Lucu juga udah 2018 dan masih ada ibu-ibu yang dengan antagonisnya bilang bahwa surganya ibu ya di rumah mendidik anak. Iya tugas ibu (dan ayah!) itu emang mendidik anak-anaknya, tapi definisi harus di rumah itu bener-bener nggak bisa dipukul rata loh.
Emangnya kita ada di level ekonomi, level kebutuhan akan aktualisasi diri, dan level kewarasan yang sama semua? Mana mungkin lah.
Ada ibu-ibu yang harus bekerja bener-bener dengan alasan ekonomi. Gaji suami kurang mencukupi padahal anaknya nggak cuman satu, misalnya. Suami kerja atau nggak kerja, rezeki pasti tetep 100% itu nggak terjadi untuk semua keluarga sih kalau saya lihat dari macam-macam keluarga.
Temen saya ada nih yang akhirnya ikutan kerja karena gaji suaminya mepet banget dan supaya mereka bisa nabung untuk dana pendidikan anak.
Baca: Tips Menabung Ibu Rumah Tangga Ala Gesi
Baca: Tips Menabung Ibu Rumah Tangga Ala Gesi
Belum kalau single mom, apa kabar kalau nggak kerja? Anak-anaknya makan apa, sekolahnya gimana, beli pakaian, susu, dan lain-lainnya gimana? Bisa tetep di rumah aja ngurus anak-anak asalkan keluarga si single mom itu bisa support financially dan/atau mantan suami memenuhi janji kasih nafkah bulanan.
Kalau misal orangtua si single mom juga keluarga sederhana lalu mantan suami suka kabur-kaburan untuk urusan nafkah bulanan, piye coba? Saya sih kebayang banget karena saya punya beberapa single mom yang sekarang harus betulan banting tulang cari nafkah.
Buat saya, ucapan-ucapan macam ibu yang baik itu ya di rumah aja ngurus anak itu, jujur yah, nggak peka sama sekali. Banyak banget soalnya ibu-ibu di luar sana yang harus bekerja demi dapur tetep ngebul.
Tugas mendidik itu di ibu, bukan di nanny atau nenek. Lhah kalo si ibu kerja sebagai TKW di luar negeri, gimana? Anaknya tiga masih kecil-kecil, apa iya mau diajak? Nggak make sense kan. Ini true story dari mantan asisten rumah tangga saya yang dulu pernah jadi TKW di Malaysia dan Arab sana.
Dulu dia tajir, tapi diselingkuhin sama mantan suaminya dan ditinggalin tanpa apa pun. Sebagai perempuan yang sempat hidup sangat berkecukupan, mendadak nggak punya apa-apa, kerjaan juga nggak ada, pun masih dipasrahin tiga anak karena mantan suaminya bener-bener kabur aja sama perempuan lain, lalu hidup berubah drastis dengan harus menjadi TKW itu ... nggak kebayang.
Baca: Everyone Has Their Own Battle
Udah hebat banget loh mantan ART saya itu nggak depresi lalu pilih shortcut untuk keluar dari masalahnya. Salut sekali, dia yang dulunya punya pegawai dari usaha suaminya bisa menekan segala gengsi dan cari duit dari enol dengan jadi pesuruh.
Baca: Everyone Has Their Own Battle
Udah hebat banget loh mantan ART saya itu nggak depresi lalu pilih shortcut untuk keluar dari masalahnya. Salut sekali, dia yang dulunya punya pegawai dari usaha suaminya bisa menekan segala gengsi dan cari duit dari enol dengan jadi pesuruh.
Apa iya masih sampai hati ngejudge bahwa dia bukan ibu yang baik hanya karena nitipin tiga anaknya ke nenek? Gila aja sih kalau masih tega.
Baca: Orangtua VS Kakek Nenek
Baca: Orangtua VS Kakek Nenek
Itu tentang kebutuhan ekonomi sehingga mau nggak mau emang ibu harus bekerja yah. Tapi alasan ibu bekerja nggak melulu karena alasan finansial. Ada juga ibu-ibu yang memilih bekerja karena butuh self-fulfilment.
Self-fulfilment /noun/ ― the fulfilment of one's hopes and ambitions.
Salah? Ya nggak lah.
Kebutuhan dan cara orang untuk menyehatkan diri itu macam-macam sekali. Dan kita perlu tahu bahwa kesehatan yang butuh dijaga itu bukan cuman kesehatan fisik semata. Kesehatan pikiran dan mental juga sama pentingnya untuk dimaintain.
