Salah satu realisasi dari membangun boundary yang sehat adalah berani berkata tidak saat kita merasa nggak nyaman (or worse dirugikan) dalam sebuat situasi. That's easier said than done. Pada praktiknya, kadang nggak semudah itu loh untuk bilang nggak. Sounds familiar?
Sekitar bulan lalu akhirnya saya dapet kesempatan untuk mencoba bilang tidak ini di tengah situasi yang kurang menyenangkan. Ngumpulin keberaniannya berhari-hari, lol. But now that I said NO already, it gave me some kind of relief and content feeling about myself.
The story goes back to couple months ago. All of a sudden, saya dapat tawaran untuk collab dengan sebuah clothing brand. Very unexpected, but yet I was soooooo excited about it. Bukan clothing brand besar dan sudah well-known. In fact, it is still a humble one. Tapi nggak masalah kok. Justru saya mikirnya dengan ini kami bisa jadi belajar dan bertumbuh sama-sama.
Setelah ngerti model collab nya, saya makin excited. Jadi si brand Lolipop (sebut aja begitu ya) mengajak saya untuk bikin produk bareng dengan tema UNICORN! Can you imagine? Unicorn loh, unicorn. Something that I really love, I even made a unicorn tattoo on my right hand. Terus nanti nama saya juga bakal ada di produknya. Lolipop X Grace Melia gitu. That seemed so exciting and promising for me.
Baca: New Tattoo 2018!
Tentang pembagian keuntungan, to be honest saya nggak terlalu mikirin. Karena udah gelap mata duluan sama unicorn hahah. Dan ya karena ini pengalaman pertama kan, jadi saya lebih tertarik di pengalaman dan proses nya.
Anyway, sekalian nyisipin tentang boundary ya. Ini dari #OretOretGesi di Instagram.
Long story short, after we talked on email and WhatsApp, we agreed on meeting face-to-face di sebuah kafe di Jogja. Ownernya, sebut saja Lili, adalah pribadi yang menyenangkan. Kami jadi ngobrolin soal parenting dan tumbuh kembang anak juga sekilas. The meeting went well. Kami berdua menyepakati konsep tanpa ada argumen atau kendala berarti.
Konsep model pakaian, warna yang akan dipakai, bentuk unicorn nya, dan kemasan sudah agreed. Menurut saya (walau bisa jadi ini subjektif ya), Lili juga keliatan sama excited nya dengan saya. Kami bahkan juga udah sampai bahas konsep photoshoot, mau pakai model dengan karakter apa lagi selain saya, giveaway bakal seperti apa, and blablabla.
When everything has been agreed upon, we moved on to the sample-making process. Semua dikerjain sama Lolipop. Kemudian kalau ada progress, saya dikasih update dan ditanyain pendapat or approval. It was exactly when I began to feel uneasy.
Satu per satu result yang ditunjukkan ke saya nggak seperti konsep awal yang sudah kami bicarakan. Contoh satu, kemasan. Since tema nya unicorn dan pastel, we expected kemasan nya ya warna pastel gitu kan atau ya unicorn-themed look. But no, it was black with some brown or yellow lines yang kurang nyambung gitu jadinya sama tema.
It was due to limited choices, I guess. Produsen package nya tinggal punya warna dan motif lines seperti itu, kalau saya nggak salah ingat. But then I was wondering, "Kenapa nggak cari produsen lain, atau ya tunda sampai produsen yang itu nyetok warna dan corak yang lebih cocok?" Cuman memang saya nggak bilang langsung karena kemasannya tiba-tiba udah jadi aja.
Saya sudah berdamai sama package nya sih. I mean, yaa kecewa, tapi masih bisa mensugesti diri dengan, "Yaudah sih gapapa. Bungkus doang kan yang nggak sesuai. Yang penting kan produk unicorn nya itu sendiri. Package cuman pelengkap, nggak seprinsipil itu." Buat saya package itu penting sih sebenernya lol. Tapi dalam usaha pengen kalemin diri sendiri kan ya memang jadi rela menurunkan ekspektasi.
Time went by until Lili showed me the sample. I couldn't really describe my feeling that time. Lebih ke kaget sepertinya, karena beda banget sama obrolan kami. We particularly agreed on pastel colors. Bahkan saya udah tunjukin pakai beberapa foto warna pastel seperti apa untuk contoh. Tapi yang datang warna nya tua. Model pakaian nya juga saya kurang cocok karena again, potongannya rada beda sama gambar design yang kami pilih-pilih bareng.
Waktu saya coba, to be honest, I didn't feel beautiful. Potongan nya agak bikin si pemakai keliatan gemuk, kecuali kalau yang makai punya body goals ya. Warna nya juga bukan saya banget dan saya nggak suka warna itu like at all.
Don't get me wrong. I'm not saying it's bad product. Bahan nya tetep bahan yang bagus. Untuk model baju dan warna subjektif ya. But the underlined thing is: it was different from what we agreed.
Sepanjang komunikasi dengan Lili, nggak ada masalah sebenernya. I mean she's still that great person. Dia tahu result nya berbeda dan dia mengakui itu. Itu dulu poin yang saya apresiasi dari Lili. Bisa aja sebenernya Lili ngotot atau apa, but she didn't. Lili juga berusaha sekali menjelaskan apa yang terjadi on her end. That there was shit happened; team dia yang biasanya kerjain berhalangan or such, ketiadaan kain dengan warna pastel dari supplier, dan ternyata dia juga ada perbedaan pandangan dengan partner nya yang nggak perlu saya ceritakan detil ya.
