanjutnya, diiringi hujan lebat dan petir menyambar di sore yang dingin dan gelap (ini bukannya mendramatisir, emang gini suasananya) saya dan adik saya ngobrol berdua di kamar. Anin (nama adik saya) bilang, “Mas, si Mbak X (asisten rumah tangga Mama) punya teori kalo Mama itu sakit gara-gara dia digelayuti demit.” WTF.
Anin cerita serangkaian kejadian mistis yang dialami Mama sebelum doi dilarikan ke rumah sakit. Waktu itu Mama nyetir ke Wonosari buat jemput si Mbak dari rumahnya. Ada satu jembatan dimana konon kalau kamu nggak nglakson pas lewat, bakal ada lelembut yang ikut nebeng kendaraan kamu. Mama nggak percaya hal ginian, bablas tanpa klakson. Sampe tujuan, tau-tau alarm mobil Mama nyala meraung-raung tanpa sebab yang jelas, lalu beres sendiri. Pulangnya Mama udah mulai ngeluh pusing-pusing. Malam harinya jam 1, kamar Anin tiba-tiba digedor kenceng — ternyata Mama minta Anin buat nemenin doi tidur. Doi masih ngeluh pusing. Waktu Anin nemenin Mama, gantian Anin yang nggak bisa tidur. Dia ketakutan — sepanjang malam alih-alih merem, Mama rebahan tapi matanya malah ngelirik ke kanan terus, dan nggak bilang apa-apa. Terus tepat jam 3 pagi, giliran mobil Papa yang diparkir di garasi alarm-nya bunyi kenceng banget beberapa menit, lalu beres sendiri. Dipantau via CCTV, nggak ada apa-apa. Anin ketakutan, but somehow she managed to sleep. Paginya, Anin menemui Mama melek tapi ngga bisa gerak. Air liur terus menetes dari mulut — this is definitely a symptom of stroke attack. Kakak saya lalu memanggilkan tetangga depan rumah yang kebetulan seorang dokter. Affirmative — she had ischemic stroke. Langsung dilarikan ke rumah sakit, dirawat semingguan.
Pulang-pulangnya dari rumah sakit si asisten rumah tangga ngotot kalau Mama itu digelayuti dedemit. Lalu dia minta izin untuk memandikan Mama dengan kembang apalah itu yang dipercaya bisa ngusir mahkluk halus. Dipikirnya nothing to lose, atau mungkin hanya sekedar mengapresiasi perhatiannya si Mbak (eventhough in a weird way), Mama saya mengiyakan mandi kembang malam-malam. Hasilnya? Mama masuk angin.
KZL.
Esoknya, ada saudara yang menyarankan untuk manggil tukang pijit spesialis pasca serangan stroke, didatangkan khusus dari Solo. Dasarnya Mama demen pijit, doi seneng-seneng aja. Yang kita nggak ngeh, ternyata sebelum mijit si masseuse melakukan ritual: semacam sengaja dirasuki roh untuk melawan dedemit yang sedang menggelayuti Mama saya. Malam itu, rumah Mama jadi panggung ketoprak dadakan. Si masseuse out of nowhere mengaum bagaikan harimau sekencang-kencangnya — yang membuat beberapa tetangga bertanya apakah Mama punya binatang peliharaan baru. Papa saya yang menyaksikan hal ini sontak ketawa nggak habis-habis. Sayangnya karena terbuai tawa, dia lupa mengabadikan auman epic tersebut melalui video. Mama saya lemas habis dipijit. Bukannya kenapa, energinya habis buat nahan ketawa.
Dari serangkaian cerita di atas, ada garis bawah yang sangat vokal: most of us percaya akan hal-hal metafisis. Saya nggak tau tepatnya gara-gara apa yah — mungkin karena kita secara historis sangat akrab dengan cerita ajaran budi pekerti yang dikemas dengan bumbu-bumbu surealis: Malin Kundang, Sangkuriang, Nyi Roro Kidul, dan folklore lainnya. Agama dan kepercayaan pun juga menyampaikan ajaran kebaikan dengan medium mitologi yang entah masih relevan apa nggak di jaman sekarang ini. Kalau kata J.M. Barrie melalui karya epos Peter Pan, sesuatu akan ada, jika kita percaya. Most of us percaya bahwa dedemit itu ada, ya udah, itu beneran ada — at least di pikiran orang yang percaya.
