Contohnya gampang banget deh. Misal mahasiswi yang hobi ngedesain, boleh aja kan share tutorial walau bukan ilustrator profesional. Ibu-ibu wajar sekali share resep meski bukan professional chef atau ahli gizi. Mas-mas bisa share pengalaman dan tips investasi walau bukan financial planner.
Di awal saya kembali blogging, circa 2012, saya nggak punya expertise profesional apa pun. Hanya tulis post yang experience-based doang. Banyak banget yang nyerempet dunia medis, karena emang saya berbagi cerita tentang Ubii yang berkebutuhan khusus karena Rubella. Saya juga beberapa kali nulis tips pengasuhan dan latihan tumbuh kembang di rumah. Tapi itupun juga hanya berdasar pengalaman dan dari ngobrol sama tenaga medis langganan.
Pelan-pelan saya mulai suka berbagi tentang parenting/family in general, bukan hanya parenting anak berkebutuhan khusus. Kadang cuman cerita pengalaman aja. Tapi kadang juga tips-tips seperti stimulasi bayi 0-6 bulan, yang sumbernya dari apa yang saya baca dan saya rangkum dalam Bahasa Indonesia. Kadang juga tentang opini pribadi, seperti tentang saya tidak pro dengan pernikahan remaja, tentang peran sebagai ibu, dan lain-lain.
(Wow udah lama ya nggak nulis opini begitu hahaha).
Sampai sekarang juga sebenernya saya masih seneng banget sharing tentang parenting. Cuman udah lebih seringan di Instagram aja, karena udah nggak kepegang kalau both blog dan Instagram. Dan sekarang, sharing saya (semoga) lebih ada isi nya karena abis ambil sertifikasi di bidang yang erat dengan pengasuhan dan keluarga.
Tapi saya jadi bernostalgia nih. Dari dulu (sebelum punya expertise pun) sebenernya saya udah pede aja melabeli diri saya dengan sebutan blogger parenting. Dulu, melabeli diri seperti ini tuh lumrah banget meski nggak punya titel. Karena memang sebutan ini hanya untuk menjelaskan niche (tema besar) blog aja, bukan berkaitan sama expertise. Jadi ya pede dong, wong blog saya emang mostly tentang parenting / family.
Teman-teman blogger yang memonetize blognya dengan sponsored post pasti paham bahwa ketika mengajukan diri dalam seleksi, pihak brand atau agency yang in charge biasanya bakal nanya apa niche blog kita. Iya gengs, seperti itu. Jadi dalam komunitas blogger atau group informasi lowongan sponsored post itu, biasanya dicantumkan butuh blogger yang kayak gimana. Niche nya apa, pageviews, profile nya, dll karena pasti mereka ingin cari blogger yang sesuai sama target konsumen mereka.
Dalam circle blogger ya jadinya udah biasa banget menyebut diri sendiri sebagai blogger finansial, blogger tekno, blogger otomotif, food blogger, beauty blogger, endebre-endebre tergantung tema besar blog yang bersangkutan. Once again, not really about the professional title. Misal ada dokter gigi punya blog, dan blog nya 90% bahasnya beauty juga dia akan bilang beauty blogger kok, bukan dental health blogger.
Btw, saya berangkat tuh dari blog, baru main Instagram. Bukan yang Instagram duluan lalu bikin blog. Jadi, kalau saat ini di IG, saya nemu ada yang namanya influencer parenting, beauty, food, dan lain-lainnya, ya otomatis pikiran pertama saya adalah, "Oh, jadi konten IG mereka mostly tentang itu." Udah.
Setelah ada IG ini, orang-orang memang lebih mudah ya share opini dan pengalaman mereka. Sah-sah aja menurut saya. Karena nulis caption IG kan nggak perlu sepanjang di blog. Dan mungkin emang mereka suka post foto-foto juga.
