Apakah kalian tahu kejadian bullying terhadap mahasiswa autisme di kampus yang baru-baru ini viral di media sosial? Itu cukup heboh sampai ada petisi nya segala loh. Mungkin kalian sudah nonton, atau at least baca berita nya. Honestly saya tahu video itu udah lumayan lama, tapi saya pilih untuk nggak nonton. Takut kebayang dan takut emosi. And then many people were talking about it, so I finally watched the video.
As I predicted, emosi saya campur aduk. Mostly marah, marah, dan marah. Gemas. Jengkel. Dan ada pula perasaan takut, karena saya punya anak berkebutuhan khusus. As we know, anak-anak dengan kebutuhan khusus itu adalah sasaran empuk untuk dibully, baik verbal maupun fisik. Now I just feel like writing about it here.
Saya baru bisa nulis ini sekarang bukan karena dahuluin tulisan lain. Nggak. Saya baru nulis detik ini karena saya nunggu emosi saya yang meluap-luap biar reda dulu. Kalau saya nurutin emosi nulis dari kemarin-kemarin, yakin ini tulisan isinya cuman bakal kata-kata sumpah serapah.
Saya punya group yang isinya adalah para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus. Macam-macam kondisi anak-anak kami. Ada yang pakai kursi roda dan alat bantu dengan seperti Ubii anak saya. Ada yang pakai kacamata tebal karena katarak. Ada yang pakai tongkat karena buta. Ada yang autisme. Banyak.
Melihat video bullying mahasiswa autisme itu bukan hal sepele buat kami.
Kalian yang punya anak-anak yang sehat, mungkin 'hanya' kesal dan mengecam pelaku bullying. Tentu kami juga. But for us, special needs parents, it doesn't stop there. Kami jadi waswas dan sedih membayangkan kalau kelak anak-anak kami mengalami hal serupa. Kami jadi mikir kami harus melakukan apa untuk meminimalisir kemungkinan itu terjadi.
Ya kok, saya tahu betul bahwa bullying bisa terjadi pada siapa saja. Nggak harus special needs, semua anak berpotensi menjadi korban bullying. Tapi tentu kita nggak bisa menampik juga yah bahwa anak-anak yang punya kebutuhan khusus punya kans lebih besar untuk dibully.
Entah karena alat bantu yang mereka pakai, entah karena physically mereka terlihat berbeda, entah karena mereka nggak 'nyambung' diajak ngobrol, entah karena pandangan mata dan wajahnya terlihat kosong, and so many more possibilities on why they can be bullied so easily.
Adit, suami saya, nggak berkebutuhan khusus. Dia 'hanya' anak pindahan dari luar Jawa yang kemudian sekolah di Jogja, nggak bisa bahasa Jawa, secara fisik lebih kecil dari teman-teman sebayanya, dan kebetulan dateng-dateng ke sekolah baru langsung bisa ranking kelas. Hanya begitu doang, dulu dia dibully habis-habisan.
Itu kejadian lama banget semasa Adit SD, tapi bekasnya sampai sekarang. Sampai detik ini pun, kalau Adit mengenang pengalaman itu dan bahas ke saya, I can still sense his anger.
Sekarang pun kalau misal Adit ketemu teman SD yang dulu pernah bully dia di jalan, Adit masih nggak mau nyapa duluan. Sebodo amat dibilang sombong atau sok. Segitunya loh luka yang bisa dirasakan seseorang yang pernah jadi korban bullying.
Adit pernah kok menuliskan itu untuk Diari Papi Ubii. Baca lengkapnya sendiri yah.
Adit juga tahu dan nonton video bullying mahasiswa autisme itu. Dia kepikiran banget sampai dibikin status di Facebook.
Ada satu komen yang paling ngena buat saya. Dari mantan atasan Adit, Tara McGoo. She said:
In indonesia you can see bullying everywhere. It is on TV in almost every program. Opera van java? The jokes just came from bullying and hurting each other. Children grow up watching this thinking it is normal and funny. Until TV here changes it's content rules, nothing will change.