Ngga cuma orang biasa yang percaya begituan. Para pesohor negeri ini selalu membanjiri paranormal menjelang pemilihan umum. Para artis-artis yang mulai redup, mendekati Aa Gatot. Ada juga yang menggunakan fenomena tingginya tingkat kepercayaan orang Indonesia terhadap metafisika untuk berbisnis macem Dimas Kanjeng Taat Pribadi — pengen instan kaya dengan percaya bahwa doi bisa menggandakan uang. Pengen instan masuk surga, ada yang buka jasa titip doa berbayar di Makkah macem Ustad Ahmad Gozali. Bego aja sih orang-orang macem gitu. Yang bego lagi ya pasiennya — percaya dengan metafisika tanpa peduli logika.
Namun tidak bagi saya. Papa saya percaya semua hal bisa dijelaskan secara logika, dan saya dari kecil dididik beliau untuk mengandalkan logika diatas segalanya. Saat teman-teman saya percaya kalau kita bakal diculik wewe gombel kalau kita keluar waktu maghrib, Papa saya ngasih pengertian ke saya bahwa keluar rumah saat maghrib memang bahaya, bukan karena wewe gombel, tapi karena mata kita musti menyesuaikan the absence of light. Seharian mata kita udah terpapar cahaya, dan saat maghrib, cahaya hilang secara bertahap. Di fase ini mata kita terus adjusting, which makes our brain works harder dan susah berkonsentrasi. That’s why kebanyakan kecelakaan jalan terjadi saat maghrib dan subuh — saat mata harus adjust with absence/presence of lights. Mungkin orang jaman dulu nggak tahu sebab sebenarnya kenapa keluyuran saat maghrib itu bahaya, thus they create that wewe gombel story. Maksudnya baik sih ya, demi keselamatan anak itu sendiri.
Waktu kecil saya sering mengeluh ada makhluk-makhluk yang mengikuti saya sampai kamar. Papa saya bilang, itu namanya teman imajiner (seperti Bing Bong di animasi Inside Out). Sebabnya adalah waktu itu saya jarang keluar rumah, kesepian. Lalu saya coba untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan made friends, real ones. Hasilnya? Saya nggak pernah ketemu sosok makhluk itu lagi. Pun saat saya dewasa, jika saya sedang sangat kecapekan, saya sering melihat ada orang menatap saya di sudut gelap, atau melihat sosok putih di kebun, atau mendengar rintihan anak-anak di saat rumah sedang sepi. Saya sempat ketakutan setengah mati dan sempat percaya bahwa saya bisa melihat hal-hal yang tak kasat mata. Namun kemudian saya tahu bahwa severe fatigue can cause hallucinations. Lalu kenapa halusinasinya seragam? Ini mungkin yang disebut sebagai kesadaran kolektif — dimana kita semua dari kecil dijejali imaji hantu di kebun, rintihan anak-anak, sosok putih pocong (kalau di Malaysia namanya hantu bungkus — oke, ngga penting) melalui medium folklore, urban legend, sinetron-sinetron mistis, atau deretan filmnya Mbah Susana. Halusinasi tentang demit ya nggak jauh-jauh dari yang digambarkan di medium-medium tersebut. Semenjak sadar akan hal ini, saya berhenti percaya dengan semua yang berbau metafisis.
Selanjutnya saya buktikan dengan uji nyali. Tetangga saya ada yang hobinya koleksi keris. Ada satu keris yang katanya paling sakti. Dibungkus pakai kain mahal, si keris ini cuma punya satu tujuan: untuk membunuh. Jika keris dikeluarkan dari sarungnya tidak untuk membunuh, keris akan marah dan melayang di malam hari untuk menumpahkan darah yang main-main dengan doi. Tanpa sepengetahuan pemilik, saya buka sarung kerisnya, saya gesekin ke ketek, lalu saya jilat sedikit mata kerisnya. Apa yang terjadi? Saya masih hidup sampai sekarang. Nggak ada keris autopilot yang gedor kamar saya setelahnya.