Lalu, saya baca ada beberapa kritik yang modelnya seperti ini:
"Siapa sih dia, background nya apa? Kok berani banget share edukasi ASI ngalah-ngalahin dokter"
"Yaelah, anak baru 1, udah sok sharing tentang parenting. Dokter anak juga bukan"
"Dia tuh nyadar gak sih dengan dia share begitu tuh bisa menggiring followersnya juga. Mending nggak usah lah sharing tentang parenting-parenting kalau bukan ahlinya"
Saya jadi membatin. Siapa saja yang sebenarnya boleh berbagi? Dan konten seperti apa yang boleh dibagikan?
Apakah boleh-boleh aja sharing tentang pengasuhan anak kalau followersnya sedikit, karena otomatis less power buat the-so-called menggiring followers?
Apakah wajib ambil sertifikasi konselor laktasi dulu baru boleh share tips terkait ASI?
Apakah harus ikut kuliah gizi dulu baru boleh berbagi resep MPASI bergizi?
And so on.
Saya pribadi kurang setuju dengan kontra yang begitu. Nggak punya background pendidikan A, maka sebaiknya nggak sharing tentang A. Anak baru 1, sebaiknya nggak berbagi tips pengasuhan anak, dll.
Satu, selama ybs sharing di sosmed nya sendiri, saya pikir itu hak masing-masing mau tulis post tentang apa. Selama nggak SARA, nggak menghina pihak tertentu, apa iya kita perlu ngurusin 'rumah' orang? Akun Instagram orang itu kan ibarat rumah maya nya dia. Beda cerita kalau dia share opini menohok dan sejenisnya di rumah maya kita.
Dua, sharing pengalaman SENDIRI, masa harus punya expertise dulu?
Tiga, jujur aja saya ngeliat post orang-orang awam tanpa expertise itu juga helpful sih. Kadang kita bisa ikut belajar kan dari pengalaman orang lain. Atau jadi dapet informasi produk dan jasa apa aja yang sekiranya layak dicoba.
Empat, do they violate UU ITE?
Kalau nih kalau, dibilang "Ya soalnya dia followersnya banyak. Jadi ya kudu lebih bisa pilah-pilah info mana yang baik dan info mana yang menyesatkan," artinya tanggung jawab pengguna Instagram dengan followers banyak itu berat banget ya...
(But then again, definisi banyak atau sedikit itu berapa?)
Satu sisi, saya setuju bahwa kalau udah difollow banyak orang atau public figure itu perlu lebih menjaga, untuk hal-hal yang sifatnya kurang acceptable dalam norma agama, sosial, dan budaya Timur seperti di sini.
Tapi kalau untuk share opini atau pengalaman pribadi yang nggak menyinggung SARA, hmmm, should they? Sesederhana cerita dia memilih cara melahirkan dan metode MPASI yang seperti apa, misalnya, apakah harus tetap direm?
Kalau iya, berarti kontrol pengambilan keputusan kita-kita ini ada di tangan siapa sebenernya? Di tangan kita (dan keluarga sendiri) atau di pengguna Instagram yang ndilalah followersnya banyak?
Betul juga bahwa tidak semua orang punya kemampuan memilah informasi dan mengambil keputusan yang bijak. Betul juga bahwa orang-orang seperti ini mungkin 'mengandalkan' pilihan selebgram idola nya untuk ditiru mentah-mentah tanpa dipilah dan diadaptasi. Tapi, apa ketidakmampuan kita seperti ini menjadi beban dan tanggung jawab sosok Instagram yang kita follow?
Saya merasa ini short cut yang menimpakan kesalahan pada orang lain dan enggan bertumbuh secara mindset. Ada selebgram yang share nya (menurut kita) menyesatkan dan kita jadi khawatir sama sahabat kita yang mengidolakan ybs, jadi suruh si selebgram stop sharing. Ya emang, lebih gampang sih ya ketik komen. Lebih singkat waktu yang dibutuhkan dan lebih ringan effort nya ketimbang berusaha mengedukasi sahabat.
Beberapa waktu lalu, pernah cukup viral seorang youtuber perempuan yang ngasih tutorial bikin do-it-yourself hand sanitizer, karena dinilai ngawur. Kita, ibu-ibu, nonton itu, bisa ya lebih santai. Cari info dulu itu bener atau ngarang. Nggak bener, maka kita nggak ikutan nyobain.