Ada ibu-ibu yang 'hanya' dengan baking, ngejahit, nonton Oppa Gong Yo, bikin DIY mainan buat anak, etc di rumah sudah merasa cukup untuk bisa waras.
Baca: Me Time di Rumah Ala Gesi
Baca: Me Time di Rumah Ala Gesi
Ada juga ibu-ibu yang butuh punya whole activities yang nggak berhubungan dengan anak dan titel ibunya siapa, butuh ngobrol sama orang lain selain kang sayur dan suami, butuh menuangkan talenta dan expertise nya untuk bisa waras.
Who are we to judge?
Apa dengan kerja 8-4 di kantor, juggling sama laporan setumpuk, bikin target ini itu bikin mereka lupa kalau mereka punya anak? Kan nggak. Tetep lah ngecek-ngecek ke daycare atau ke nanny, anak lagi apa, udah makan belom, semalem abis flu lalu sekarang bisa bobo siang nggak.
Baca: Aiden Kena Flu Singapura
Baca: Aiden Kena Flu Singapura
Kemudian ada pertanyaan, dengan kita memilih jadi ibu bekerja dengan apa pun alasannya, apa yakin semua rupiah larinya ke kebutuhan anak? Nggak ada blas yang untuk kebutuhan pribadi?
Ya emang apa yang salah kalau pakai gaji sendiri buat traktir diri sendiri? Emang jadi ibu artinya nggak boleh kepengin nabung untuk beli barang atau makanan yang bisa bikin diri seneng?
Ya emang apa yang salah kalau pakai gaji sendiri buat traktir diri sendiri? Emang jadi ibu artinya nggak boleh kepengin nabung untuk beli barang atau makanan yang bisa bikin diri seneng?
Nggak boleh ninggal anak, nggak boleh punya keinginan, nggak boleh pakai uang untuk tujuan menyenangkan diri sendiri ― ini ibu nya manusia apa malaikat yak.
HEHEHEHEHEHE.
Baca: Ibu Boleh Mengeluh Kok
Saya selalu bilang bahwa walau udah jadi ibu, jangan lupa bahagiakan diri sendiri juga supaya tetep waras, kemudian supaya bisa ngasih atmosfer yang positif ke anak-anak di rumah. Karena kesehatan mental itu ngaruh ke mood dan itu terproyeksikan ke anak-anak.
Apa itu cuman prinsip ngawur yang nggak ada dasarnya?
NO.
Itu yang bilang justru hipnoterapis, psikolog, dan psikiater kok.
Saat saya ada di titik terendah, entah itu capek berantem terus sama Adit, desperate mikirin Ubii, atau pernah juga karena bener-bener shocked waktu tahu hamil lagi sampai nangis-nangis terus, saya ngerasa butuh bantuan orang lain. Saya sadar saya butuh cerita sama orang yang lebih expert.
Waktu berantem terus sama Adit sampai hampir cerai, kami ikut hipnoterapi. Saat galau dan down mikirin masa depan dan progress Ubii, saya curhat ke beberapa temen yang psikolog (lumayan, konsul gratis wkwk). Pas gila ga siap banget hamil lagi, saya nangis doang di depan obsgyn, akhirnya dikasih rujukan ke psikiater.
Baca: Depresi di Masa Itu ― It's Ok, But Let's Handle It
Semuanya bilang apa? Apakah mereka bilang saya harusnya menerima, legowo, dan ikhlas karena toh ini adalah peran, tanggung jawab, dan ujian saya sebagai istri dan ibu?
NGGAK ADA YANG BILANG GITU.
Instead, mereka suruh saya untuk mengambil waktu sendiri dan melakukan hal-hal yang bisa bikin saya semangat menjalani kehidupan lagi. Baru setelah itu, mereka dorong saya untuk kemudian bikin list hal-hal yang bisa saya syukuri dan hal-hal yang perlu diperbaiki secara bertahap.