I think that's actually a good point.
Televisi. Berapa banyak dari kita yang suka nonton TV? BANYAK.
Saya pun juga suka nonton TV. But the difference is... saya jarang sekali nonton channel TV Indonesia. Saya nonton HBO, Star World, Baby TV, dan kawan-kawannya dalam keluarga TV kabel. Iya, saya juga kadang nonton acara infotainment gosip di channel TV Indonesia. Tapi itu kalau nggak sedang sama anak-anak.
Masalahnya, tidak semua orang mampu untuk berlangganan TV kabel.
Masalahnya, banyak sekali orang Indonesia yang hanya bisa dapat hiburan dari TV.
Masalahnya, kadang kita sebagai orangtua membiarkan anak nonton TV sendiri tanpa didampingi sehingga kita nggak bisa filter apa yang mereka tangkap dari TV.
Masalahnya, tayangan-tayangan TV Indonesia jauh lebih banyak yang tidak mendidik daripada yang edukatif.
Oke, ada Upin Ipin, Si Bolang (masih ada nggak tuh?), Adit dan Jarwo. Tapi itu segmen nya untuk anak-anak (walau iya memang orang dewasa juga masih ada yang suka Upin Ipin).
Anak-anak pra remaja dan remaja yang sudah malas sama tontonan anak model Upin Ipin bisa nonton apa yang bagus? Kok kayaknya nggak ada, sejauh yang saya tahu.
Berita mungkin memang informatif. Acara siraman rohani mungkin memang baik.
Masalahnya, apa iya anak-anak remaja demen nonton kaya begitu? We're talking a big number of teenagers here, ya.
Tayangan yang sifatnya lebih ringan dan lebih fun tapi cocok untuk anak remaja, apa coba? Nada! Nggak ada!
Yang bertaburan adalah lawak canda-canda macam Opera Van Java dan Fesbukers, 'reality' show macam Katakan Putus dan Rumah Uya, sinetron ibu tiri kejam dan persaingan mendapatkan perhatian cowok terkece di sekolah. Blas nggak ada unsur edukatif nya.
I can understand people's need to get entertained. Really, I can. Kelar kerja, abis ngadepin macet, abis dikasih setumpuk kerjaan, sampai rumah memang pengin nya hepi-hepi, ngakak-ngakak receh.
Masalahnya tontonan yang membuat sebagian besar pemirsa Indonesia bisa tertawa terbahak-bahak adalah lawakan yang mengarah ke bullying!
Saya nggak pernah suka nonton Fesbukers dan sebangsanya. Tapi pernah lah cobain nonton satu dua kali demi tahu apa sih yang disuguhkan di situ dan kenapa banyak banget orang yang demen.
What I heard was jokes around these things:
"Cemen lo!"
"Ngondek lo!"
"Banci lo!"
"Autis lo!"
"Cacat lo!"
"Gila lo!"
"Sakit jiwa lo!"
"Budeg lo!"
... and such. Yang ngejek fisik. Ngenyek 'kekurangan.'
Lalu para pelawak pada ketawa. Aktor/artis yang abis dikatain dengan sebutan di atas juga pada ketawa. Penonton di studio juga ketawa.
Kesan nya apa?
😡 Seolah mengucapkan hal-hal kayak gitu tuh casual.
😡 Seolah diksi-diksi itu kece dan lucu.
😡 Seolah ngatain orang dengan sebutan 'sakit jiwa' itu biasa banget dengan dalih cuman bercanda.
😡 Seolah yang ngatain itu keren karena kocak dan bisa bikin banyak orang ketawa.
Guys, do you still have any qualities that make you a human being?
Dari mana ngatain orang cacat, budeg, gila itu bisa jadi lucu?
Apa kalian nggak pernah punya keluarga, tetangga, atau kenalan doang deh yang mungkin punya anggota keluarga dengan keadaan yang kalian sebut-sebut buat becandaan?
