Monday, June 24, 2019

Privilege

Kita sempet dibikin terkagum-kagum ketika Maudy Ayunda share kabar gembira diterima di dua universitas bergengsi dunia: Harvard dan Stanford. Kemudian, opini yang mengiringi adalah Maudy punya privilege. Bahasan tentang privilege Maudy sudah ditulis sama Puty dengan bagus, jadi baca tulisan Puty aja ya di sini.


Lanjut, saya jadi merenungkan privilege. Atau bisa kali ya kalau saya sebut dengan kemudahan.

Berhubung biasanya saya cuma mikir hal-hal yang dekat dengan hidup saya sebagai istri dan ibu, maka kemudahan-kemudahan yang kebayang ya yang di situ-situ aja.

Menurut saya, privilege tidak melulu translated as money, or wealth.

Dalam lingkup lebih dekat, privilege untuk seorang ibu bisa saja berupa suami yang mendukung hobi dan passion istri, suami yang mau berbagi tugas, dan suami yang dengan sukacita kasih istrinya waktu untuk me-time. Bisa juga berupa kehadiran nanny/ART, atau ketersediaan daycare yang sesuai kebutuhan kita.

Tentang daycare atau preschool, untuk bisa pilih yang sesuai, masalahnya nggak selalu di uang loh. Talk about mereka yang banyak duit tapi tinggal di luar Jawa di mana pilihan daycare/preschool sangat terbatas. Ada satu kenalan saya yang uang nggak jadi masalah, tapi preschool di daerahnya hanya dua biji. Satu preschool khusus agama mayoritas (meanwhile she doesn't belong to majority), satu lagi preschool konvensional yang kegiatannya hanya drilling dan drilling terus, padahal kenalan saya ini ngajarin anak-anaknya di rumah pakai metode Montessori. Kebayang dong segimana nggak sregnya dia sama preschool yang drilling-based activities.

Baca: Montessori Yang Bukan Segalanya

Privilege, kalau mau diarahkan ke kemampuan menabung (which is money related), juga bisa berbeda-beda. Tanpa bicara tentang jumlah anak dan dengan gaji yang anggap saja sama, pasangan yang hanya menghidupi keluarga kecil suami-istri-anak tentu kemampuan menabungnya lebih besar ketimbang pasangan yang perlu kirim uang ke orangtua di kampung atau membantu biaya sekolah adik-adiknya.

Kemampuan menabung ini kemudian bercabang ke banyak hal lain seperti kemampuan beli/cicil rumah, kendaraan, kegiatan pengembangan diri berbayar, aktivitas me-time yang butuh uang, sekolah anak, dan lain-lain, silakan ditambah. Standard akan jadi berbeda, waktu yang dibutuhkan untuk reach saving point juga pasti nggak sama.

Bicara pengembangan diri. Banyak sekali perempuan yang bisa punya achievement ini itu setelah berstatus istri dan ibu. Vice versa, banyak juga perempuan yang nggak bisa. Bukan karena nggak kepengin atau nggak punya uang untuk belajar atau modal usaha, tapi karena suaminya nggak kasih ridha. Uang bisa dicari  dan dikumpulkan pelan-pelan kalau memang tekad sudah bulat. Tapi kalau kendalanya di suami melarang, ya mau apa? Opsi berpisah juga bukan pilihan mudah kalau istri nggak punya penghasilan. Apalagi kalau 'jeleknya' suami 'hanya' nggak mengizinkan istri berkarya sementara semuanya baik-baik saja. Nafkah lahir batin jalan, sayang sama anak-anak, rajin ibadah. Mulut julid be like, "Ah kamu aja yang kurang bersyukur kali punya suami sebaik itu. Kan yang penting suami nggak mukul dan nggak main perempuan."

Baca: Diari Papi Ubii #25 ― How To Cope With Love Affair

Anak yang sehat itu juga privilege, menurut saya. Setelah tujuh tahun jadi ibu anak berkebutuhan khusus dan hampir empat tahun punya anak yang sehat pada umumnya, I can feel the real difference.

