Siapa yang kangen liburan? Saya dan Adit kangen banget nget nget. Bedanya kalau saya cuman mengenang di kepala, kalau Adit sampai bisa jadi tulisan. Lumayan buat ngisi blog biar nggak lumutan amat lol.
Sambil nunggu bisa traveling lagiiii.
Adit:
Traveling – it leaves you speechless, then turns you into a storyteller – Ibn Battuta
Pandemi COVID-19 ini bikin saya gila. Walaupun saya seorang introvert yang sangat tidak keberatan untuk menghabiskan hari sendirian, tapi saya pikir 7 bulanan hidup seperti ini, it’s just too much. Saya berdiam diri di rumah/apartemen, keluar ya cuma buat keperluan mendesak saja, seperti belanja basic necessities dan sebagainya. Selebihnya, saya habiskan waktu di rumah — selain memenuhi kewajiban WFH — dengan membaca buku, main game, maupun lari di treadmill 5K per hari.
Dan di saat saya kira saya sudah bisa adjust dengan so-called “new normal”, saya mengernyitkan dahi dan kemudian merasakan panas dalam dada saat saya nggak sengaja memutar video salah satu travel vlogger di YouTube. Tiba-tiba saja saya SANGAT merindukan traveling, baik untuk business maupun leisure. Menurut saya, pergi ke tempat atau negara asing itu cara terbaik untuk memperluas wawasan dan cakrawala. Memang, kita bisa mempelajari suatu negara/tempat dengan baca dari buku atau virtual traveling. But when it comes to traveling, nothing beats first-hand experience.
But then again, mana mungkin kan traveling sekarang. Segala macam restrictions — not to mention my Indonesian passport yang masih dianggap “berbahaya” sama negara-negara lain. Then Grace gave me an idea the other night. She said, “Daripada kamu kebawa bete, kenapa nggak coba walk down memory lane, liat foto-foto travelingmu beberapa tahun belakangan, siapa tau kangen travelingnya bisa terobati.”
Saat saya liat-liat foto, terus malah kepikiran buat nulis nulis aja sekalian. LOL. So, here’s the list of places I’ve travelled these past five years, along with the takeaway on each place. Saya ngga bakal ngomong tempat mana yang harus dikunjungi dsb, it will be too long. Saya cuma mau cerita hal-hal unik yang saya alami saja.
Mexico City, Mexico (October 2016)
Sejauh ini, Mexico City ini tempat paling jauh yang pernah saya kunjungi. Total flightnya hampir 30 jam, transit 2x (di Jepang dan Dallas, Amrik), dan saya traveling sendirian. Kenapa Mexico City? Well, dikirim training sama kantor. So, Saya kerja di Kedubes Amrik Jakarta. Dan, kantor saya itu kalau ngasih training pegawainya, biasanya dikirim ke Kedubes Amrik di negara lain dan ngumpul sama pegawai-pegawai dari Kedubes Amrik lain dari seluruh dunia. So yeah, for me it was a real definition of “strange land”.
Takeaway:
1) Pertama kali mendarat, saya langsung tercekik oleh udara tipis. Little did I know, Mexico City itu elevasinya tinggi banget, 2000 meter dpl lebih (kurang lebih sama kayak puncak gunung Merapi). And it was so goddamn cold! Selama ini referensi saya terhadap Meksiko itu cuma sebatas telenovela dan filmnya Robert Rodriguez “Once Upon a Time in Mexico”, yang dimana Mexico itu digambarkan kayak semacam hamparan padang pasir tandus nan panas. Realitanya? Malem-malem suhunya bisa sampe 8°C, disertai hujan gunung. Siang mentok 24°C kalau ada matahari.
2) Saya stay 1 minggu lebih di Hotel Marriot Reforma. Hotel ini beneran ada di tengah-tengah kota, sebelahan persis sama Angel de la Independencia (ekuivalensi dari Tugu Selamat Datang di Jakarta), so kemana-mana walking distance banget. Tapi, jangan sekali-kali jalan-jalan pake sendal jepit. Malam pertama saya belum unpack, saya pergi ke convenience store depan hotel buat beli rokok (I did smoke back then). Tahu saya pakai sendal jepit, saya tetiba diusir lol. It’s a big no ternyata. Pas jalan balik ke hotel, saya juga baru nyadar, orang-orang pada ngeliatin kaki saya, as I was the only one wearing sendal jepit.
3) LGBT is legal, and is a very common thing at CDMX (nama kerennya Mexico City). So, banyak pasangan LGBT bermesraan di pinggir jalan. Ngga usah dipelototin.
4) Sempet main ke tempat temen yang nginep di Four Seasons Hotel. Di belakangnya ada pohon beringin yang ditutupin sarung kotak-kotak, kayak di Bali. Apa pasal, ternyata di belakang pohon, ada restoran Indonesia lol. Namanya “Warung Makan”. Jualan rendang, tempe, sate, and such. Yang jual orang Boyolali.
5) Oiya, buat masuk Mexico, saya ngga perlu visa lagi karena saya sudah punya visa Amrik. Kalo kamu punya visa Amrik, udah bisa auto masuk Meksiko.