Apa kalian nggak pernah punya keluarga, tetangga, atau kenalan doang deh yang mungkin punya anggota keluarga dengan keadaan yang kalian sebut-sebut buat becandaan?
Well... kalau belum pernah kenal sama orang yang punya autisme mungkin emang nggak ada empati-empati nya mau pakai kata autisme buat joking around. But still itu nggak bisa kalian jadiin pembenaran.
Not once in my life I laugh hearing that kind of joke.
But then again, yang kayak saya, jijik lihat tayangan macam Fesbukers itu berapa banyak? Yang langganan nonton itu jauh lebih banyak. So nothing can really change.
Para produser dan tim kreatif dunia TV di Indonesia di sini harusnya berperan. Tapi ya susah juga. Mereka pasti punya tuntutan untuk menghadirkan tayangan yang punya traffic gede. Di sisi lain, masyarakat Indonesia malah minatnya sama tontonan kayak gitu.
What a vicious circle. And I can't really find any solutions regarding that matter.
Maka saya akan melakukan yang saya bisa.
Pembaca blog saya sudah lumayan banyak sekarang. I have to speak up here.
Jadi saya mau ajak kalian yang baca tulisan ini untuk lebih punya empati.
Jadi saya mau ajak kalian yang baca tulisan ini untuk lebih punya empati.
Dan mari kita lakukan bersama dengan hal-hal sederhana dari lingkup terkecil, keluarga.
💁 Kasih tahu anak kalian bahwa di dunia ini ada bermacam-macam orang. Ada yang punya kebutuhan khusus / special needs, atau gampangnya, perlu dibantu.
💁 Kalian bisa tunjukkan itu dari buku, internet, dan gambar.
💁 Atau kalau mau gampangnya lagi, tunjukkin foto Ubii anak saya ke anak kalian. Ceritain tentang Ubii, gadis kecil yang memakai kursi roda karena belum bisa berjalan sendiri, pakai alat bantu dengar karena ada gangguan pendengaran, pakai alat bantu terapi supaya bisa mandiri. Kata-kata nya terserah kalian. Sesuaikan sama usia dan kemampuan anak masing-masing untuk memahami.
💁 Nggak cukup sampai nunjukkin itu doang. Lanjut, kasih tahu anak kalian bahwa kelak mungkin anak kalian bisa aja punya teman seperti Ubii. Entah di sekolah, di pengajian, di mana pun. Kasih tahu anak kalian kalau nanti mereka punya teman seperti Ubii, itu biasa. Ubii sama seperti mereka. Sama-sama suka main slime, suka mandi lama-lama, suka diajak ke kebun binatang, dan lain-lain. Temukan beberapa hal yang bisa kalian relate dari anak kalian pada Ubii.
💁 Tekankan bahwa Ubii sama dengan anak kalian. Beda nya hanya Ubii masih perlu dibantu karena belum bisa melakukan banyak hal sendiri.
💁 Poin sebelumnya, yaitu Ubii masih perlu dibantu, dilanjutkan ke nasihat untuk anak kalian bahwa kelak kalau punya teman kayak Ubii, maka tawarkanlah bantuan. Bantu dorongin kursi roda nya, mungkin. Atau, bantu ambilin buku dari dalam tas kalau kesulitan. And stuff.
💁 And then, watching TV. Sebisa mungkin dampingi anak saat nonton TV. Ketika ada candaan di TV yang mengarah ke bullying, langsung kasih tahu anak bahwa itu tidak baik dan jangan dilakukan. Katakan dengan tegas. Katakan dengan tidak sambil bercanda.
💁 Ketika kelak misalnya anak kalian kedapatan ngenyek teman yang berkebutuhan khusus, jangan bela anak kalian mentang-mentang anak sendiri. Salah ya salah. There's no gray area about making fun of special needs people. Ada loh orangtua yang seperti nggak terima kalau dilapori guru bahwa anak mereka ketahuan membully. Apa yang kalian mau ajarkan dari sikap seperti itu? Ketika anak kalian kedapatan jadi pelaku bullying, segera ambil tindakan. Tanya kenapa mereka membully. Nasihati. Kalau sudah berulang kali terus dilakukan, hukum kalau perlu. Bentuk hukuman ya bukan berarti yang harus kejam gimana-gimana. Sesuaikan juga sama usia anak dan level 'kebandelan' mereka.