*

Mencoba menyadari privilege diri sendiri dan privilege orang lain, buat saya, dibutuhkan. Untuk bisa menakar kemampuan dan usaha dengan rasional. Untuk menghindari iri-iri yang nggak ada ujung pangkalnya. Untuk bisa memperhitungkan sejauh mana saya bisa berusaha. Terakhir, untuk tahu mana hal bisa saya ubah dan mana yang sudah di luar kuasa saya karena tiap orang pasti punya limit masing-masing.

Melihat privilege orang lain itu masih dalam batas sehat selama itu bisa kita jadikan motivasi dan reminder realistis. Misalnya dalam hal menabung seperti contoh di atas. Kalau kita memang masih punya kewajiban bantu biaya sekolah adik-adik, maka menabunglah lebih awal untuk biaya sekolah anak sendiri. Sedikit-sedikit nominalnya, nggak apa-apa, but start earlier. Menabung untuk biaya SMP anak mulainya sudah sejak anak masih TK, misalnya. Karena kalau baru nabung setahun sebelumnya, ya pasti terasa berat dan nggak sanggup.

Baca: Tips Menabung Ibu Rumah Tangga Ala Gesi

Akan masuk batas nggak sehat, menurut saya, ketika melihat privilege orang lain lalu bikin kita nggak bisa mengakui keberhasilan orang lain. Lantas menjadi, "Alah, yaiyalah dia bisa, wong blablablabla" untuk semua keberhasilan yang dia achieve, yang kemudian menjadi alasan untuk selalu cari celah bahan kritikan di tiap keberhasilan orang tersebut. Karena sebenarnya, terlepas dari privilege apa pun, semua tetap punya usahanya masing-masing kok.

*

Melihat apa yang saya lakukan sampai saat ini, saya merasa I've earned it. But on the other hand, saya juga nggak akan deny bahwa memang saya punya beberapa privileges. Suami yang selalu support dan kasih izin, nanny yang bisa dititipin anak-anak, dan orangtua/mertua yang nggak membatasi saya untuk berkembang.

Itu juga penting, menurut saya: menyadari apa saja privilege diri sendiri. Supaya kita tidak menjadi manusia sombong yang merasa paling all out berusaha dan jadi mengecilkan orang lain dengan, "Kamu kurang berusaha." Karena ya kadang usahanya sama besar pun, kalau kita punya certain privilege, pasti result nya tetep beda sama yang sama sekali nggak punya kemudahan, kan.

*

Ini postingan nganggur lama amat, btw. Udah saya tulis sejak Maudy Ayunda galau Harvard vs Stanford tapi lalu lupa nerusin. Sekarang mau nerusin kok udah nggak kepikiran, tapi sayang nggak dipublish. Halah #RIBET.

Ya gitu kurang lebih ya. Share opini kalian juga dong, gengs.



Luv,




12 comments:

  1. Mba grace, kenalanmu itu di sangatta bukan? Heheh

    ReplyDelete
  2. Setuju bangetttt!

    Saya kadang merasa "terbeban" karena harus menghidupi (full menghidupi lho yah, bukan cuma bantu) orang tua dan adik kakak saya di kampung. Dari 3 anak, cuma saya yg kerja. Sering kalo lihat teman2 yg bisa jalan2 ke luar negeri, saya berpikir, "Sebenarnya aku juga bisa begitu kalau uang bulanan yg kukirim ke kampung bisa kutabung."
    Trus saya mikir.. ya iyalah temen saya itu bisa jalan2 ke luar negri, lha wong ortunya tajir, rumah dibeliin ortu.

    Penghasilan kami mungkin tidak beda jaug tapi gaya hidup beda jauh krn saya punya tanggungan 4 mulut yg musti dikasih makan.

    Tapi kalo dipikir2 sebenarnya saya juga byk punya privilege dibanding teman2 yg lain. Anak saya sehat, suami baik. Bisnis saya berkembang.

    Kadang saya cuma perlu ditabok. Nah baca postingannya Gessi ini tabokan yg saya perlukan.

