Wednesday, November 28, 2018
Parenting Self-Talk
Satu hal untuk menggambarkan punya anak, menurut saya, adalah roller-coaster. Kadang terhibur karena tingkah anak kok ya lucu amat. Kadang puas karena anak makin pinter dan bikin saya ngerasa "Wow, aku berhasil ngajarin dia!" Kadang terharu karena anak sweet sekali, bisa ngerti kapan saya sedih.
Ada juga momen-momen di mana saya ngerasa mendidih. Aduh saya lagi meriang kok anak 'berisik' terus dan susah makan. Momen saya nggak yakin, udah bener belum ya cara ngajarin ini. Fase sedih karena kelepasan marah sama anak karena saya nya yang lagi dealing sama masalah saya sendiri.
Baca: Ibu Boleh Mengeluh Kok
But despite all of those, I really enjoy being a mom. Parenting a special need daughter like Ubii memang, jujur saja, belum bisa saya nikmatin dengan penuh keikhlasan. Tapi parenting Aiden, yang sehat pada umumnya, is such a joy.
Menjadi orangtua mendorong saya untuk terus merefleksi dan mengevaluasi diri sendiri. It is something I wouldn't bother to do when I was single back then. Sekarang semuanya berbeda. Saya jadi punya semacam motivasi untuk jadi pribadi yang lebih baik. Demi diri sendiri, dan demi bisa memberi contoh yang cukup baik untuk dipegang anak-anak.
Note:
Tulisan ini triggered dari direct messages di Instagram yang ngomenin (kemudian curcol, lol) blogpost saya Berdamai Dengan Masa Lalu. Ternyata cukup banyak yang cerita pengalaman dididik terlalu keras sama orangtuanya, jadi pendiam atau bandel, dan somehow tanpa sadar jadi ngulang parenting style orangtua jaman dulu ke anak, kemudian khawatir akan bikin anak trauma juga seperti mereka ke depannya. Takut rantainya nggak putus.
Kalau belum baca tulisan yang itu, mending baca dulu kali ya biar bisa relate sama tulisan ini.
Minggu lalu abis share tentang self-talk yang related to social media di Instagram, kalau mau baca ada di post yang ini yah gengs.
―
Menjadi orangtua kadang memberikan extra material untuk khawatir dan mempertanyakan diri sendiri. Khawatir apakah saya akan bisa memilih sekolah yang tepat buat Aiden, atau mempertanyakan keputusan saya in daily parenting itu 'hanya' satu hal.
Btw, tentang pilih sekolah, saya abis bikin postingan sendiri. Hasil dari materi seminar yang saya datengin berjudul Sudah Tepatkah Pilihan Sekolah untuk Anakku. Isinya tentang salah kaprah dalam pilih sekolah, langkah-langkah pilih sekolah, hal apa saja yang perlu diobservasi, dan list pertanyaan untuk ditujukan ke sekolah. Plus bonus printablr school survey sheet. Baca di sini ya: Tips Memilih Sekolah + Printable School Survey Sheet
But deeper, I wonder, apakah kira-kira ada perbuatan atau ucapan saya yang akan melukai hati anak-anak dan membekas sebagai kepahitan di masa yang akan datang?
Itu adalah ketakutan terbesar saya sebagai orangtua: Melukai dan menanamkan trauma tanpa saya sadari yang ketika saya akhirnya sadar, it has become a little too late to fix.
Kalian juga pernah nggak ngerasa gitu? Kalau iya, hugs. I guess it's a normal thing. Segala pertanyaan dan kekhawatiran kita itu nggak membuat kita jadi orangtua yang buruk. It just proves that we are humans.
There is never a long term steadiness in being a parent. Some time, we do great. Another time, we just mess it up. Some other time, we wish it were easier to handle.
One thing I'm certain of is this: Let's keep re-evaluating ourselves.
Yakin pada diri sendiri itu baik. Tapi kadang kita juga perlu membuka kesempatan untuk instrospeksi diri, dalam konteks parenting, supaya kita bisa menelaah apa yang mempengaruhi gaya parenting kita dan apa yang perlu dilakukan untuk lebih baik lagi.
Mari tanyakan ini pada diri sendiri:
1) Adakah perbuatan / ucapan orangtua yang bener-bener membekas di hati dan somehow belum bisa maafkan sepenuhnya?
2) Adakah ganjalan yang masih perlu diperbaiki sama orangtua?
3) Hal-hal apa saja yang dilakukan orangtua yang bikin kita senang dan sedih? Coba ingat lagi momen dan perasaan yang muncul.
4) Apakah style parenting kita sekarang somehow seperti mengulang yang dulunya dilakukan orangtua ke kita? In a good or 'bad' way?
5) Selama ini, most of the time, apakah stress mempengaruhi bagaimana kita memperlakukan anak? Kalau iya, stress yang seperti apa? Stress yang disebabkan oleh hal apa? Hubungan dengan suami? Pekerjaan? Aktualisasi diri? Etc.
