Halo! Sekarang saya sedang di Ambon, tujuan terakhir project Sentuhan Cinta. Jam 6 sore di sini, kebetulan team sedang mengajarkan pijat bayi ke bidan desa dan saya di hotel. Nanti saya baru join lagi untuk ketemu 2 ibu setelah mereka selesai. Jadi saya punya sedikit waktu untuk ngeblog.
Pengin banget berbagi cerita dari Sumba Tengah yang saya kunjungi akhir bulan kemarin, masih dalam rangka project Sentuhan Cinta. Yang belum tahu, bisa baca postingan saya sebelumnya ya.
Kalau cerita seputar kebiasaan para ibu di Tanah Batak, udah saya ceritain yah di stories. Bisa cek, udah saya highlight pakai Tapanuli Utara yah.
Tentang Sumba Tengah, di blog aja karena lagi pengin ngetik di laptop.
Seperti yang sudah saya ceritakan di instastories, saya begitu salut sama ibu-ibu yang lahir dan tinggal di Tapanuli Utara. Mereka tangguh, rutinitas mereka berat (menurut saya), karena ngapa-ngapain sendiri dengan sangat mandiri. Mulai dari bangun pagi, urus kerjaan rumah tangga, urus anak, lalu menggarap sawah atau ladang, semua sambil gendong anak di punggung pakai selendang.
Makin tough lagi karena bisa dibilang semua pekerjaan mengurus rumah dan anak itu mereka lakukan sendiri tanpa bantuan suami. Bagi orang Batak kan laki-laki itu sangat dimuliakan. Jadi masih semacam haram hukumnya kalau suami pegang sapu bersih-bersih. Mau minta tolong sama suami untuk bagi tugas, mana lah berani? Bisa-bisa diguyur air sama mertua, or even worse, dikembalikan ke orangtua dan diminta balik maharnya. FYI, most moms di sana tinggal serumah sama mertua.
Kebayang kan betapa tough nya ibu-ibu di Tanah Batak ini?
Yang membuat saya amazed adalah karena walaupun mereka hidup dengan sangat sederhana, namun mereka punya cita-cita yang begitu tinggi untuk buah hati mereka. Semua ibu yang saya interview bilang bahwa anak-anak mereka itu minimal sampai kuliah lah. Dan, mereka juga menyebut harapan seperti misal berharap anaknya jadi dokter, guru, polisi, etc, profesi-profesi yang bagi mereka mendefinisikan ungkapan 'jadi orang.'
Ketika sampai di Sumba Tengah dan bertukar cerita dengan beberapa ibu (termasuk suaminya), jujur aja pada awalnya saya sempet 'kok hanya begini aja' ya?
Saya nggak yang dengan sengaja bermaksud membanding-bandingkan. Tapi, coba deh, ketika kamu abis ketemu ibu-ibu yang sangat berapi-api menceritakan harapannya untuk anak di tengah kewajiban istri dan ibu yang sangat banyak, kemudian ketemu ibu-ibu yang kalau ditanya apa harapannya untuk anak itu jawabnya hanya dengan 'terserah anak aja' lalu end, itu feelnya langsung menurun.
Setelah ngobrol dengan beberapa ibu di Sumba Tengah, saya menangkap kesan bahwa harapan mereka ke anak tidak sepowerful dan sebesar ibu-ibu di Tapanuli Utara. Banyak ibu di Sumba Tengah yang saya ngobrol itu 'hanya' tamatan SMP dan SMA. Tapi ya mereka nggak yang langsung nyebut, misalnya, "Pengin anak sampai kuliah, jangan hanya SMA seperti saya."
Saya harus banyak memancing dan mengubah-ubah pertanyaan dengan diksi lain, baru pelan-pelan mereka bisa menggambarkan harapan mereka untuk anak. Proses menggali cerita di Sumba Tengah buat saya lebih challenging ketimbang di Tapanuli Utara.
Walau saya heran kenapa kok harapan dan mimpi mereka pada anak terkesan 'cuman gitu doang' dan seperti kurang mau jor-joran untuk anak, tapi somehow yakin there must be a reason, yang saya belum dapet jawabannya.
Thank God, akhirnya dapet pencerahan dari temen saya, Nita.