Saya paling inget perkataan dari hipnoterapis nya. Beliau bilang kaya gini ke saya dan Adit:
Sesungguhnya, jadi orangtua yang menghasilkan anak-anak yang bahagia itu butuh stress-manegement yang baik. PR untuk punya stress-management yang baik akan berkali-kali lipat lebih urgent karena kalian punya anak dengan kondisi spesial. Jangan lupa senangkan diri kalian juga. Alokasikan waktu khusus untuk pacaran berdua-duaan, saling memuji, saling bercanda, menumbuhkan dan mempertahankan spark di antara kalian. Tidak semua waktu dan energi kalian harus untuk anak karena kalian juga punya kebutuhan untuk diri sendiri.
Baca: Our Experience, Hipnoterapi Pasutri
Gitu, gengs. Itu yang bilang expert loh. Psikolog sama psikiater yang pernah saya curhatin juga encourage untuk membahagiakan diri sendiri kok.
Hubungannya sama ibu yang bekerja dengan alasan fulfilment dan ibu yang pakai duitnya untuk traktir diri sendiri, apa?
Ya berarti itu adalah cara mereka untuk menyenangkan diri mereka as a person. Makan di Pepperlunch, beli sepatu Everbest, borong outfit di H&M, atau nyalon asal mereka pakai duit mereka sendiri nggak minta sama kita ya biar aja lah. Nggak mengalokasikan 100% gaji untuk kebutuhan anak sama sekali nggak ada hubungannya dengan nggak sesayang itu sama anak.
Baca: Feeling Pretty with Hair Color (Sorry Narsis Dikit, Ea)
Pun, bisa aja mereka pakai gaji buat traktir diri sendiri supaya nggak perlu minta ke suami biar rupiahnya suami bisa buat bayar kontrakan, belanja bulanan, tagihan bulanan, and such. Minta suami salah, beli sendiri juga salah. Gimana.
Baca: Istri Punya Penghasilan Sendiri, Yay Or Nay
Lagian, lucu ih. Bilangnya membahagiakan anak itu nggak dilihat dari materi yang pasti tetap 100% walau ibu nggak bekerja, tapi ada ibu bekerja yang pakai gajinya buat beli dompet bagus dan nggak save semua gaji untuk kepentingan anak kok ngejudgenya berarti dia nggak sesayang itu sama anaknya sendiri. Itu berarti nganggep materi yang berupa gaji ibu sebagai tolak ukur rasa sayang ke anak juga dong.
*blunder* 😂
Saya percaya setiap ibu punya kondisi dan kebutuhannya masing-masing dan itu sah-sah aja. Bebas, asal bertanggungjawab. Mau pakai gaji buat beli dompet baru ya bebas, asal pos kebutuhan anak emang udah aman. Dan hitung-hitungan itu biarlah jadi urusan mereka. Nggak perlu kita ngurusin dapur dan dompet orang lain.
Baca: Kantong Orang dan Kantong Kita
Saya ini masuk ke kategori yang mana ya? Saya cari duit mostly bisa dilakuin dari rumah. Tapi Aiden tetep saya daycare-in walaupun saya cuman di rumah plus masih hire nanny. Oh maka dari itu sekarang ada term working at home mom yah. Okay, that makes sense.
Baca: What They Think About Full Time Bloggers And What Really Happens
Dengan status working at home mom, saya ngabisin waktu sama anak lebih banyak dari ibu-ibu pekerja kantoran. Saya bisa jemput Aiden jam berapa pun saya mau tanpa harus nunggu jam pulang kantor. Tapi apa berarti saya lebih keibuan dan ibu yang lebih baik ketimbang buibu di luar sana yang kerja di kantor pagi sampai sore bahkan maghrib? NGGAK.
Yok deh, buibu yang bekerja dari rumah dan/atau buibu yang tidak bekerja karena memilih untuk mendidik anak-anak dengan tangan kalian sendiri tanpa tangan nanny dan nenek, ayo kita lebih sayang sama temen-temen kita yang kerja kantoran.
Niat kalian berbagi kepedulian dengan mengunggah cerita-cerita minus atau pengalaman nggak menyenangkan tentang pengasuh atau daycare, kalau endingnya untuk memuliakan pilihan kalian stay di rumah, itu bikin ibu-ibu pekerja sedih tahu nggak. Coba cari group yang isinya ibu tidak bekerja. Nah, di situ bebas mau membenar-benarkan status ibu rumahan sampai kayang juga.
Kalau sekarang statusnya adalah ibu rumahan yang tidak bekerja namun bosan dan ingin kembali kerja, coba diskusikan sama suami. Kalau memang masih belum memungkinkan untuk balik kerja, coba cari win-win solution bareng suami. Supaya jatuhnya nggak jadi nyinyirin temen-temennya yang kerja kantoran karena ada lubang di hati.