[Saya bukannya mau kurang ajar, ataupun tidak menghargai kearifan lokal. Saya hanya desperate membuktikan kebenaran cerita melalui first hand experience, bukan dari cerita orang lain atau kata si ini atau kata si itu. I know by doing so I was being an asshole and I won’t justify what I did by any means. I apologise]
Serangkaian kejadian di atas bikin saya makin ngga percaya dengan hal begituan. Kembali ke kasus Mama. Sebenernya semua hal mistis yang doi alami bisa dijelaskan kok dengan common sense. Look — semenjak Idul Adha tahun ini, Mama kurang bisa mengontrol kadar kolesterolnya. Yes, dia penggemar berat mutton and beef. Dan, seperti halnya kebanyakan orang Indonesia, momen Idul Adha ini berasa kesempatan pembenaran untuk hidup tidak sehat dengan makan daging-dagingan melulu. And my Mom is one of them. Ditambah lagi akhir-akhir ini Mama sering banget bepergian bolak-balik Jakarta-Jogja namun kurang istirahat dan olahraga. Ini pemicu utama stroke doi. Bukan diganduli kuntilanak atau apalah. Saat Anin ketakutan melihat Mama melirik ke kanan terus itu — that was when the stroke “prepared” to attack, bukan gara-gara kesurupan. Untuk kasus 2 mobil berbeda yang alarmnya bunyi tanpa sebab di malam Mama kena serangan stroke, ada penjelasannya juga. Saya baca artikel otomotif, ternyata banyak yang mengeluhkan hal yang sama tentang kedua mobil tersebut (both Mom and Dad’s car come from the same brand, but different type). Mobil-mobil dari merk itu ternyata alarmnya sering error saat musim hujan. So, that explains why the alarm triggered by itself: gara-gara lembab terus sensornya jadi error, bukan gara-gara lupa nglakson di jembatan angker.
Saya jadi inget ada kejadian yang kalo saya inget-inget sekarang, bikin saya ketawa sendiri. So waktu itu saya masih kerja di Jogja — dan memutuskan untuk menghabiskan malam bersama dua orang teman, sebut saja Gita dan Gilang. Waktu pulang, saya harus mengantarkan Gita sampai depan rumah karena pas itu udah malem banget, takutnya ada kenapa-napa karena si Gita ini cewek. Rumah doi itu di dalem kompleks Keraton, so kita harus parkir di pendopo dan lanjut jalan kaki. Pulangnya menuju mobil, kondisi gelap malam pekat, saya dan Gilang merasa ada sesuatu yang mengkuti kami dari belakang. Lama-lama suaranya makin kenceng. Lalu final blow: ada suara sayap mengepak diikuti suara berisik seperti barang jatuh. Nggak mikir panjang, saya dan Gilang lari sekenceng-kencengnya. Setelah agak tenang, kami coba menoleh — ternyata ada ayam yang mencoba mencok ke rak sepatu di teras rumah orang, tapi gagal terus jatuh. Kami ketawa ngakak, terus Gilang bilang, “Katanya nggak percaya hantu? Dikagetin dikit sama ayam aja takut.”
Well, on my defense, bukan ayamnya yang bikin saya takut. Namun saya takut akan pikiran saya sendiri. Itu gelap, dan di lingkungan asing — saya tidak tahu apa-apa soal daerah itu. Ketakutan dasar manusia itu kan sebenernya ketidaktahuan. Ketidaktahuan bikin kita berasumsi. Asumsi inilah yang bikin kita mikir yang enggak-enggak. Waktu itu saya mikir, ini jangan-jangan ada orang iseng yang mau ngerjain kita. Thus I decided to run. Anyways, pernah nonton game show yang judulnya Total Blackout? Ini kuis dimana kita harus nebak benda di kondisi pitch black ngga bisa ngelihat — nggak ada cahaya setitikpun, dan kita harus nebak benda dengan cara meraba, mencium, dan sebagainya. Benda yang disuguhkan itu sebenernya barang biasa kayak boneka beruang, sapu, gagang pintu, benda-benda remeh gitu pokoknya. Yang jadi nilai jual acara ini adalah kelucuan peserta yang mikir macem-macem: pas disuguhin pipa air, ada yang nebak ular lah, gergaji mesin lah, kepala orang lah — nyebutin yang serem-serem pokoknya. Dari acara ini kelihatan banget sih ketakutan dasar manusia: ketidaktahuan. Asosiasi dari ketidaktahuan pastilah otak kita mengaktifkan defense mode, lalu membuat skenario terburuk sendiri: lalu mikir yang enggak-enggak. Yang membuat orang berpikir bahwa penyakit stroke disebabkan oleh dedemit yang ngelendot, yang membuat orang berpikir bahwa alarm mobil bunyi tanpa sebab gara-gara lupa nglakson saat melintasi jembatan angker, yang membuat berpikir bahwa night myopia di malam hari adalah wewe gombel, yang membuat orang berpikir bahwa paranormal teman imajiner anak adalah nyata, yang membuat orang berpikir bahwa seekor ayam adalah pembunuh berdarah dingin yang berkeliaran di sekitar Keraton.
