Oke akhirnya nulis blog lagi. Baru kali ini kayanya blog kosongan sebulan lebih. Mau cerita tentang film Joker. Finally I watched it with Adit, setelah sebelumnya denger testi orang-orang bahwa film ini sangat depressing. Pengin buktiin sedepressing apa sih.
Ini nulis langsung nulis tanpa mikir poin-poinnya dulu, jadi maybe bakalan panjang. Mungkin akan ada spoiler juga. Jadi yang emoh spoiler, stop reading ok. You've been warned.
Sinopsis singkat:
Joker bercerita tentang pemuda bernama Arthur Fleck dan perjalanan nya sebelum finally dia jadi villain legendaris, Joker. Arthur digambarkan hidup seadanya dan tinggal bersama sang ibu. Punya kondisi brain injury yang bikin dia ketawa uncontrollably saat ada di situasi yang bikin dia anxious. Dia kerja sebagai badut. Digambarkan Arthur ini ngefans sama Bill Murray, seorang talkshow host. Ternyata ibu nya delusional. Ternyata Arthur kecil pernah diabuse sama pacar ibunya dan ibunya did nothing about it.
----------
Baca juga review punya Nahla Halo Terong yak:
----------
Nguras banget sumpah
Ini film yang sangat amat menguras emosi, yang lalu nguras energi juga. Gila. Dari awal banget, scene pertama, udah langsung scene yang gloomy. Arthur Fleck di tempat kerja duduk di depan cermin dengan rias wajah Joker, berusaha bikin senyuman di mulutnya. Sorot matanya... sendu.
Abis itu langsung dibikin marah saat scene Arthur dikerjain sama anak-anak berandalan. Papan promosi buat kerjaan nya diambil, terus dibuat menghantam si Arthur sampai dia jatuh tersungkur. Kemudian masih ditendangin segitunya. Bener-bener, dari awal banget tuh udah digiring untuk hati kita bergejolak yang campur aduk. Ada kasihan, marah, sebel, nggak terima, nggak tega, gemes karena kenapa nggak ada yang nolong, sedih, and everything in between.
I could go on and on talking about every scene and every feeling. But that would be major spoiler, so I'm not gonna do that.
Every scene is sad
Semua perasaan yang saya dapat selama menonton itu nggak ada sedikit pun yang positif. Selalu sedih dan tegang. Nggak ada satu pun saya bisa senyum, ketawa, atau at least sedikit relaxed, bener-bener nggak ada.
Beberapa orang di bioskop tertawa terbahak-bahak di adegan Arthur ketawa nggak terkontrol. Buat saya itu nggak lucu sama sekali. Justru malah sedih banget. Nggerus kalu Bahasa Jawa nya.
Semua pengalaman yang dialami Arthur dan ditunjukkan di layar adalah pengalaman nggak menyenangkan. Dia diketawain orang-orang karena terlihat aneh. Dia dipecat dari kerjaan yang dia suka. Dia ingin raih mimpi jadi standup comedian yang malah endingnya bikin dia diketawain juga karena dia anxious dan jadi ketawa aneh dan emang jokes nya nggak lucu. Dia dapet sesi konseling tapi konselornya terlihat tidak berempati. Dia distop medication karena departemen konseling nya mau ditutup. Dia nggak punya teman. Dia dijahatin orang terus. Yang bikin saya sedih sekali adalah dia udah berusaha do good aja masih disalahartikan dan dikatain orang.
Ada satu scene dia lagi di dalam bus. Penumpang yang duduk di depannya bawa anak kecil. Si anak kecil ini noleh ke Arthur. Di situ, Arthur ngebecandain si anak kecil, kayak cilukba dan main ekspresi gitu. Bener-bener cuman mau entertain si bocah. Nggak ada maksud jahat. Tapi ibu si anak ngirain Arthur mau ganggu atau apa, terus Arthur dihardik dengan galak.
Di situ saya rasanya nggak terima banget.