6) Bagaimana kita memandang anak kita? Sebagai pribadi mereka sendiri, atau sebagai bentukan karakter yang kita inginkan?
7) Saat menemani anak, mostly, kita bener-bener 'ada' dan bersama mereka atau hanya duduk bersama tapi kita sambil melakukan hal yang lain?
8) Apakah kita mau menerima kenyataan bahwa kita bukan orang yang tahu segalanya dan mau menyempatkan waktu untuk cari tahu tentang parenting and everything in between? Entah dari ikut seminar baik online atau offline, baca artikel, baca buku, etc?
9) Apakah kita terbiasa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan anak dengan prinsip "Because mom knows best" sehingga kurang memberi ruang bagi anak untuk menentukan pilihan, mengemukan pendapat, dan mengekspresikan keberatan/penolakan mereka?
10) Seberapa sering kita berpikir, "Ah, anak kecil mah tau apa sih" dan dalam konteks apa saja biasanya?
Ayo luangkan waktu untuk menanyakan 10 hal itu ke diri kita. Perhatikan poin mana yang paling 'menyentil' kamu. Ada kah? Kalau ada, jangan abaikan. Bisa jadi, itu adalah area yang masih perlu kita benahi.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini nggak akan ngerubah hidup kita dalam semalam, dan bukan jaminan parenting journey kita akan jadi mudah. Tapi yang jelas, ini akan kasih kesempatan kita untuk pause sejenak dan reflektif.
Jangan sepelekan manfaat self-talk dan self-awareness. Menyadari ada yang perlu dibenahi itu langkah pertama dari usaha bertransformasi untuk jadi lebih baik. Dan ketika finally kita bisa memulai perubahan yang baik, anak-anak kita akan ikut dapat manfaatnya kok.
Baca: Mengenali Diri Sendiri
To sum up, parenting is NOT about being always right. It is a lifelong learning process where we celebrate our success in one time, realise our mistakes, move on, and learn. On repeat. And it is about letting our kids know that their parents are just human who make errors, but love them very much for who they are.
Mangats,
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kalau aku malah tidak mau mengulang cara didikan ortu dulu, karena aku gak mau anak-anak terluka seperti aku dulu. Walau blum bisa jadi ortu yang sempurna juga sih
ReplyDeleteSama :)
DeleteMba gesiii.. Kalo aku ya, misal ada perilaku ortuku yg gak sreg di aku, sekarang aku suka 'nyindir' lewat wa.. Dulu dulu gak berani.. Pas kuliah ini berani speak up. Sopan gak sih? Hehe thx sharingnyaa ❤❤
ReplyDeleteLama ga baca blog ciges krn sibuk ini ono.. sekalinya baca slalu nandes, this is what im thinking about. Bbrp kali masih ada rasa sakit ketika momen dejavu datang, tp aku slalu berusaha buat nggak mengulangi yg terjadi dimasa kecilku. Dan yg paling penting slalu minta maaf sm Zac klo kelepasan ngebentak.
ReplyDeleteYa ampuuunnn, saya kelewat postingan yang ini!
ReplyDeletePas juga dibaca saat lagi capek, sakit kepala, anak ga mau tidur, padahal besok harus ujian, heeehhhhhh...
Saya sudah sering banget baca, bahkan berulang kali postingan Gesi tentang memaafkan masa lalu, tentang masa kecil Gesi, tentang didikan orang tuanya.
Dan belajar banyak mencoba menerapkan ke dalam hidup sendiri.
Karena masa kecil saya sendiri jauh lebih menyedihkan dari masa kecil Gesi hiks.
Bapak yang galak, suka marah, suka bentak, suka ngancam, harus juara 1.
Mama yang seolah mengatakan pada saya, kalau ibu adalah malaikat pelindung itu hanya isapan jempol.
Mama terlalu sering mengabaikan kami, saat dipukul bapak, beliau diam saja.
Bedanya, Gesi bisa melampiaskan ke luar.
Seolah balas dendam karena tekanan itu, kalau saya malah gak pernah.
Justru semua tekanan itu melekat, dan sampai sekarang jadi ibu saya lumayan depresi, antara takut mengulang semua polah asuh orang tua saya, dan juga separuh hati kadang membenarkan semua tindakan bapak yang galak banget itu.
Anak yang suliiittt banget mendengarkan kata saya.
Ditambah sayanya emang dari sononya gak sabaran.
Saya jadi bingung mau jawab semua pertanyaan di atas.
Tapi makasih banyak postingannya.
Sudah saya copas di note Hape, dan akan saya coba jawabin berkali-kali, sampai saya sedikit tahu, seperti apa sebenarnya saya saat ini.
Kadang saya mikir butuh psikiater.
Eh bentar, mengapa saya curcol panjang banget ya di sini.
Gak puas curhat terselubung di blog sendiri, eh kenapa malah nambahin curhat di blog orang ya? hahahaha...
Btw thanks postingannya.
Berarti banget buat saya :')