Baca: Bosan Jadi Ibu Rumah Tangga
HEHEHEHE.
Postingan ini diselipi dengan promosi, nantikan yah buku saya duet sama Icha tentang motherhood. Bakal ada satu bab yang judulnya The Struggles of Stay At Home Mom & Working Mom. Seperti beberapa bab yang lain (lahiran vaginal & operasi, daycare & nanny, endebre-endebre), saya dan Icha memasukkan dua kacamata. Sengaja, biar bisa ngerangkul ibu-ibu dengan aneka cerita dan pilihannya. Semoga!
Mohon bersabar. Publishnya rada molor dari timeline karena ada satu dan lain hal --> diplomatis sekali, Gesi kali ini. LOL.
Jadi, perempuan seperti apa yang pantas disebut ibu?
SEMUANYA.
Yang sehari-hari pakai daster dan yang pakai blazer.
Yang pakai sandal jepit dan yang pakai high heels.
Yang ngasuh pakai 10 jari sendiri dan yang pakai 20 jari sama nenek.
Yang lahiran lewat vagina dan yang lewat perut.
Yang brojol di kasur dan yang brojol di air.
Yang ngasih makanan rumahan dan yang ngasih makanan kemasan.
Yang bikinin mainan dari barang-barang bekas dan yang beli mainan di mall.
Yang ngasih gadget dan yang ngasih buku cerita.
Yang dipanggil dengan sebutan ibu, bunda, mama, mami, umi, ummu, mimi, dan bubu, bukan om, pakdhe, dan paklek.
#KRIK
Jadi, surga di telapak kaki ibu yang mana?
....
....
....
Nggak tahu. Tapi, yang saya tahu adalah, bukan menjadi kemuliaan kita untuk menentukan seseorang akan beroleh surga atau tidak.
Let's just try our best to be a good mom for our kids, with our OWN standards.
Happy International Women's Day 2018!
Luv,
HEHEHEHEHEHE.
Baca: Ibu Boleh Mengeluh Kok
Saya selalu bilang bahwa walau udah jadi ibu, jangan lupa bahagiakan diri sendiri juga supaya tetep waras, kemudian supaya bisa ngasih atmosfer yang positif ke anak-anak di rumah. Karena kesehatan mental itu ngaruh ke mood dan itu terproyeksikan ke anak-anak.
Apa itu cuman prinsip ngawur yang nggak ada dasarnya?
NO.
Itu yang bilang justru hipnoterapis, psikolog, dan psikiater kok.
Saat saya ada di titik terendah, entah itu capek berantem terus sama Adit, desperate mikirin Ubii, atau pernah juga karena bener-bener shocked waktu tahu hamil lagi sampai nangis-nangis terus, saya ngerasa butuh bantuan orang lain. Saya sadar saya butuh cerita sama orang yang lebih expert.
Waktu berantem terus sama Adit sampai hampir cerai, kami ikut hipnoterapi. Saat galau dan down mikirin masa depan dan progress Ubii, saya curhat ke beberapa temen yang psikolog (lumayan, konsul gratis wkwk). Pas gila ga siap banget hamil lagi, saya nangis doang di depan obsgyn, akhirnya dikasih rujukan ke psikiater.
Baca: Depresi di Masa Itu ― It's Ok, But Let's Handle It
Semuanya bilang apa? Apakah mereka bilang saya harusnya menerima, legowo, dan ikhlas karena toh ini adalah peran, tanggung jawab, dan ujian saya sebagai istri dan ibu?
NGGAK ADA YANG BILANG GITU.
Instead, mereka suruh saya untuk mengambil waktu sendiri dan melakukan hal-hal yang bisa bikin saya semangat menjalani kehidupan lagi. Baru setelah itu, mereka dorong saya untuk kemudian bikin list hal-hal yang bisa saya syukuri dan hal-hal yang perlu diperbaiki secara bertahap.