Jadi, gini ceritanya. Nita itu adalah temen SMA saya di Salatiga. Dia memang asli Sumba. SMA di Salatiga, kuliah kedokteran di Jakarta, lalu kembali untuk mengabdikan diri di kampung halamannya. Sekarang, Nita kerja di RSUD Sumba Tengah. Saat saya di sana, Nita nyempetin untuk nyamperin. Duh senengnya!
Nita cerita banyak tentang adat dan tradisi turun termurun orang Sumba, yaitu belis. Belis adalah semacam mahar atau seserahan yang biasanya dalam bentuk hewan ternak seperti kuda, kerbau, atau babi. Sebelumnya, saya udah denger tentang belis ini dari para ibu yang saya temui. Tapi Nita cerita dengan jauh lebih detail.
Saya kira ngasih belis itu hanya sekali. Ternyata nggak! Proses menikah itu ngasih belisnya 3x. TIGA KALI, gengs! Kali pertama saat keluarga laki-laki datang untuk memperkenalkan diri. Kali kedua adalah saat keluarga laki-laki mempersunting. Kali ketiga adalah untuk menandakan si laki-laki ini akan membawa perempuan untuk tinggal bersama.
Macam kuda, kerbau, dan babi itu padahal nggak murah kan. Dan jangan kira ngasihnya cuman 1-2 loh. Bisa sampai 7, 10, 15, 20, dll loh bayangkan. Jumlah belis ditentukan oleh keluarga besar perempuan dengan berembuk dan dengan perhitungan mereka sendiri. Konon, kata Nita, jumlah belis yang diterima calon mempelai perempuan jangan sampai jauh lebih rendah daripada belis yang diterima oleh ibu si perempuan dulu.
Jadi misal, saya cewek Sumba yang mau nikah. Dulu Mama saya terima belis 30 ekor hewan. Ya, belis saya maksimal 30 sama dengan Mama saya, atau boleh lebih sedikit tapi nggak boleh jomplang banget. Nggak boleh tuh kalau terus saya nerima cuman 3 ekor, itu terlalu jomplang.
Bayangkan, misal Papa saya kaya raya jadi tidak susah untuk 'membeli' Mama saya dengan 30 ekor hewan untuk belis nya. Lalu calon suami saya tidak kaya raya, gimana nggak pontang-panting calon suami saya cari bantuan sana sini?
Baca: Menikah Beda Kasta Dan Urusan Mertua
Baca: Menikah Beda Kasta Dan Urusan Mertua
Orang Sumba mengenal sistem arisan untuk saling bantu perkara belis ini. Jadi, katakanlah, calon suami saya nggak sanggup menyediakan 20 ekor untuk belis. Dia akan cari pinjaman dulu dari kawannya. Katakan, si Joni, punya 2 kerbau dan minjemin dulu ke calon suami saya ya. Nah, besok-besok, ketika Joni butuh 2 ekor untuk belis, ya suami saya udah harus bisa menyediakan untuk bayar hutangnya dulu.
Apa cuman sampai situ saya nganga? NGGAK. Masih ada.
Kata Nita, urusan belis ini NGGAK HANYA saat mau nikah aja, tapi juga saat ada kedukaan atau urusan keluarga. Itu anak perempuan yang 'ketiban pulung' nya.
Misalnya, saya punya dua kakak yang semuanya laki-laki lalu saya udah nikah nih sama Adit. Saya satu-satunya anak perempuan.
Kelak, saat orangtua saya meninggal (kedukaan), maka saya lah yang wajib menyediakan hewan ternak. Ketika kakak laki-laki saya ada yang mau menikah, saya wajib nyumbang belis. Pokoknya, circle kewajiban memberi belis itu tidak berhenti.
Karena dibayangi kewajiban akan belis terus (atau untuk bayar hutang belis sebelumnya), jadi otomatis ya ketika mereka punya uang, maka belis itu ada pos dana nya tersendiri. Dan biasanya alokasi pos dana untuk belis ini cukup besar. Lebih gede untuk ini malah, ketimbang untuk pendidikan anak kayaknya, kalo kata Nita.