6) Kalau lihat di film-film Hollywood, masakan Mexico itu digambarin pedes banget. Well, iya pedes, tapi karakteristiknya beda sama pedes masakan Indonesia. Kalau menurut saya, masakan kita pedesnya di tenggorokan. Kalau Mexican food, they burn your lips and tongue. Hal yang paling saya kangenin dari Mexico City ini — jam 10 malem kamar hotel digedor temen-temen, pada ngajakin makan di warung kecil namanya Tacontento. Jual segala macem tacos dan sandwich. Dan sampai sekarang, tortas di warung ini masih ada di urutan nomor 1 makan paling enak yang pernah saya makan.
7) Orang Mexico kebanyakan bisa bahasa Inggris, tapi ngga lancar. They speak Spanish. Karena CDMX itu multicultural city banget, mereka expect kamu bisa bahasa Spanyol juga, regardless muka kamu Asian. Once mereka ngajakin ngomong pake bahasa Spanyol, just say “no hablo espaƱol” then they will switch to English afterwards.
Singapore (May 2017)
Kayaknya ngga perlu diceritain lagi nih negara. Udah kayak the second Bali. So I went there, again, because of office duty. Kali ini bukan training — saya harus supervise workshop dari program kantor, and I have to create some multimedia contents out of it.
Takeaway:
1) Ini satu-satunya negara dimana saya pede pergi kemana pun naik public transport. Siri dan Google Maps bekerja dengan sempurna disini. Lagian, signage di subway dan terminal sangat jelas dan nggak bingungin. Ngga ada kendala bahasa pula.
2) Di kisaran Albert street, saya nemu tempat bir yang enak sekali. Namanya Hospoda Microbrewery. Tempanya kecil, hence, nggak banyak orang yang tau. Saya diajakin temen saya orang Amrik yang udah lama tinggal disini. They sell dark Czech beer, and it was very, very delicious indeed.
3) Ke Singapore, makan di random food court is a must. Kita bisa “dibs” tempat buat makan dengan menaruh 1 pax tissue di kursi yang akan kita tempati. Ini semacam bahasa nonverbal buat “ini tempat sudah kutandai!”
4) Nyobain Deliveroo — fully automated restaurant. Amazed banget hahah... Ngga ada campur tangan manusia sama sekali. But it was so damn expensive. You need to pay SGD 25 for burger, fries, and lemonade. Tapi kayaknya itu harga lumrah buat restoran sono ya.
Japan (late March - early April 2018)
Kali ini travel for leisure, sama Grace juga. Dan Grace udah nulis berseri-seri blog soal travel ini. Mengunjungi Jepang di musim semi adalah salah satu bucket list saya, and I was so excited about it. Saya menikmati setiap langkah di negara ini. Bener kata orang-orang, Japan is not like any other country. It was, stunningly beautiful — dan bener-bener BERSIH.
Takeaway:
1) Jepang itu drinking culture-nya kuat banget, so almost impossible kamu bakal minum sake atau bir yang ngga enak. Hampir semua minuman yang saya minum di sana, enak semua.
2) Keteraturan dan kebersihannya masih bikin saya geleng-geleng kepala kalo inget.
3) Pas nginep di Hotel Grand Nikko Odaiba, saya baru tahu kalau pakai sendal hotel keluar kamar itu sangat tidak sopan. Sendal hotel ya cuma dipakai di dalam kamar saja, titik.
4) Taksi mahal mampus! Kakak saya jalan 5 km bolak balik dari hotel ke tempat billiard, argo-nya 1 juta lol.
5) Jepang menyenangkan untuk dikunjungi, tapi menurut sebagian orang, bukan tempat yang menyenangkan untuk ditinggali. Kultur kerjanya sangat overwhelming. Working mom ada, tapi nggak lumrah disini, karena patriarkis banget — walaupun 1 dekade belakangan, Jepang mengalami kemunduran populasi gara-gara anak mudanya udah males nikah. Banyak juga orang bunuh diri karena merasa gagal living up to society’s expectation. But then again, setiap negara punya masalah masing-masing, bukan?
6) Apa lagi ya? Kayaknya tulisan Grace soal Jepang sudah mewakilkan semuanya. Baca: Japan Trip
Inle Lake, Myanmar (May, 2018)
Sama seperti ke Singapore, saya ke Inle karena urusan kerjaan. Kedubes AS di Myanmar mengadakan workshop, dan mereka butuh tenaga tambahan. Diutuslah 3 orang dari Jakarta (salah satunya saya), 1 dari Singapore, dan 1 lagi dari Vientiane as the additional manpower. Kami semua sudah mengenal satu sama lain sebelumnya, so I was so excited!
Takeaway:
1) By far, Inle ini tempat paling antah berantah yang pernah saya singgahi. So, saya berangkat dari Jakarta pagi-pagi, landing di Yangon. Saya harus menginap 1 malam di Yangon karena penerbangan ke Inle ngga available tiap hari. Saya memilih hotel yang paling dekat dengan Kedubes AS, kalo semisal ada apa-apa, koordinasinya lebih gampang. It was Melia Yangon. Hotelnya nempel sama (yang konon katanya) mall paling gede se-Myanmar… yang nyatanya ngga lebih gede dari Ambarrukmo Plaza.