Team penjahit berhalangan dan supplier belum ngeluarin warna pastel sih bisa ditunggu. Saya mendingan nunggu banget deh sampai semua available pelan-pelan asal bisa sememuaskan mungkin sesuai konsep awal, ketimbang buru-buru kejar waktu tapi banyak yang nggak sreg. But internal conflict between Lili and her partner? I didn't want to get into that.
Saat itu saya merasa punya dua pilihan. Satu, terima aja. Yaudah beda dari initial concept nggak apa-apa, yang penting jadi collab. Yang penting saya bisa ngerasain punya produk sendiri, ih keren punya produk collab tuu. Atau dua, mengajukan pembatalan kerjasama.
Baca: What They Think About Full Time Bloggers And What Really Happens
Opsi satu saya telusuri dengan coba baju nya berulang kali sambil ngaca. Still, I didn't feel confident wearing the outfit. I didn't feel I owned it. Dan menurut saya confidence level dalam berbusana (apalagi memasarkan ya) itu poin penting. Saya nggak akan bisa jual bajunya kalau saya aja ngerasa itu nggak pas, badan saya keliatan gemuk di baju itu, dan saya nggak suka. It would show on the photoshoot that I didn't have the faith on what I would sell.
Saya juga bayangin skenario saya akan promote nya sambil bersungut-sungut dan nggak hepi, karena ya, again, beda sama konsep awal. Memang, nggak semua pekerjaan bisa kita cintai. Passion in working area is a bonus. But it also doesn't mean saya 'harus' menggadaikan idealisme saya juga karena jelas-jelas result nya melenceng dari kesepakatan.
Baca: Mencari Passion
Worse thing I imagined was setelah bersungut-sungut, saya pelan-pelan bakal kesel sama Lili. Kesel yang mengendap, nggak bisa diomongin, dan nggak solutif. Sayang aja rasanya kalau 'mengorbankan' hubungan yang awalnya baik hanya karena saya rikuhan dan memendam rasa nggak terima.
Memvisualisasikan opsi dua, mengajukan pemberhentian kerja sama, juga nggak semudah itu. Awalnya perang batin banget, berani ngomong nggak ya. Gimana cara ngomong nya, pakai alasan apa, dan lain sebagainya.
Then I slept on it and next day I was certain of what to do: the second option.
Akhirnya kami janjian meeting face-to-face lagi dan long story short saya utarakan usulan batal kerjasama. Alasan yang saya bilang ya apa adanya aja, I didn't sugarcoat or find another 'lamis' reason. Practicing being assertive, bold, and blunt to deliver the message bahwa 'hanya' dengan ada unicorn saja itu tidak cukup kalau kemudian warna, model, dan package nya berbeda dari design awal.
Thank God, Lili nggak keberatan. Sebaliknya, dari pengamatan saya (bisa subjektif juga ini), she supported this idea. Karena ya Lili sebenernya juga nggak enak sama saya kalau 'memaksakan' produk yang nggak seperti initial agreement. Untuk fee yang sudah dibayarkan juga saya kembalikan utuh. Just wanted to end this as nicely as possible dan tanpa ada beban hutang atau apapun.
*
Hari itu, besoknya, dan beberapa hari kemudian, saya masih cukup kecewa. I did really imagine punya produk baju sendiri dan unicorn pula. The excitement was real. Udah bayangin photoshoot seru, bikin giveaway, pamer hasil ke Icha, Windi, Nahla, dan Mama saya. I had it all on my mind.
But then after that, my disappointment disappeared. If anything, what I finally feel is relief. Lega karena toh semua selesai tanpa saya harus iya iya aja tapi di hati gerundelan. Lega karena Lili dan saya sepakat menyelesaikan baik-baik.
Tetep masih ada sisa happy nya juga. Bisa ngerasain proses collab bikin produk, segimana challenging nya, so maybe next time kalau ada tawaran lagi saya udah lebih kebayang alurnya. And most of all, I feel good about myself. Akhirnya bisa nyoba bilang tidak dan nggak trying too hard pleasing pihak lain in order to have a healthier boundary.
Ternyata perkuliahan saya ada dampak real nya di kehidupan sebagai pribadi! Ha! Tentang kuliahnya ngapain dan FAQ, bisa dibaca di sini ya: Rasanya Kuliah Lagi
*
Anyway, I wrote this to simply celebrate this rewarding feeling and self-love progress ya. Sama sekali nggak bertujuan untuk menjelekkan Lolipop. If there's anyone asking me who's the real Lolipop, I wouldn't answer, so don't bother. Icha, Windi, dan Nahla yang sahabat saya banget aja nggak saya kasih tahu nama brand yang sebenernya dari Lolipop, jadi apalagi orang yang nggak begitu kenal. Let me keep it to myself (dan Adit, karena dia udah tahu dari awal aja).
So how are you? Have a nice day ya! Jangan lupa ikutan giveaway di postingan ini.
Luv,
Thanks for sharing, semoga makin sukses..
ReplyDeleteWaw kebetulan banget ini Mbak tema tulisannya sama dengan apa yang aku alami. Aku termasuk tipe orang yang susaah untuk bilang tidak karena takut bikin orang kecewa dan sejenisnya.
ReplyDeleteDengan berjalannya waktu dan banyaknya kejadian yang aku alami maka aku pun belajar untuk bilang tidak, harapanku sih nantinya aku bisa bilang tidak dengan pertimbangan yang rasional bukan emosional belaka.
Iya, membahagiakan orang nggak musti selalu jadi tanggung jawab kita. Semangat, Mas Ihwan :)
DeleteSaying "no" is a powerful act of self-care and empowerment. In a world that often encourages constant agreement and people-pleasing, learning to set boundaries and say no is a vital skill. Join us as we delve into the importance of embracing this simple yet profound word and how it can transform your life.
ReplyDeletemanassas divorce lawyers