Saya baru bener-bener ngerasa dampak nggak asyik dari media sosial itu beberapa bulan terakhir ini. Dulu saat anak masih Ubii doang dan sampai Aiden masuk daycare, saya belum menganggap media sosial bisa toxic untuk kewarasan saya. Mungkin karena belum banyak bikin keputusan in parenting Aiden, dan ya kalian rikuh kalau ngomenin parenting style saya ke Ubii bcoz she's special needs.
Baca: Anak Cacat Yang Dipelihara Negara
But when it comes to Aiden who's 3 years old now, ternyata keputusan atau pilihan parenting kadang jadi dipertanyakan, especially related to daycare.
Saya lumayan sering stories foto Aiden di daycare. Suka banyak yang nanya Aiden daycare di mana karena tertarik juga. Tapi banyak juga yang kemudian nanya,
"Mba kayaknya daycare Aiden kecil ya. Emangnya nyaman?"
"Mba Gesi kenapa ga masukin Aiden ke daycare Montessori padahal kayanya Mba Gesi mampu?
"Ci Ges ke XXX aja, jauh lebih bagus. Kayaknya lebih pas buat Aiden"
I was like, wow who are you really to tell me where I should put my son?
Saya meletakkan Aiden ke daycare yang ini dan masih bertahan ya artinya saya DAN Aiden senang. Also means that I trust the daycare and it works well for us. Kalau secara finansial saya mampu bayar daycare yang lebih luas dan lebih Montessori, bukan berarti lantas saya HARUS melakukan itu.
Baca: Suka Duka Menitipkan Anak Di Daycare
Ketika ditanya hal-hal semacam itu, saya sih nggak jadi mengkaji ulang keputusan saya taroh Aiden di daycare, nggak kemudian insecure juga karena saya memang udah mantap dan cocok sekali sama daycare Aiden yang sekarang. Nggak insecure tapi kesel. Lol.
Tapi ternyata pertanyaan-pertanyaan kaya begitu bisa bikin orang insecure loh. At least itu terjadi sama beberapa ibu yang curhat ke saya di DM.
"Aku abis baca sharing si X tentang sekolah. Jadi galau Mba Ges. Apa aku kurang berusaha untuk urusan pendidikan anakku ya? Pengin sih sebenernya sekolah Montessori yang bagus tapi mahal banget. Aku belum bisa nabung. Gaji suamiku sekian, aku juga masih butuh dana nyalon lah Mba Ges biar waras. Apa menurut Mba Ges aku egois?"
Beberapa yang DM curhat itu more or less begitu curhatannya. Benang merahnya semua sama: abis lihat seseorang share tentang pilihan sekolah untuk anaknya, kemudian jadi mempertanyakan keputusan diri sendiri.
Membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang kondisinya 11-12 aja nggak fair. Apalagi kalau membandingkan diri sendiri sama orang lain yang beda banget hidupnya? Si X anaknya cuman satu, yang curhat di DM anaknya ada yang 2 dan 3. Si X tinggal sendiri, sementara yang DM hidup seatap sama mertua yang dia bilang rada nyebelin. Udah beda banget dong. Level kebutuhan finansial beda, level kewarasan sehari-hari juga beda. Why on earth should you compare yourselves with anyone so different like that?
Baca: How To Deal With Mertua Ngeselin?
Kalau ditanya apakah seorang ibu egois atau tidak 'hanya' karena masih butuh dana buat nyalon atau ngopi cantik biar tetep waras, saya selalu berdiri di standpoint saya: TIDAK EGOIS. Karena buat saya (artinya, kamu boleh punya opini berbeda) kewarasan seorang ibu itu sangat krusial. Dan buat saya, menjadi ibu bukan berarti lantas semua-mua-muanya harus untuk anak.
Baca: What Does Being A Mother Mean To You?
Kalau mampunya 'hanya' di sekolah biasa yang tidak Montessori, ya sudahlah. Nggak apa-apa. Kita bisa ajak anak berkegiatan di rumah juga kok dengan prinsip Montessori. Di internet sungguh banyak panduan dan ide kegiatannya kalau memang mau menyempatkan diri untuk browsing dan baca-baca.
Baca: 10 Ide Kegiatan Montessori Di Rumah
Mungkin menurut si X definisi terbaik adalah di ranah pendidikan dengan memasukkan ke sekolah unggulan. Ya sah-sah aja si X punya definisi itu. TAPI, kita juga sangat sah-sah aja kalau punya definisi 'memberikan yang terbaik' sendiri, yang sesuai sama kondisi dan kapasitas kita.