Our mind is a magician, actually. It has ability to trick us.
Lompat topik, saya juga sering denger orangtua mengajarkan anaknya soal metafisika sedari dini, in a bad way. Mereka membuat metafisis menjadi kambing hitam dan ancaman. Contoh ya, kira-kira sebulan yang lalu si Grace ada ketemuan ama client di sebuah mall di Jogja. Saya dan Aiden nemenin, cuma ngga nimbrung. Saya dan Aiden cari jajan sendiri di food court. Pas itu suasananya agak rame sehingga saya harus berbagi meja dengan keluarga lain. Saya ngga sengaja eveasdropping pembicaraan antara si Ibu dengan anaknya. Kalau saya terka, si anak ini nggak mau berbagi makanan sama adiknya, lalu si Ibu berkata, “Kamu ini masih kecil kok serakah sih? Mau masuk neraka ya?”
Oke, saya sadar saya ngga punya hak apapun untuk preaching soal agama disini. Anda percaya konsep surga dan neraka, silahkan. Anda percaya konsep karma, saya hargai. Namun, saya kok kurang suka cara si Ibu dengan menggunakan neraka sebagai ancaman. Ini si anak diajarkan untuk berbuat baik dibawah ancaman siksa neraka. Jatuhnya? Ya nggak ikhlas. Lha wong motivasi awal berbuat baik aja bukan untuk kebaikan. Sama halnya dengan surga kali ya — dulu jaman jaya-jayanya Twitter, banyak banget yang nulis ini di bio-nya: “God is my Lord, my religion is my life, my holy bible is my guide, my prophet is my role model, and heaven is my goal.” Seriusan sih, ngga ada yang salah dengan itu — it’s their right anyway. Tapi kasihan aja, ternyata seletah iman dan takwa, ujung-ujungnya ngemis surga. Mereka berbuat baik hanya karena heaven as a goal, bukan iman maupun takwa. I’m wondering, pernah terbesit di pikiran mereka nggak ya, gimana kalo surga ternyata nggak ada? Apa mereka tetep mau berbuat baik?
Grace:
This is not really my everyday cup of tea. Tema begini nggak terlalu bikin saya semangat menanggapi. Sering sih saya dan Adit bahas ginian. Dengan ngobrol langsung. Tapi, kalau lewat tulisan, saya malas. HAHAHAHA.
Cuman kepengin menanggapi paragraf terakhir Adit aja deh.
Somehow saya dan Adit sama-sama sepakat bahwa kami akan mengajarkan kindness pada Ubii dan Aiden tanpa harus dengan menakut-nakuti. Kalau nggak berbuat baik, nanti masuk neraka loh. Kalau nggak gini, nanti nggak masuk surga loh. Kalau berbuat begitu, nanti kena azab loh. That kind of teaching is absolutely a NAY for us.
Penginnya, kami ngajarin ke anak-anak untuk melakukan kebaikan simply karena itu... baik. Kindness leads to happiness. And happiness make us feel good and content. Dengan berbuat kebaikan, kita sendiri bakal happy kok dan barangkali bisa bikin orang lain happy juga.
Kami berharap anak-anak kami bisa menimbang dan memutuskan kenapa mereka perlu berbuat baik. We want them to be kind karena mereka ingin berbuat baik. Bukan karena takut nggak dapat kavling surga. Kami nggak kepengin anak-anak kami pamrih. Berbuat baik ke orang lain karena berharap dikasih balasan atau membidik kenikmatan surga. It doesn't seem sincere to us.
However, for this matter, we realise that we might have a different opinion. So, let's just say that we agree to disagree ;)
Anyway, request tema dong buat Diari Papi Ubii edisi #8 pliisss. Kami sedang mentok ide nih tampaknya. Bahahahhaa.
Tulisan Adit yang lain bisa dibaca di sini yah.