Saya paling inget perkataan dari hipnoterapis nya. Beliau bilang kaya gini ke saya dan Adit:
Sesungguhnya, jadi orangtua yang menghasilkan anak-anak yang bahagia itu butuh stress-manegement yang baik. PR untuk punya stress-management yang baik akan berkali-kali lipat lebih urgent karena kalian punya anak dengan kondisi spesial. Jangan lupa senangkan diri kalian juga. Alokasikan waktu khusus untuk pacaran berdua-duaan, saling memuji, saling bercanda, menumbuhkan dan mempertahankan spark di antara kalian. Tidak semua waktu dan energi kalian harus untuk anak karena kalian juga punya kebutuhan untuk diri sendiri.
Baca: Our Experience, Hipnoterapi Pasutri
Gitu, gengs. Itu yang bilang expert loh. Psikolog sama psikiater yang pernah saya curhatin juga encourage untuk membahagiakan diri sendiri kok.
Hubungannya sama ibu yang bekerja dengan alasan fulfilment dan ibu yang pakai duitnya untuk traktir diri sendiri, apa?
Ya berarti itu adalah cara mereka untuk menyenangkan diri mereka as a person. Makan di Pepperlunch, beli sepatu Everbest, borong outfit di H&M, atau nyalon asal mereka pakai duit mereka sendiri nggak minta sama kita ya biar aja lah. Nggak mengalokasikan 100% gaji untuk kebutuhan anak sama sekali nggak ada hubungannya dengan nggak sesayang itu sama anak.
Baca: Feeling Pretty with Hair Color (Sorry Narsis Dikit, Ea)
Pun, bisa aja mereka pakai gaji buat traktir diri sendiri supaya nggak perlu minta ke suami biar rupiahnya suami bisa buat bayar kontrakan, belanja bulanan, tagihan bulanan, and such. Minta suami salah, beli sendiri juga salah. Gimana.
Baca: Istri Punya Penghasilan Sendiri, Yay Or Nay
Lagian, lucu ih. Bilangnya membahagiakan anak itu nggak dilihat dari materi yang pasti tetap 100% walau ibu nggak bekerja, tapi ada ibu bekerja yang pakai gajinya buat beli dompet bagus dan nggak save semua gaji untuk kepentingan anak kok ngejudgenya berarti dia nggak sesayang itu sama anaknya sendiri. Itu berarti nganggep materi yang berupa gaji ibu sebagai tolak ukur rasa sayang ke anak juga dong.
*blunder* 😂
Saya percaya setiap ibu punya kondisi dan kebutuhannya masing-masing dan itu sah-sah aja. Bebas, asal bertanggungjawab. Mau pakai gaji buat beli dompet baru ya bebas, asal pos kebutuhan anak emang udah aman. Dan hitung-hitungan itu biarlah jadi urusan mereka. Nggak perlu kita ngurusin dapur dan dompet orang lain.
Baca: Kantong Orang dan Kantong Kita
Saya ini masuk ke kategori yang mana ya? Saya cari duit mostly bisa dilakuin dari rumah. Tapi Aiden tetep saya daycare-in walaupun saya cuman di rumah plus masih hire nanny. Oh maka dari itu sekarang ada term working at home mom yah. Okay, that makes sense.
Baca: What They Think About Full Time Bloggers And What Really Happens
Dengan status working at home mom, saya ngabisin waktu sama anak lebih banyak dari ibu-ibu pekerja kantoran. Saya bisa jemput Aiden jam berapa pun saya mau tanpa harus nunggu jam pulang kantor. Tapi apa berarti saya lebih keibuan dan ibu yang lebih baik ketimbang buibu di luar sana yang kerja di kantor pagi sampai sore bahkan maghrib? NGGAK.
Niat kalian berbagi kepedulian dengan mengunggah cerita-cerita minus atau pengalaman nggak menyenangkan tentang pengasuh atau daycare, kalau endingnya untuk memuliakan pilihan kalian stay di rumah, itu bikin ibu-ibu pekerja sedih tahu nggak. Coba cari group yang isinya ibu tidak bekerja. Nah, di situ bebas mau membenar-benarkan status ibu rumahan sampai kayang juga.
Kalau sekarang statusnya adalah ibu rumahan yang tidak bekerja namun bosan dan ingin kembali kerja, coba diskusikan sama suami. Kalau memang masih belum memungkinkan untuk balik kerja, coba cari win-win solution bareng suami. Supaya jatuhnya nggak jadi nyinyirin temen-temennya yang kerja kantoran karena ada lubang di hati.
Baca: Bosan Jadi Ibu Rumah Tangga
HEHEHEHE.