    ReplyDelete
  3. Udah baca duluan postingannya Mba Puty dan waktu itu juga jadi mikir banget, dan langung merasa bersyukur bisa menikmati kehidupan sekarang ini. Akan selalu ada yang lebih/di atas kita, yang di atas pun ada yang lebih lagi, jadi kuncinya di "bersyukur" aja sih ya (:

    p.s. kalo lagi down, ya susah kok untuk bersyukur, pasti ada intention untuk ngiri dengan pencapaian orang lain. Kemudian Yang Maha Kuasa akan selalu memakai cara-Nya sendiri untuk "nyentil" aku supaya sadar kembali hahaha

    ReplyDelete
  4. Dulu aku sempet jengkel ketika habis lahiran, pas itu juga ortuku ngurus cerai. Tadinya, impianku tuh, tinggal jauh dari orang tua, sibuk kerja sebagai pegawai kantoran, dan kalau libur baru pulang ke rumah orang tua. Eh, tiba-tiba gimana pun juga harus pulang kampung, ikut ngurusin mama papa yang pisah, bantu-bantu semua karena akhirnya beli rumah sendiri-sendiri.

    Rasanya karirku hancur, enggak punya penghasilan sama sekali kecuali dari Suami. Sumpah iri melihat temen2 yang lain pada travelling, karirnya makin naik, sudah pada bikin film layar lebar. Meanwhile, aku di rumah, nonton HBO saja sudah paling cakep.

    Jadi selama beberapa tahun aku mulai lagi dari nol. Cari-cari link, lebih giat, lebih legowo, dan pada akhirnya sadar "ternyata ada Suami yang mendukung aku dan nyemangatin aku terus". Walaupun masih terseok-seok jalannya, tapi pelan-pelan aku mendapat kesempatan yang sama. Saat ini aku percaya sih, kesempatan masing-orang mungkin berbeda, kemudahan orang-orang juga berbeda, tapi kalau kita percaya kita bisa dan memantaskan diri, waktunya akan tiba juga.

    ReplyDelete
  5. Intinya memang sebelum iri dengan privilege orang lain, ada baiknya kita merenung untuk menyadari privilege yang kita punya. Siapa tahu ternyata kita sama beruntungnya, hanya dengan jalan yang berbeda ^_^

    ReplyDelete
  6. aku justru baru tahu apaan itu privilage
    oalah,...hhahahaaa

    ReplyDelete
  7. bersyukur ama semua privilage yg aku punya. apalagi skr ini, ketambahan 1 privilage di mana fylly bisa masuk SD negri deket bangettt ama rumah, walopun umur dia blm 7 thn. soalnya tau sendiri sekolah negri biasanya lbh ngutamain yg udh 7 thn. bersyukur sih, krn setidaknya dr segi biaya ga terlalu berat, jd aku bisa nabung utk yg lainnya :D.

    kalo utk iri dan jd ga bisa nerima keberhasilan org lain, ga laah. aku ga prnh mau mikir begitu. ayudi maunda ketrima di 2 univ hevlbat, bisa jd krn dia punya jalur yg membuat lbh mudh utk ksana. tp aku percaya, mau sehebat apapun jalurnya, kalo dia sendiri ga pinter, ga mungkin tembus juga :p. so balik lg ke usaha dia nya kan. gitu jg orang2 yg lain. yg ada, aku lbh milih mempelajari, gimana cara nya dia bisa mencapai itu. ga fokus ke privilege nya :D

    ReplyDelete
  8. Grace Melia is a personal blog where the author shares her thoughts, experiences, and creative endeavors. It covers topics ranging from lifestyle and travel to art and self-discovery.
    separation before divorce
    separation agreement virginia

    ReplyDelete
  9. Privilege extends beyond finances. In the realm of motherhood, it can mean having a supportive spouse, shared responsibilities, or the luxury of time for self-care. Privilege varies and isn't solely about money.
    Reckless Driving New Jersey

    ReplyDelete
  10. Whether you’re a fan of card games, roguelikes, or simply looking for something different, Pokerogue is a game worth exploring.

    ReplyDelete
  11. Tulisan ini sangat mengena dan membuka banyak perspektif tentang privilege. Memang benar bahwa privilege sering kali retro bowl tidak hanya terkait dengan uang atau kekayaan, tetapi juga bisa berbentuk dukungan emosional, akses terhadap layanan, atau kesempatan yang mungkin tidak dimiliki orang lain.

    ReplyDelete

Thank you for giving your comments. Means A LOT to me. If you ask me a question in this comment section, but need answer ASAP, please poke me on my Instagram @grace.melia ^^