Love,
***
Grace:
This is not really my everyday cup of tea. Tema begini nggak terlalu bikin saya semangat menanggapi. Sering sih saya dan Adit bahas ginian. Dengan ngobrol langsung. Tapi, kalau lewat tulisan, saya malas. HAHAHAHA.
Cuman kepengin menanggapi paragraf terakhir Adit aja deh.
Somehow saya dan Adit sama-sama sepakat bahwa kami akan mengajarkan kindness pada Ubii dan Aiden tanpa harus dengan menakut-nakuti. Kalau nggak berbuat baik, nanti masuk neraka loh. Kalau nggak gini, nanti nggak masuk surga loh. Kalau berbuat begitu, nanti kena azab loh. That kind of teaching is absolutely a NAY for us.
Penginnya, kami ngajarin ke anak-anak untuk melakukan kebaikan simply karena itu... baik. Kindness leads to happiness. And happiness make us feel good and content. Dengan berbuat kebaikan, kita sendiri bakal happy kok dan barangkali bisa bikin orang lain happy juga.
Kami berharap anak-anak kami bisa menimbang dan memutuskan kenapa mereka perlu berbuat baik. We want them to be kind karena mereka ingin berbuat baik. Bukan karena takut nggak dapat kavling surga. Kami nggak kepengin anak-anak kami pamrih. Berbuat baik ke orang lain karena berharap dikasih balasan atau membidik kenikmatan surga. It doesn't seem sincere to us.
However, for this matter, we realise that we might have a different opinion. So, let's just say that we agree to disagree ;)
***
Anyway, request tema dong buat Diari Papi Ubii edisi #8 pliisss. Kami sedang mentok ide nih tampaknya. Bahahahhaa.
Tulisan Adit yang lain bisa dibaca di sini yah.
Love,
Akkk suka tulisan Adit yang ngalir, kalian berdua memang keren... semoga bisa dibukukan ya Dit. Semoga Mama cepat pulih ya gesi dan adit, aamiin..
ReplyDeleteMenakut-nakuti anak2 adalah cara lain untuk mengajarkan mereka rasa membangkang. Coba mereka dikenali dengan alasan rasional atau alasan mendasar menggunakan ilmu yang ada. Semacam, eh neraka ini gini loh, tempatnya ini dan itu. Kalo urusan ga mau berbagi terus nyemplung ke neraka, sama aja ga ngedidik cara berempati
ReplyDeleteKenapa ga ajarkan bahwa manusia itu kudu berbagi, kenapa? Kasih contoh hal lain dalam kehidupan yang nyatanya lebih luas dan rumit problemnya.
Suka banget tulisan Adit dan bikin ngakak pas baca bagian digelayuti dedemit hahaha.
ReplyDeleteSemoga mama Adit sehat trs ya
Oh ya soal konsep mengajarkan kebaikan pada anak emang sebaiknya jgn dibawah ancaman sih
keren tulisan nya....
ReplyDeleteBtw..moga cepet sembuh ya eyang uti nya ubii & aiden...
Bagus tulisannya, saya juga gak terlalu percaya yang mistis-mistis gitu.. Semoga Mamanya cepat sembuh :)
ReplyDeleteBaru pertama x baca tulisan adit and i love it, nice sharing
ReplyDeleteEmang percaya nggak percaya sih kalo soal mistis begini.
ReplyDeleteWkwkwkwkwkkw... Itu lucu sih yg adit ngeluarin ketis trs diketekin :p. Aku jg ga percaya ama hal2 mistik sbnrnya, walo jujur kdg suka ragu juga.. tp ga pengen samasekali bisa liat yg beginian :D ..
ReplyDeleteSukaa bangettt sama tulisannya ! :D
ReplyDeleteSukaa bangettt sama tulisannya ! :D
ReplyDeleteSemoga mamanya Adit lekas pulih dan sehat seperti sedia kala ya....
ReplyDeleteBacanya enak ni papa Adit, semoga mama lekas sembuh ya. Anyway busway, itu ajaran nglakson sblm jembatan di sungai besar, i did it. Dan pernah perang di mobil sama Panda krn doi lupa gak nglakson pas lewat jembatan. Trus yg disalahin eikeh yg lagi duduk syantik pegang hape, krn gak ngingetin suruh klakson. Wkwkwkwkwk.