Kok saya mendukung punishment?
Oh, memang iya kok.
Memang saya percaya bahwa anak perlu dapat teguran keras kalau mereka sudah kelewat batas.
Menghukum bukan berarti tidak sayang. Menghukum karena saya mau anak-anak saya jadi orang baik. Jauh lebih baik dari saya, I hope.
Kemudian saya menerka-nerka kemungkinan lain tentang mengapa banyak orang begitu gampangnya membully special needs kids.
It made me wonder, jangan-jangan karena orang-orang itu selama ini belum pernah mengenal dan melihat anak-anak berkebutuhan khusus, ya?
Karena kalau belum pernah lihat dan kenal, maka mungkin akan susah untuk berempati dan memahami perjuangan keluarga dengan special needs kids.
Baca: Jangan Ucapkan Ini Pada Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Baca: Jangan Ucapkan Ini Pada Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Dan itu mungkin saja kan? Apalagi masih banyak saya temui orangtua/keluarga yang punya anak berkebutuhan khusus yang cenderung menutup diri dari masyarakat.
So, for that possibility, poin ini akan saya tujukan untuk orangtua yang punya anak berkebutuhan khusus seperti saya.
👌 Ayo kita juga terlibat untuk menciptakan society yang lebih baik dan lebih terbuka menerima anak-anak kita.
👌 Kita nggak bisa hanya sedih dan menuntut agar dunia lebih baik tapi kita tidak berkontribusi apa-apa. Gabisa. Butuh banyak orang melakukan perubahan secara kolektif untuk masyarakat yang lebih inklusif.
👌 Lakukan dengan hal sederhana: Tidak menutupi keadaan anak-anak berkebutuhan khusus kita.
👌 Berbagi cerita di media sosial kita tentang keadaan mereka, alat bantu apa saja yang mereka pakai, fungsi nya apa, terapi apa saja yang mereka jalani, dan lain-lain.
Mungkin teman Facebook kita tidak banyak. Nggak akan seluruh Indonesia lihat postingan kita. Tapi saya yakin sih kalau saya, kamu, dia, kita terus-menerus konsisten berbagi tentang anak berkebutuhan khusus kita, kelak akan bikin perubahan juga pada akhirnya.
Mungkin perubahan tidak langsung se-Indonesia. Tapi minimal di lingkungan ibu-ibu sekolah atau circle ibu-ibu tetangga dulu misalnya.
Dengan kalian upload foto special needs kids kalian di Facebook, minimal teman Facebook kalian yang lihat jadi lebih kenal sama anak berkebutuhan khusus. Itu minimal. Dan bukan tidak mungkin, teman kalian yang liat itu akan cerita ke teman mereka yang lain, yang belum berteman dengan kalian di Facebook sehingga disability awareness nya akan terus berjalan.
Itu kalau hanya saya dan kamu. Coba kalau ada 20 orangtua anak berkebutuhan khusus melakukan hal ini juga. Udah berkali-kali lipat dampaknya. Coba kalau ada 50, 100, dan seterusnya. Saya percaya akan ada hasilnya. Saya percaya kita bisa berkontribusi membuat dunia yang lebih ramah untuk anak-anak kita.
Saya percaya, dan saya ajak kalian untuk percaya, lalu bergerak.
This heartwarming DM thru Instagram came to me, dari seorang anak SMA. Namanya Gabby. Gabby melihat cerita-cerita tentang Ubii di Instagram saya. Dia jadi kenal sama anak berkebutuhan khusus. Lalu dia tempel di buku PKn nya coba. Huhuhu terharu.
See? Bisa loh kita berkontribusi mengenalkan anak-anak berkebutuhan khusus dengan cara yang sederhana.