Bukankah sesederhana itu aja sebenernya?
Mengapa ya kalau tentang pengasuhan (atau hal-hal yang berkaitan seperti ASI, pilihan sekolah, dll), rasa-rasanya lebih gampang panas sampai menyarankan Instagrammer gausah sharing parenting karena bukan ahli profesional? Maybe it's a big question we need to ask ourselves.
Just my two cents. Udah lama pengin bersuara tentang ini. Udah lama juga nggak nulis opini, ternyata kikuk hahahaha.
Jadi, siapa yang boleh sharing?
Apa harus profesional dulu?
Apa asal followers nggak banyak?
Apa mau taroh kontrol keputusan di tangan pengguna Instagram yang belum tentu kita kenal di dunia nyata?
This is a nice quote, by the way.
I do not agree agree with what you have to say. But I'll defend your right to say it ― VoltaireBecause for me, kita punya hak yang sama untuk bersuara, mau berapa pun followers kita. Tidak sejalan bukan berarti harus (berusaha) membungkam.
Love,
Baca ini saya jadi keingat, bulan lalu saya ikut online class dari mominfluencer, yang narasumbernya head of social media at CPXI Asia. Beliau bilang namanya influencer, berarti orang yang bisa mempengaruhi orang lain meskipun hanya 1-2 orang di sekitarnya. Jadi nggak perlu takut sharing (asal memang kita tahu dan paham hal tersebut, ga harus ahli) sekalipun followers cuma sedikit. Karena influencer beda lagi sama buzzer, kol, brand ambassador. Jadi saya juga setuju kalau mau sharing itu hak siapapun, apa lagi kalau memang dia pernah mengalami hal tersebut. Kita kan juga perlu belajar dari pengalaman orang lain. 😁
ReplyDeleteThank you sharing nya mba. Jadi berasa bisa ngikuti online class nya sedikit heheh
Deletesetuju mami ubi kalau setiap orang berhak untuk sharing dimanapun tempatnya entah itu di ig ataupun di blog, karena sharing kan memang based on experience dan kalau nggak cocok dengan pengalaman orang lain yah tak perlu keras menolak karena pengalaman orang kan beda-beda ada yang memang cocok dengan kita sehingga kita bsa gunakan yah kalau tidak cocok cari lagi referensi lainnya yang sesuai dengan kebutuhan kita semudah itu sebenarnya.
ReplyDeleteuuuwuwuwuuu... ini pernah ngalamin bangetttt.. ga kepikiran mau ngungkapin di blog, sempet minder malah hehee.. sampe udah lupa dan udah semangat nulis lagi. makaci mami sharingnya yang selalu relate sm akuuu
ReplyDeleteaku juga setuju banget, siapa aja punya hak untuk sharing. gak perlu la ya jadi profesional dulu. Sharing biasanya kan based on experience dan ku rasa malah lebih berguna banget ketimbang teori2 aja.
ReplyDeletepun semisal anak baru 1 terus sharing2 terkait parenting ya ga masalah juga. doi kan punya pengalaman ya ngga.. gak perlu la ya komen-komen julid begitu.. hihi.. itu orang-orang yang sirik aja mungkin.. hihi.. :D
wah aku juga pejuang freedom of speech :D semangat membela apa yang baik dan benar yaaa!