ReplyDeleteYes, artikel ini sangat mencerahkan, bahwa takut sama hantu and the gank berasal dari pikiran sendiri..secara, rumahku tetanggaan ma makam, kalo pikiranku takut pasti gak bakalan tenang, so aku berpikir segala sesuatu bisa dilogika..TFS ya papa Ubii.. :)
ReplyDeleteyahhh salah nih baca beginian...soalnya aku penakut berat...maap ya papi ubii baca aku skip dulu, daripada nanti ga bisa tidur...hahaha...padahal siang bolong bacanya tetep aja aduhay 😂
ReplyDeleteNgakakk pas baca mas adit ngetekin kerisnya! Wkwkwkwkwkwkk
ReplyDeleteFix lah ini maa adit n mba grace duet bikin novel. ��.
Ngakakk pas baca mas adit ngetekin kerisnya! Wkwkwkwkwkwkk
ReplyDeleteFix lah ini maa adit n mba grace duet bikin novel. ��.
Aku dulu pemberani, emang gak begitu percaya ini itu, entah kenapa karena satu hal kena batunya *duh. Abis itu kok jadi penakut banget. Dan bener sih kalau ketakutan itu asalnya dari diri kita sendiri. Cumaaaaaa...sampai sekarang kalau inget kejadian itu suka merinding disko sendiri
ReplyDeleteAnak sekarang jga ada yg ga mudah percaya jika ditakut-takuti dg hal2 yg irrasional. Ketika mereka diancam kalau keluar habis maghrib ga baik, etapi most of them masih bisa menyangkal dan menimbangkan hal-hal logika yang diketahui si anak. hhhee
ReplyDeleteItu sih pengalaman waktu liat sikat keponakanku yg ditakut2i pas kluar hbis maghrib, Mami. hhee
Aku suka tulisannya ini. Hhee,, bener2 ngalir. hee
Suka banget sama tulisan mas Adit yang nge-flow dan jujur (tanpa sensor). Hahahaha. Asli loh selalu saya tunggu, tulisan mba Ges juga sama, tapi selalu tergoda buat nulis komen di post-nya mas Adit. Wkwkwkwk.
ReplyDeletePercaya ngga percaya sebenernya. Saya percaya ghaib itu ada, tapi saya ngga percaya kalo dedemit bisa ngegelayot di tubuh manusia dalam waktu yang lama, karna bangsa Jin itu energinya akan terkuras. Berusaha menjelma aja mereka bisa sekarat mati, apalagi mendekat dan nempel di manusia.
Penjelasan mas Adit masuk akal banget. Ditunggu tulisan selanjutnya.
aku juga yakin segala sesuatunya itu ada alasan logisnya kok kalau kita mau cari..
ReplyDeletetapi tetap ajalah nggak berani malam2 sendirian jalan di tempat gelap lalu ada suara2..
pasti bakal kabur juga he..he..., eh ndak taunya ayam
semua tulisan adit selalu ada sumber ilmunya,, wawasan luas amir yak,, dan ngalir gitu macam tandon air yang penuh dengan ide.
ReplyDeleteSemoga mamanya adit lekas membaik,, telus menulis dit,, go go go
Percaya gak percaya sih... Tp bbrp kali mengalami sendiri yg aneh2 mas. Jadi ya....
ReplyDeleteHantu bungkus? Buahahahaha
ReplyDeleteBagian cerita soal tukang pijit yang bikin mama lemes karena ketawa sukses bikin saya setengah mati nahan ketawa karena baca blog ini pas lagi jam kerja...
ReplyDeletetema : nikah beda agama mungkin? karena saya pelakunya juga, hehehe...
Ka adit kurang lebih kita dapet cobaan yang sama dibulan ini..awal okt mama saya juga kena stroke ini yang kedua kalinya 😭😭😭😭 dirawat 5hari karena ada penyumbatan disyaraf karena pengentalan darah, kolesterol dan darah tinggi. Penyebabnya ya gitu ga kontrol makanan setelah lebaran idul adha menu masakan dirumah mama serba daging, olahrga kurang dan kondisi tubuh jga ga bagus..sekarang masa pemulihan karena mama aku skrng susah makan,minum dan bicara. Mama ka adit bgaman kondisinya?
ReplyDeleteSemoga orang tua kita segera diberi kesembuhan dan sehat terus ya aminyarabbal allamin..
Btw aku setuju banget cara ka adit dan ka grace mendidik anak..kompak terus ya mami papi ubii dan cimol 😍😍😍