Lanjut, ada sebuah scene di mana Arthur bilang
Happy. Hm. I haven't been happy one day out of my entire fucking lifeDan ya jadi terasa masuk akal, karena emang the whole movie (before he turns bad) semua pengalamannya emang setidakmenyenangkan itu.
Yang jadi miris lagi adalah semua pengalaman disepelein dan dijahatin orang itulah yang finally bikin dia enjoy jadi bad guy. Ketika dia jadi pria yang berusaha baik dan decent, nggak ada orang yang peduli, appreciate, dan nganggep dia. Semua (kecuali ibu dan satu tetangga cewe nya) treat him as garbage, as nothing. Baru ketika dia ngelakuin something evil, orang-orang 'memandang' dia, treat him as someone yang layak disegani (dan ditakuti), baru diperhatiin.
Intermezzo dikit
Ini mirip sama Max Dillon, villain di film Amazing Spiderman 2, udah nonton? Di situ diceritain Max Dillon ini awalnya pemuda baik-baik yang cenderung kasihan. Nggak punya temen, diremehkan, selalu sendiri. Bahkan ulangtahun pun, dia beli kue sendiri, rayain sendiri. Nggak ada yang nganggep dia bener-bener 'ada.'
Lalu ada accident yang bikin dia punya power listrik, jadi powerful. Baru lah saat itu orang-orang 'ngeliat' dia, baru saat itu dia ngerasa ada yang merhatiin. Walau definisi memperhatikan nya jadi berbeda sama yang dia harapkan pada awalnya.
Saya ngeliat Arthur jadi Joker ini mirip seperti itu. Betapa seorang manusia yang berusaha baik tapi disepelekan, dijatuhkan, dan ditertawakan terus-menerus ternyata bisa jadi turning point untuk dia turn bad to get people's attention, which is so sad.
Joker buat saya yang pernah depressed
Kata orang-orang, film Joker ini depressing. Yang punya pengalaman depresi, dibully, disakiti, atau pernah ingin menyakiti orang lain bisa jadi ketrigger. I guess that's true somehow.
Baca: Battling Depression
Baca: Depresi Di Masa Itu, It's Ok But Let's Handle It
Saya pernah depresi dan ke psikiater. Nonton Joker bukan lantas jadi bikin saya inget hal-hal yang bikin saya depresi. Bukan lantas jadi ingat siapa-siapa aja yang pernah bikin saya sakit lalu saya jadi benci mereka lagi. BUKAN. Tapi saya jadi inget emosinya, feelings nya ketika depressed itu seperti apa. And those feelings stick. Itu yang nggak enak banget.
Adit juga ngerasain hal yang sama. Dulu dia pernah ada pengalaman dibully yang (menurut saya) jahat banget. Setelah nonton, Adit bukan lantas jadi kebayang-bayang terus peristiwa being bullied nya, bukan lantas jadi inget orang-orang yang pernah bully dia. Yang kembali adalah rage nya, anger nya dari peristiwa bullying itu.
Baca: Diari Papi Ubii #17 ― In Regards To Bullying
Di saya pribadi, adegan-adegan sedih dan merah yang berhubungan dengan film bisa langsung tidak terbayangkan lagi begitu keluar dari bioskop. Saya juga udah nggak ngebayangin kasihan nya si Joker lagi sama sekali. Tapi efek nya masih kerasa di feeling dan energi saya. Saya jadi lemes dan capek banget. Adit juga.
Believe it or not, setelah nonton, boyok saya sakit banget nget nget. Dan Adit, belakang leher dia sakit banget. This thing could be explained scientifically sebenernya. Tentang betapa tubuh kita bisa jadi ikut merasa. Tapi silakan googling sendiri ya hahaha.
Adit udah lama berhenti merokok. Right after watching Joker, setelah sampai di apartemen, dia ngerokok dong sambil nge-wine. Segitunya efek film ini di kami berdua.