ReplyDeleteAku suka sekali dengan argumen kk, kk mengingatkan aku tentang setuju untuk tidak setuju. Aku sedikit lupa penjelasannya karena kuliah dari rumah membuat otak ku sedikit tumpul karena hanya mengerjakan tugas tanpa punya waktu memahami maknanya *maaf aku curhat. Tapi secara garis besar aku sepakat bahwa sosmed seseorang itu adalah rumah dirinya. Siapapun berhak berkunjung sbg tamu tapi berkunjung langsung menghujat aku pikir lebih aku tutup pintu. Pemikiran yg salah kalo aku pikirkan lagi, karena walau aku bukan ahli tpi sosmed ku kan rumahku. Terlepas dari itu aku berhak membuat suatu hal yg aku ketahui berdasarkan pengalaman ataupun bahan bacaan ku dengan catatan tanpa menyinggung atau menyudutkan pihak manapun. Dan terkait org sekitar sepertinya aku cukup berpikir bhw semesta tidak tercipta untuk argumen ku saja sehingga itu pilihanku untuk menyerah pada hegemony dan meluruh sbg mayoritas atau dengar hatimu asah intuisi dan mulai revolusi. Terimakasih kak
ReplyDeletesetuju mba grace, selama bisa mengutarakan pendapat atau bahkan sharing hal hal yang buat kita baik, mungkin bisa dicontoh juga untuk yang lain selama nggak SARA.
ReplyDeleteapalagi sekarang banyak media sosmed yang bisa digunakan untuk sharing. semua orang sepertinya lebih betah ngeliatin layar hp untuk cari cari berita atau info
Setuju sekali mba...
ReplyDeleteSetuju banget mba grace, semua orang siapapun berhak untuk sharing baik itu lisan maupun tulisan. Aku sendiri waktu baru memiliki anak, dan ternyata berkebutuhan khusus, aku sempat kebingungan, lalu menemukan blog mba grace, meliahat ubi, aku jadi lebih bersemangat menjalani setiap pengobatan anakku. Walaupun berbeda jenis kondisi, tapi semangat mba grace merawat ubi sampai ke aku.
ReplyDeleteSetelah membaca banyak artikel di blog mba grace, akupun membagikan perjalanan mengasuh anakku dan berbagai hal tentang kondisiya, dan ternyata sampai sekarang aku mengenal banyak orang yg memiliki kondisi yang sama dengan anakku melalui perantara tulisan di blog.
Thanks for sharing mba..
Ku sih ga keberatan kalo baca tips ato tulisan dari para influencer ato bligger , ntah itu ttg parenting ato apapun yg based on pengalaman dia. Ga harus jd expert utk menulis itu.
ReplyDeleteTapi td pagi aku liat YouTube dokter spesialis kulit ttg influencer yg berani mendiagnosa suatu penyakit , bahkan kasih tau obatnya apa, hanya based on dari kriteria si penyakit. Dan itu fatal sih. Krn obat yg dia sarankan itu termasuk obat keras yg bisa berefek ke hati. Sementara penyakit yg dia 'diagnosa' itu sbnrnya ga bisa diputuskan sembarang, kecuali sudah melalui tes lab. Sementara si influencer bukan dokter samasekali.
Kalo yg begitu aku setuju, dia ga seharusnya berani mendiagnosa penyakit apalagi sampe nyaranin obatnya apa, tanpa punya keahlian dan sertifikat di bidang itu. Dan semoga sih, followersnya ga segitu aja makan mentah2 apa yg dia bilang hanya Krn "penyakit ini kriterianya mirip nih, jadi udah pasti kita menderita ini, da obatnya hrs yg ini".
Duuh jangan sampe. -_-
Based on the magazine imprint of the same name, these productions include well-known characters like The Joker and The Batman in parallel stories that are not connected to the DC Universe. amanda the adventurer
ReplyDeleteHeardle social sharing options are great for bragging rights.
ReplyDeleteThe rise of influencers in healthcare raises significant concerns, especially when they attempt to diagnose conditions and recommend treatments without proper medical training. It's alarming how easily misinformation spreads, as seen with one influencer suggesting potent medications based solely on symptoms. This could be as reckless as playing Monkey Mart without understanding its mechanisms—both situations could lead to serious consequences. Just like managing a virtual shop requires insight and strategy, so does navigating health issues. It’s crucial to seek professional advice rather than relying on unverified sources.
ReplyDeletehis was a fantastic read! Your blog post was not only informative but also very well-organized. I especially enjoyed how you provided a little to the left real-world examples to illustrate your points, making the concepts much more understandable and memorable. I’ll definitely be back for more of your content
ReplyDelete