Mungkin akan ada orang yang mencibir kok kita seolah minta dikasihani atau ngumbar-ngumbar kisah anak.
See? Bisa loh kita berkontribusi mengenalkan anak-anak berkebutuhan khusus dengan cara yang sederhana.
Mungkin akan ada orang yang mencibir kok kita seolah minta dikasihani atau ngumbar-ngumbar kisah anak.
BODO AMAT!
Ketika kita melakukan sesuatu yang kita yakini benar dan untuk tujuan baik, jalan terus!
Nggak peduli orang mau nyinyir apaan, to hell with what people say.
There's a quote that I've been holding on up until now.
If you don't like the way things are, change it! You're not a tree - Jim Rohn
Itu quote simple yang sangat gampang dicerna dan dipahami. Kita ini manusia, dikaruniai akal budi untuk berpikir, merasa, dan bertindak. Maka mari bergerak mendorong sebuah perubahan.
Together.
Aku pernah sekali ngajar anak berkebutuhan khusus (tuli) dan aku bingung harus gimana cara pengajaran yang tepat. Trus sampe kepikiran sekarang, what if what if-nya. Banyak yg masih aku belum tau tentang abk. Thanks for sharing, mi!
ReplyDeleteTotally Agree!
ReplyDeleteAku juga mau didik anakku untuk aware sama ABK, peduli sama mereka dan sama sekali tidak berhak untuk membully mereka, karena kita semua sama.
Tuhan ciptain umatNya dengan segala perbedaan & keunikan masing-masing, nge-bully salah satu makhlukNya sama aja menghina Tuhan, itu menurutku.
Aku ajarin anakku dan remind orang-orang disekitarku untuk peduli & mengasihi abk dan siapapun itu, karena kita semua sama!
sebel banget banget banget sama tukang bully.
Dulu heboh perbedaan agama, PR untuk saya mengajarkan anak tentang menghormati perbedaan keyakinan. Melalui tulisan ini juga saya teredukasi untuk kelak mengajarkan anak untuk tidak membully atau membela mereka yang membully anak dengan special needs :) Thanks for sharing, mami Ubii.
ReplyDeletei do it Mami Ubii...dulu zaman kuliah sempet ngambil mata kuliah ABK...dr sana rasanya muncul empati yg sangat besar buat anak maupun org tua dgn ABK...jd pas punya anak pun sekarang selalu ngasih tau anak kalo harus aware sm ABK,harus menyayangi,care n jangan pernah mandang sebelah mata apalgi smpai ngebully karna mereka adalah hamba Allah yg spesial..
ReplyDeletetetap semangattt menyebarkan hal hal positif mami Ubiii..
salam sayang buat kaka Ubii dan Aiden
Bener mbak. Aku juga selalu sensitif kalau ada yang mandang Nia sebelah mata. Apalagi sampek terang-terangan nyindir krn nia belum bisa bicara. Bodo amat deh, gak peduli pejabat atau horang kayah, priyayi sekalipun. Aku bakal langsung kasih statement yang bikin mulut mereka bungkam. Salah sendiri gak punya rasa empati 😲
ReplyDelete*loh, kok aku jadi emosi juga ya 😑
Sampe skr aku blm nonton videonya itu ges.. Ga tega, jd aku ga pengen nonton samasekali :( . Tp ngajarin fylly ttg abk ini gampang, krn salah satu sepupunya jg ada yg begitu. Dan temen di sekitar rumahnya jg ada anak abk. Aku berkali2 tekanin, anak abk sama seperti dia, hanya saja mungkin perlu sedikit bimbingan dulu. Ga boleh diejek, ga boleh dilecehin. So far sih fylly ngerti. Nanti adeknya bakal aku ajarin hal yg sama..