Kita adalah pribadi yang merdeka. Tidak perlu harus ikut si A, B, C, sampai Z untuk mendefinisikan arti yang terbaik dan arti menjadi ibu yang baik. Let's have our own definition of motherhood and everything in between.
Kalau memang masih ada waktu nabung untuk mengincar sekolah unggulan karena toh anak baru akan masuk sekolah masih 2-3 tahun lagi, go ahead. Tapi lhah kalau anak udah terlanjur punya sekolah, ya sudah.
Baca: Sekolah Penting Nggak Sih?
Insecure atau jadi meragukan keputusan diri sendiri ini nggak cuman tentang pilihan daycare atau sekolah, tapi bisa ke banyak hal lain. Ke pilihan mainan, pakaian, snack, pola makan, argh. Melihat sharing orang lain di social media ternyata bisa bikin insecure sendiri, apalagi kalau yang sharing kayaknya ceritanya yang baik-baik terus. Jadi mempertanyakan mengapa hidupnya (tampak) less bumpy or maybe, iri.
Kunci agar tidak insecure karena sosmed salah satu nya adalah jangan buka sosmed di saat hati kita lagi nggak stabil, lagi capek, lagi penat sama hidup. Kalau gatel banget ngesosmed, buka post-post cerita kemanusiaan aja atau video lucu-lucu. Karena kalau udah capek sama masalah sendiri, masih ditambah kelelahan lain ngeliat hidup atau pilihan orang yang tampak ideal ya capeknya dobel.
Ketika sudah bikin keputusan mau nyekolahin anak di mana blablabla, yaudah yakinin aja. Bismillah, berdoa dilancarkan. Biar nggak gampang insecure saat lihat orang lain share tentang sekolah ideal menurut dia. Toh semua orang berhak lah share opini dan cerita mereka.
Dan btw ya, nulis ini saya jadi introspeksi diri juga kalau postingan saya pernah bikin kamu ngerasa insecure, galau, sedih, atau apapun itu. Sebenernya sering sih saya ngerasa gitu, terutama kalau abis sharing tentang marriage. Jadi suka ada yang DM macam "Enak ya punya suami kaya mas Adit, suami aku mah gak mau dengerin blablablabla"
HUHUHU.
Padahal kayaknya tiap sharing itu saya masih selalu nekanin kalau saya dan Adit masih sering berantem loh dan kami pasangan yang jauh jauh jauh dari ideal. But yaa I can't control what you would think after reading my posts sih, gimana dong.
Kembali ke insecure liat pilihan atau hidup orang lain, saya pernah nggak? Pasti lah pernah. Entah karena orang itu menjalani hidup yang jadi mimpi saya jaman dulu (kerja kantoran, punya jabatan bagus, bisa sering traveling abroad) atau ya simply karena sengak dan arogan abis aja yang kayaknya pilihan dia paling maha benar HAHAHA. Kemudian ya simply hide aja profilenya biar nggak perlu lihat postingan-postingan dia lagi. At least sampai saya sudah bisa memenangkan insecurity di dalam hati saya.
Baca: Feeling Small Sucks
So what I'm trying to say is... ngerasa insecure saat lihat post orang lain di media sosial itu lumrah, menurut saya. Apalagi kalau kita lagi bad mood or just having a bad day. Tapi ya kita yang bakal capek sendiri kalau terus-terusan mudah insecure. Orang yang bikin kita capek nggak rugi, kita yang rugi. Jadi ya batasi aja pakai sosmed kalau udah selelah itu, dan follow orang-orang yang bikin kita ngerasa positif, not the other way around. Socmed can be toxic ketika kita nya sendiri sedang fragile.
And as parents, mari membuat keputusan untuk anak dan keluarga kita dengan memakai standard, kemampuan, dan kapasitas diri kita masing-masing. Bukan pakai standard orang lain. Hanya karena orang lain tampak lebih keren dan meyakinkan, serta jumlah followers lebih banyak dari kita, bukan berarti lantas kita harus mengikuti semua yang dia lakukan.
Baca: Kantong Orang Dan Kantong Kita
Setelah baca sharing dari orang lain yang tiru-able, ambil waktu untuk refleksi. Tanya dulu sama diri sendiri, kalo kita ngikutin prinsip/pilihan dia, masuk nggak? Cocok nggak sama kantong, prinsip atau karakter anak / suami / keluarga, dll? Then, after that, we can decide.
Believe in your judgment, believe in yourself.
Mangats!
Baru kemarin aku bikin blog post ttg kelelahanku salah satunya krn socmed ��
ReplyDeleteJust take a deep breathe.. mojok dulu diem dulu. Penat kadang ga sehari dua hari. Menyadari bahwa I am just perfectly imperfect mom. Tp yg paling mengerti kebutuhan keluarga dan anak ya siapa lagi klo bukan kita sendiri �� btw PERTAMAX nih haha
Well written bangeeeetttt, Gesi!