Postingan ini diselipi dengan promosi, nantikan yah buku saya duet sama Icha tentang motherhood. Bakal ada satu bab yang judulnya The Struggles of Stay At Home Mom & Working Mom. Seperti beberapa bab yang lain (lahiran vaginal & operasi, daycare & nanny, endebre-endebre), saya dan Icha memasukkan dua kacamata. Sengaja, biar bisa ngerangkul ibu-ibu dengan aneka cerita dan pilihannya. Semoga!
Mohon bersabar. Publishnya rada molor dari timeline karena ada satu dan lain hal --> diplomatis sekali, Gesi kali ini. LOL.
Jadi, perempuan seperti apa yang pantas disebut ibu?
SEMUANYA.
Yang sehari-hari pakai daster dan yang pakai blazer.
Yang pakai sandal jepit dan yang pakai high heels.
Yang ngasuh pakai 10 jari sendiri dan yang pakai 20 jari sama nenek.
Yang lahiran lewat vagina dan yang lewat perut.
Yang brojol di kasur dan yang brojol di air.
Yang ngasih makanan rumahan dan yang ngasih makanan kemasan.
Yang bikinin mainan dari barang-barang bekas dan yang beli mainan di mall.
Yang ngasih gadget dan yang ngasih buku cerita.
Yang dipanggil dengan sebutan ibu, bunda, mama, mami, umi, ummu, mimi, dan bubu, bukan om, pakdhe, dan paklek.
#KRIK
Jadi, surga di telapak kaki ibu yang mana?
....
....
....
Nggak tahu. Tapi, yang saya tahu adalah, bukan menjadi kemuliaan kita untuk menentukan seseorang akan beroleh surga atau tidak.
Let's just try our best to be a good mom for our kids, with our OWN standards.
Happy International Women's Day 2018!
Luv,
Setuju 1000%, setiap ibu punya perjuangannya masing-masing. sesama perempuan harusnya saling support, bukan saling nyinyir. Saya sampe belajar dari suami untuk nggak mudah baper sama omongan orang, karena susah ngatur mulut orang lebih baik mengatur hati sendiri biar nggak gampang baper.
ReplyDeleteHoreeeee :D Keren deh gesi
ReplyDeleteSurga ada di setiap telapak kaki ibu, ibu mana pun yaa. Hehe. Yang penting jadi Ibu yang baik dulu buat anak.
ReplyDeleteSepakat semuanya mba Gesi, seperti membaca isi kepalaku selama ini yang mengganjal, seperti membaca curahan hatiku selama ini sebagai ibu yang kerja. Aku kena label ibu yang mentingin gawe dan menantu jahat, jangan ditanya sakitnya gimana?sementara mereka yang melabelkan seperti itu beda kondisinya. Membandingkan apel dengan jeruk mau sampe kapan Upin Ipin tumbuh rambut juga ga akan bisa.
ReplyDeleteIntinya gak perlu menilai diri lebih baik dari orang lain atas keputusan kita...
ReplyDeleteKarena isi dapur rahasia dompet..ya cuma orang itu yg tau..
Mata punya keterbatasan untuk menilai..
Semua ibu punya surga di telapak kakinya selama iya ikhlash menjadi ibu..dan membahagiakan anak2nya dengan cara yg baik..
Love this post so much. Stop banding-bandingkan pilihan. Toh, ibu akan selalu menjadi ibu no matter what.
ReplyDeleteSetuju banget mbak Ges yang ini Let's just try our best to be a good mom for our kids, with our OWN standards. Tenang banget bacanya. Jadi semangat ��
ReplyDeleteKerennnnnnnn .mb gesssss 👍👍👍👍
ReplyDelete"love more, less judges, lets rock motherhood togethers" love that words.
ReplyDeletetulisan yang menyenangkan dan menenangkan sekali mami ubi, mudah-mudahan semua perempuan terutama yang sudah bertambah peran menjadi istri dan ibu bs saling mendukung apapun pilihannya..
Suka dg kalimat "Apa iya masih sampai hati ngejudge bahwa dia bukan ibu yang baik hanya karena nitipin tiga anaknya ke nenek?" Bener banget, kadang orang mudah menyalahkan seorang ibu yg menitipkan anak2nya ke nenek. Padahal toh dia, belum tentu bisa sekuat dan sewaras dari orang yang dikatain begitu.
ReplyDeleteMami Ubii, saya tadi sedikit depresi, saat googling blog ini gak nemu-nemu.