Baca: Diari Papi Ubii #27 ― When The Smoke Vanishes
How Joker plays with our mind
The thing about psychological thriller movie like Joker is mereka 'main' di empati dan emosi. 'Main' nya di otak limbik banget. That's why the effect sticks more than horror movies. Kalau film sesetanan, kita lebih mudah rasionalisasi, "Ah ini hanya film." But this, lebih susah berkali lipat. Sulit bilang "Ini hanya film" karena emosi kita udah kadung kena. Apalagi buat kita-kita yang punya pengalaman depresi and such. Sulit juga meyakini ini hanya ada di layar kalau in real life kita punya teman/kekasih/saudara/kenalan yang punya disorder. Susah bilang ini cuman tontonan karena apa yang dialami Arthur itu bisa terasa real dan seperti bisa terjadi ke kita juga.
Jadi setelah nonton, kita harus lebih effort untuk rationalise bahwa ini memang hanya film. Netralin pakai olahraga, pijet, relax, main-main, nonton yang lucu, dan lain-lain. Bawa ke otak besar yang memang bagian hal-hal logis dan perencanaan. Kalau stay terus di otak limbik mainin emosi, wah gila nguras terus berhari-hari.
So, if you wanna watch it, watch at your own risk ya (terutama yang pernah ada pengalaman gloomy in life). And I personally think that ratingnya should be 21+, not 17+ sih.
Joaquin Phoenix
Joker versi Heath Ledger is something. But Joaquin Phoenix, for me, is beyond. Buat saya, Joker sudah nggak lagi identik dengan alm Ledger, tapi sekarang ke Phoenix. Beda saat nonton Joker versi Jared Leto di Suicide Squad. Saat itu saya tetep ngaitin Joker dengan Ledger. Tapi sekarang wow Phoenix just nailed it amazingly.
Walaupun tetep beda feel nya sih. Joker versi Ledger itu kesannya adalah: evilish, serem, mau nyakitin orang. Nah Joker versi Phoenix ini kesannya cuman satu buat saya, yaitu pain. Every facial expression (bahkan saat ketawa sekali pun), body language, grin, sorot mata, dan semuanya, they shows pain for me.
Yaudah gitu aja. Sori ya berantakan nulisnya. Efek udah lama nggak nulis, dan pengen segera menyudahi tulisan karena nulis gini aja jadi capek lagi.
Rabu ini mau ngapain? Have a nice day yaa.
Love,
Pengen nonton tapi banyak tapinya.. akhirnya cuma berani baca & nonton review2 filmnya Aja. Gitu Aja udah merasa sangat sedih banget.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThanks mba ges. Aku trmasuk yg ga berani nonton joker krn aku gampang bgt kebawa emosi film, tkt stick berhari2 dan pengaruh ke mood ngadepin anak, tp tbh penasaran juga sm ceritanya. Your review is helpful for me. Setidaknya ak bs dpt cerita in general tnp hrs nonton. Anw, baca review mu aja aku ud lgsg capek dan gloomy �� ckckck.
ReplyDeletesetuju banget mbak. Joker yg ini memang fenomenal dan tdk mudah ditonton. sepanjang film saya ngerasa 'restless' dan ketika film selesai ada perasaan 'uneasy' .bener2 dark and gloomy
ReplyDeleteTadinya pas mau nonton film ini ekspektasi ku setinggi ini, tapi kenapa pas nonton aku ngerasa sebaliknya ya? Apa karena terlanjur pk mind set banyak film lain yg lebih mengenaskan dan menyakitkan? Atau karena ternyata dulu aku ga sedepresi yang kukira? Atau memang kondisi mentalku lagi pas bagus pas nonton Joker? Padahal suamiku sempat bilang, sedih ya filmnya, kasian. Lha aku kayak datar aja sambil bilang, lumayan sih, tp beberapa hal di bawah ekspektasi ku. Hmm. Anyway ternyata beneran ngaruh y di sebagian orang yg pernah mengalami rasa serupa=(
ReplyDeleteAku gak berani nonton. Banyak yg bilang bisa mempengaruhi perasaan banget. Baca review mbak ges semakin memutuskan buat gak nonton. Daripada keluar bioskop aku jadi kerasa gak waras.