Buat orang Sumba, ketika tiba kewajiban belis dan mereka gabisa memenuhi itu kan yang malu banget gitu loh. Dan emang mereka setia sama adan dan tradisi yang satu ini. Sampai Nita bilang intinya hidup orang Sumba tuh berat di belis lah, adat nya 'membunuh' lah, dan semacamnya. Dan ketika saya googling belis, hasil yang muncul juga senada, seperti adat yang 'mencekik leher' and such.
Lantas kaitannya dengan harapan dan usaha untuk masa depan dan pendidikan anak?
Baca: Sekolah Penting Nggak Sih?
Baca: Sekolah Penting Nggak Sih?
Ya bisa disimpulin kan. Kasarnya, gimana mau mikirin banget nabung buat pendidikan anak, punya rencana masa depan anak yang tinggi kalau masih berkutat sama circle bayar belis all the time? Gitu kata Nita, temen saya, yang emang asli Sumba ya. Bukan sekedar merantau ke Sumba.
―
―
Begitu tahu, saya bener-bener kaget. Nggak nyangka sampai segitunya adat dan tradisi mempengaruhi gaya hidup dan rencana ke depan. Bagus sih ya, kita menjaga adat leluhur, biar nggak semuanya kegerus roda masa. Tapi kalau sampai bikin 'kecekik' gini sih, huhu, speechless.
Dan makin menegaskan saying, "Everything happens for a reason' ya.
Yaudah gitu dulu. I've gotta go heheh. See youuu!
Love,
Dan makin menegaskan saying, "Everything happens for a reason' ya.
Yaudah gitu dulu. I've gotta go heheh. See youuu!
Love,
aku speechless kak, ternyata kesusahan mereka beda bentuk aja ya ama yg di tapanuli sana
ReplyDeleteBaru tahu juga ada adat kayak gini Ges.Sebelumnya cuma tahu adat suku Batak yang jor-joran juga.Jadi kepikiran juga.Mungkin krn hidup di kota jadi tuntutan adat ng seketat kalo di desa.Ng ribet n kompleks.Sedih kalo dana ng bisa tersimpan gara2 kewajiban belis ini.Betul kata Gesi..Everything happens for a reason..
ReplyDeleteSaya sempat penelitian tesis di daerah Sumba Barat Daya dan melihat bagaimana sodara kita disana struggling utk memenuhi belis
ReplyDeleteapalagi host saya ketika itu, memiliki tiga orang anak laki
memang miris sekali rasanya ketika tradisi tdk berpihak pada kemajuan generasi penerusnya
sy bahkan mendengar istilah 'budaya yg memiskinkan' karena kewajiban belis dan keperluan upacara lainnya
semoga kelak ada jalan tengah ya, Mami Ubii
thanks for sharing
review
EditAnonymous said...
Saya sempat penelitian di daerah Sumba Barat Daya dan melihat bagaimana sodara kita disana struggling utk memenuhi belis
apalagi host saya ketika itu, memiliki tiga orang anak laki
memang miris sekali rasanya ketika tradisi tdk berpihak pada kemajuan generasi penerusnya
sy bahkan mendengar istilah 'budaya yg memiskinkan' karena kewajiban belis dan keperluan upacara lainnya
semoga kelak ada jalan tengah ya Ges
thanks for sharing
June 4, 2018 at 2:09 PM
Please prove you're not a robot
di Jambi di beberapa desa masih begitu juga mba Ges. Memang memberatkan apalagi hidupkan bukan cuma tentang hajatan kan. Harusnya adat begini perlu dimsuyawarahkan lagi oleh para ketua adat agar tidak memberatkan masyarakat.
ReplyDeletengomong2 berapa banyak galon yang mbak bisa temukan disana? hehe
ReplyDeletesaya nggak kepikiran, macam mana orang batak ketemu orang sumba/flores.. dua daerah ini, bagi saya yang sudah sering berkawan, adalah kalo punya jokes sering bikin saya tertawa.. :)
Maaf ya, untung aku bukan orang Sumba. Bisa habis deh hidupku kalau sehari-harinya cuman mikirin belis, belis, belis. Itu seperti tanggungan utang yang tiada henti.
ReplyDeleteAku ingin tahu bagaimana pendidikan sudah berhasil membebaskan sebagian warga dari cara berpikir yang hanya belis oriented ini :)