ReplyDeleteDan ternyata salahnya ada diiiii gracemilea 😂😂😂
Aku lgs ketawa pas baca judulnya, dari kaki sebelah mana :p. Hahahahaha, poinnya kena banget ges. Cm yaaa, aku blm ada baca nih di grub ku, ato timelineku ttg perang antara ibu2 bekerja ato rumahan, ato yg menjudge kalo ibu bekerja ga baik. Cm percaya lah, kalo sampe di grub ato di timelineku keluar hal2 begitu, dengan seneng hati orangnya bakal aku tendang dr friend list ku :p. Males punya temen yg suka menilai ngawur orang lain tanpa dia sendiri tau kondisi sebenernya -_-
ReplyDeletePerdebatan memang pasti selalu ada, tinggal kita aja yg harus pandai memposisikan diri, mau netral atau ikut berdebat di salah satu kubu. Tapi aku maunya netral aja ah #cariaman hahaha. Btw, aku penggemar berat mba Gesi dan ka Icha, ga sabar bgt nunggu buku kalian, aaaaaaaa
ReplyDeleteEntah mengapa hal ini masih selalu jadi perdebatan. Menurut saya judgement seperti itu keluarnya dari ibu-ibu yang memang cukup secara finansial. Jadi mereka enggak tahu gimana tuh rasanya kalau keluarga yang penghasilan dari bapaknya anak-anak enggak cukup. Sedangkan zaman kini semua anak harus sekolah, kalau perlu di sekolah terbaik.
ReplyDeleteSaya bukan ibu bekerja kantoran, semula saya juga berpikir bahwa seorang ibu memang lebih baik di rumah, mengurus rumah, menjaga dan mendidik anak di rumah. Tapi pada akhirnya saya sadar, bahwa itu mungkin berlaku untuk diri saya sendiri. Belum tentu cocok diterapkan di keluarga lain yang memiliki kondisi masing-masing.
Melihat kehidupan saya yang begini, banyak teman-teman yang bilang "gue juga pengen kayak elo, ngurus anak di rumah". Tapi sampai sekarang mereka masih bekerja aja dan belum kesamapaian sama mimpinya itu. Mungkin memang belum saatnya atau dirasa berkurangnya jumlah rupiah yang mereka terima kelak justru akan menjadi beban baru, sementara anak sudah pada masuk sekolah.
bener banget kak, saya setuju. setiap keluarga itu pasti ada perjuangannya dan ga boleh di judge seenaknya
ReplyDeleteKemudian yang suka bilang lebih baik di rumah akan selalu bilang, "Gimana-gimana tetap ibu di rumah yang paling mulia."
ReplyDeleteSesungguhnya kunci pintu hatinya di mana? Udah dibantu cari masih belum kebuka.
Ah, adem sekali baca ini. Sebagai working mom yang harus ninggalin Jasmine sama neneknya, gak sekali dua kali deh dihujat. Tapi,memang aku kerja karena dari segi financial. Walau dalam islam setiap orang sudah punya rizkynya masing-masing. Namun, jika usaha sekarang dapat menambah rizky untuk masa depan,kenapa tidak? Terpenting tidak menelantarkan anak. Sepulang kerja masih bisa maen. Weekend juga bisa dimanfaatkan dengan baik bersama anak.
ReplyDeleteDitunggu loh mba, bukunya.
Aku mewek baca ini, pas PMS sih :(
ReplyDeleteMenjaga kewarasan dan kebahagiaan itu supaya stabil emang susah ya, perlu banget stress management yang baik kaya kata mami. Aku masih harus belajar banyak soal itu. Soalnya mudah terombang-ambing hehe
Btw aku tunggu banget bukunyaaaaa...
salt likit
ReplyDeletesalt likit
dr mood likit
big boss likit
dl likit
dark likit
EQPFFW
I’m a long time reader but I’ve never been compelled to leave a comment.
ReplyDeleteGreat blog, thank you so much for sharing with us.
ReplyDeleteI just want to let you know that I just check out your site
ReplyDeleteI really appreciate your efforts and I will be waiting for your next post thank you once again.
ReplyDeleteBig thumbs up for making such wonderful blog page!
ReplyDeleteYou could certainly see your enthusiasm in the article you write.
ReplyDeleteIt was so bravely and depth information.
ReplyDelete