ReplyDeleteaduh bagus banget ini reviewnya...sangat menyentuh. aku jadi ngebayangin perasaan joker sebelum jadi jahat, sedih banget...
ReplyDeletekayanya aku ga berani nonton joker deh. huhuhu... ��
Udah nonton, dan sesak napas. Padahal aslinya saya ini cengeng banget. Nonton adegan sedih dikit pasti mewek. Tapi nonton Joker ini saya sampe ga bisa nangis saking sedihnya liat kehidupan Arthur.
ReplyDeleteaku nonton film ini 2x ges. saking terpesonanya mungkin. Sedih pastilaah. ga tega pas liat joker di pukulin anak2 berandal itu, pas dipecat, pas dikasih tau kalo dept sosial yg biasa memberi obat hrs tutup. ya ampuuun itu kayak, aku pgn nolongin dia saking sedihnya...
ReplyDeletekebawa perasaan banget yaaa.. aktingnya keren Joaquin P ini. feelingku bakal dpt oscar :D. dan nth napa, aku merinding loh pas liat dia menari.. kayak serem aja ngeliatnya.. Setuju sih, dia jauuuh lbh bagus dr joker2 sebelumnya.
Hm... memang lebih baik nggak nonton ya sekalipun saya cukup penasaran karena reviewnya banyak banget dimana-mana. Baca ini juga jadi mikir beberapa orang sekitar saya yang saya kenal aslinya tuh baik, tapi dia sengaja ngelakuin hal-hal yang melanggar norma karena cari perhatian. Sad. Betapa perasaan paling menyedihkan adalah tetap dianggap buruk meskipun sudah berusaha baik. Merasa sendiri diantara keramaian. *waduuh mellow.
ReplyDeleteAku belum nonton semenjak film ini rilis di bioskop, soalnya aku lagi sibuk dikejar deadline, lalu dihajar sakit perut seminggu (and still continue). Aku takut kalau aku maksain nonton dalam rangka membebaskan diri dari stress, yang ada aku malah jadi berakhir di tempat tukang pijet. Aku juga sedang berusaha membebaskan diri dari depresi, jadi aku kuatir film ini akan menyiksaku pelan-pelan. Tapi aku takut ketinggalan juga, takut keburu peredarannya di bioskop keburu habis, fufufufu..
ReplyDeleteIt was a mixed feeling watching this "Joker" Movie. Aku nangis loh mba waktu scene Joker di atas mobil setelah kecelakaan dan dieluk2an pengikutnya. Terharu merasa finally Arthur Fleck (Joker) "dihargai" dan "dilihat" orang-orang walau sebenarnya yang dilakukan totally wrong and sadistic. Sesakit itu ternyata lingkungan masyarakat yang digambarkan. Dan sadar juga sebenarnya lingkungan seperti itu bisa terjadi di sekitar kita :(
ReplyDeleteOya ada satu lagi film yang bikin saya "terusik" secara psikologi walau dengan cara yang berbeda, "Midsommar".
thanks for share reviewnya, semoga sukses selalu,.
ReplyDeleteaku ga berani nonton, baru liat trailernya aja udah drained,,uhuhuu...
ReplyDeleteWalaupun film nya bikin drained tapi aku suka banget ma film ini hehe
ReplyDeleteThe article is very good, I have learned and gained a lot of experience for myself. Please continue to contribute such useful articles to us!
ReplyDelete
I will seriously watch it
ReplyDeleteTulisannya memang mengalir dengan kuat! Film Joker benar-benar merupakan pengalaman yang menguras Tunnel Rush emosi. Dari deskripsi yang kamu tulis, rasanya kamu dan Adit benar-benar merasakan dampak emosional yang mendalam setelah menonton.
ReplyDelete