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteada 1 anak ajarku (di skolah minggu) itu down syndrome, yang kulihat dr teman2nya itu sebenarnya mereka bingung bgmn menghadapinya krn emosinya ga stabil, bisa ngamuk tiba2, tapi krn mereka ada yg sudah skolah minggu bareng mulai dari balita sampai pra remaja sekarang,sekarang sudah bisa get along. ini juga menurutku krn dicontohin sama pengajar2 sih, tidak membedakan, cuma kasih perhatian lebih kalau dia mulai pegang gunting untuk ikut bikin aktivitas gunting tempel, we also constantly giving her hug when she asked. anakku yang umur 3 tahun pun tidak ada masalah untuk salaman dan ramah sama dia. iya, anak2 itu kan peniru ulung ya, jadi kita harus kasih contoh yang konkrit supaya bisa ditiru. Meskipun kami juga sering kepikiran sih, kalo di skola minggu kan cuma seminggu sekali, bagaimana dengan 6 hari sisanya. Tapi semoga ya mereka juga bisa berlaku demikian ke semua abk yang mereka kenal.
ReplyDeletepadahal kayak gini ga ada keren-kerennya ya mbak :(
ReplyDeleteSelalu syukaaaaaaa sama tulisan mami ubii 😊😊
ReplyDeleteVideo itu aku udh liat dan i swear nggak ada lucu2nya😤😤
Salut sama Mami Ubi, speechless baca tulisan ini. Ada banyak orang yg dekat sama saya, mereka korban bully di masa kecil dan teenager. Butuh waktu puluhan tahun untuk bisa keluar dari trauma bullying. Dan untuk acara Tv, please deh Masih banyak cara untuk ngelucu, stop ngelucu pakai kata2 kasar yang meledek fisik dan ujaran kebodohan . Saya juga eneg lihat acara2 komedi di TV yang isinya buka2 aib orang dan gimmick. Mba Grace readers nya banyak, semoga yg baca ini pada share semua ya. Biar makin banyak yang ngeh sama kondisi sekarang, Stop Bullying!
ReplyDeleteHai Mbak Gesi, salam kenal...
ReplyDeleteJujur saya tumbuh sebagai anak yang 'takut' sama ABK. I admit it's kinda my parents' fault.
Not until I grow up, I started to meet some special needs people and then I learn how to interact properly with them. Saya juga pernah berkesempatan interview sama beberapa ABK, dan baru detik itu saya paham, ealah ternyata ini toh anak dengan autisme.
Selama ini, saking seringnya denger ejekan autis, saya jadi salah kaprah mengira beberapa orang autis. Padahal mereka high function individual. Lha itu mah emang anaknya aktif and bandel aja, bukan autis. So yeah, that's one of many impacts of hearing bad words since I was a child. That, and very minimum awareness about special needs people back then.
Sekarang saya udah jadi ibu, anak saya seumuran Aiden, Mbak. Belajar dari masa kecil saya, saya berniat ngasi contoh cause children always mimic their parents. Yah, walaupun saya sendiri hanya beberapa kali bertemu special needs people, but at the very least, I'll teach my son to treat others, including special needs child, with respect.
Btw, aku pernah 1 event sama Mbak, mau nyapa tapi mbak udah ilang. Hhahahaha...
hai kak Gesi,
ReplyDeletei totally agree with this article.
Menurutku sih, kalo untuk anak-anak, mungkin orang tua bisa ngajarin dan mencontohkan gimana bersikap baik kepada teman, ga boleh membully atau jahatin temen, baik yang normal ataupun ABK. Sebenernya anak kan cuman bisa niru,ya.. kalo ortunya udah mencontohkan gimana bersikap baik, biasanya anaknya akan ngikut.
Cuman memang kalo menghadapi ABK, kadang aku juga masih bingung menghadapi ABK, karena ya memang ortunya semacam agak kurang terbuka. Kadang aku bingung gimana ngadepin anak ini, maunya diapain, harusnya diapain sih kalo lagi maen bareng trus rewel gitu? dst. bikos kebetulan ada beberapa adek sepupu aku yang autis, dan ortunya cuek2 aja, semacam kurang ngasih tahu ke kita gimana harusnya memperlakukan anak ini dengan baik dan benar (mengingat kadang2 anak2 ini juga kalo rewel memang membingungkan)..