ReplyDeleteTengkyu tengkyu tengkyuuuuu
wah suka sama postingan ini mba ges..thanks for sharing.. btw mari kita berterimakasih karena instagram membuat fitur "mute".. :p
ReplyDeleteKalau saya suka insecurenya sama yang post foto liburan. Sedangkan saya kudu nyiapin dana ini itu jadi nggak bisa liburan dulu, wkwkwk. Kalau sudah parah, off dulu main IG kira-kira seminggu.
ReplyDeleteKadang bukan orang yg di socmed yg toxic tapi kebiasaan membandingkan diri. Mungkin kitanya udah bersyukur, tapi masih suka bandingin diri dan ga yakin akan pertimbangan pribadi. Jadinya melempem dan nyungsep ke bumi. Emang bawaan emak2 sih, biasanya hatinya butuh diteguhkan hehehhe.
ReplyDeleteHuhuhuu kok jadi ketoyor :(
ReplyDeleteBeberapa waktu lalu lagi hectic bgt sama kerjaan, mood swing parah lalu liat socmed lgs bikin down banget sampe kumat vertigo semingguan lebih ga sembuh2. Akhirnya ku uninstall aja lah semua socmed. Senggang ya bersih2 rumah, baca buku, jajan di mall, hangout sama temen, main ama anak etc. Insecurities sometimes can lead to mental breakdown and depression... thankfully, udah better skrg :D
Sosmed ini memang bisa jadi "toxic" di saat kita lagi di kondisi nggak stabil. Suamiku bawel banget kalo aku udah megang henpon, scrolling feed IG tiada henti. Dia bilang aku sering kepikiran yang nggak-nggak gara-gara ngecek sosmed, which is true sih ): makanya main sosmed sekarang harus ekstra bijak, yaa.
ReplyDeleteSalah satu tips yang aku pakai utk mengurangi rasa iri kalo lihat postingan orang lain di socmed, I tell myself: "Yang diposting itu pasti yang bagus-bagusnya aja. Untuk bisa dapet foto yg instagrammable, mungkin tuh orang bisa ambil foto 10x, cuma kepake 1. Yang 9 dibuang.
ReplyDeleteBegitu juga cerita tentang keberhasilan anak, doyan makan sayur dll.. tapi kalau dia habis teriak2 dan cubirin anak, emang bakal diposting di socmed?
Ya enggak lah. But believe me, kejadian yang ngga enak kayak gitu pasti pernah terjadi. Siapa sih yg hidupnya bisa sempurna 100%?
Bener ya mba, selama suami rido kita harus pede karena kita yang tau kondisi dan kebutuhan😆
ReplyDeleteKalau aku mood lagi gak enak mending gak buka sosmed takut jadi baper, mending buka e-commerce ajah hehe. Eh tapi kadang aku suka iri koq suamiku gak seasyik mas adit, tapi dipikir lagi ya sudah lah saya menerima suami saya apa adanya, daripada menerima suami orang *ehhh hihihi
ReplyDeleteKarena mereka pingin merasa superior tapi ga punya wadah. Kadang ibu2 juga butuh pengakuan dunia kalo dia udah pinter, cantik, soleha, pinter ngerawat suwami dan anak2nya, welas asih suka berkorban dan panjang sabar, kreatif pula. Sayang mereka bingung cari pengakuan begituan darimana, kan udah susah2 berkorban ga ada yang muji, bete juga kali. Jadi mereka ngarep dari temen2nya, eh pada ga ngeh pula kalo ngarep compliment, makanya dikritik pisan. hehehe
ReplyDeleteSarkas ya ges....Abisnya aku jg sering digituin.
Anaknya sama siapa di rumah?
Sama baby sitter.
Aduuuuuh, apa ga takut ya anak lucu2 gitu ga dijaga sendiri?
Enggak juga, lahir procot udah langsung aku titipin suster, trus aku nya kerja :)
Aku..sampe muaknya sama sosmed, jd IG aku uninstal hampir 4 bulan. Dan ngerasa lebih secure dan bahagiaaaaaa dan kuotaku irit mba ges..
ReplyDeleteMending donlot drama korea drpd scroll IG bikin insecure mulu 🤗
Kdg gitu sih, tp selalu aku tekanin, prioritas tiap org beda. Jadi gk bisa sama apalagi masalah pilih sekolah.
ReplyDeleteAku tipikal yg sosmed cm bwt kerja jrg posting2 kehidupan karena gk mau dikomenin, wkwkwk.