2) Pas turun dari pesawat, saya heran kenapa banyak banget orang pake sarung dan sendal jepit. Ngga cuma di bandara — di hotel juga, di mall juga. Ternyata itu... baju nasional mereka.
3) Pas ke Inle, ini pertama kalinya saya naik pesawat baling-baling yang berisiknya naudzubillah. Perjalanannya 1 jam. Setiba di bandara, saya kaget. Bandaranya cuma segede kantor kelurahan Ngestiharjo. Namanya lucu pun — Heho Airport. Ngga ada conveyor belt. Waktu baggage claim, ada bapak-bapak paruh baya yang bawain koper satu-satu dari pesawat ke waiting lounge. Dari bandara Heho menuju Inle, kami pake taksi carteran. Alphard, bok. Cuma, floor-nya dikasih karpet bulu-bulu pink gitu, saya jadi sungkan nginjek. Perjalanan darat 45 menit dari airport ke hotel — sepanjang jalan saya amati, Inle ini berasa kayak Kota Nganjuk tahun 90-an. Masih banyak kerbau ndeprok di tengah jalan, terus bikin macet.
4) Di Inle kami nginap di Novotel Myat Min. Awalnya kamu cuma booking kamar biasa. Karena waktu itu baru low season, kamarnya diupgrade ke villa yang luaaaas banget. Ada porch ngadep danau, flatscreen TV ada 2, kamar mandi bathtub dsb you name those luxuries. Little did we know, karena belum pemerataan listrik, Inle ini bakal mati lampu tiap 2 jam, termasuk hotelnya… so, it was a little bit spooky.
5) Saya baru tahu kalau orang Myanmar bangga banget sama tea culture-nya. Mulai dari teh hitam, teh hijau, teh susu, sampe teh yang aneh-aneh ada di setiap sudut jalan. Nggak cuma itu, makanan khas mereka, lahpet, is literally tea leaf salad.
6) Minuman beralkohol ngga dipajakin, so, jangan kaget kalo harga bir disana cuma 8 ribu per gelas. Makanan juga murah banget! Rata-rata habis 20-30 ribu sekali makan, udah sama bir.
7) The first time I applied thanaka to my face, and I loved it! Bikin muka jadi adem.
8) Inle ternyata penghasil wine cabernet sauvignon yang ngga kalah sama wine-wine Eropa. Sumpah enak banget!
9) Di Inle, masjid Shia lebih banyak daripada masjid Sunni. Temen saya sempet sholat Jumat di masjid mereka. Baru tahu juga kalo orang Shia sholatnya bawa batu ditempelin ke dahi mereka pas sujud.
Bangkok, Thailand (September 2018 and January 2020)
Kesini 2x, dua-duanya gara-gara disuruh training sama kantor, dan dua-duanya ditemenin Grace. Saya sama Grace ke Bangkok ini menerapkan prinsip “workshop” — I work, she shops. Yang September 2018 kami menginap di Indigo Hotel, dan yang January 2020 di Grand Hyatt Erawan. Dua-duanya kami suka! Ada ups and downs masing-masing. But both of us agree, Grand Hyatt Erawan so far adalah hotel paling nyaman yang pernah kita inapi, karena gedungnya interconnected sama stasiun BTS dan malls. All in all, Bangkok ini kota favorit kami. Yes, Tokyo and Washington DC have their own charm. But Bangkok speaks through our souls. Mungkin karena kemiripan dengan Jakarta, ya? The sense of familiarity ini bikin Bangkok bener-bener kerasa kayak rumah sendiri.
Takeaway:
1) Pertama kalinya makan di Michelin-grade restaurant, Somboon. Pesen fried chili crab sama prawn, dan beberapa side dish lainnya. Reaksi gigitan pertama saya bener-bener kayak di anime Food Wars — kaget! Flavor explosions all the way from the tongue to stomach (tapi kalo soal rasa subjektif ya, buat saya dan Grace, ini kepiting paling endeus yang pernah mampir mulut saya).
2) Walaupun LGBT woles banget disini, tapi mereka masih mendapatkan diskriminasi terang-terangan di beberapa tempat kerja profesional, according to my friend.
3) Saya sempetin ketemu temen saya yang kerja di US Embassy Bangkok, dan diajak ke “cafe autentik Bangkok”... and it was Greyhound cafe. LOL. Inimah di Grand Indonesia ada. But it’s fine. They serve amazing fried chicken wings and cheap beer tho.
4) Ngga Bangkok kalo ngga ke night market ya. Favoritnya Grace itu di Neon. Buat yang males desek-desekan, ini bisa jadi alternatif sih. Cuma, ya ngga segede Ratchada. Kalo mau ke Ratchada, please anticipate groups of Chinese tourists dalam skala besar. Boleh dibilang, 80% pengunjung adalah Chinese tourists. Dunno why ya, mungkin gara-gara Ratchada deket sama Chinatown. Kalo mau yang siang, ke Chatuchak. Siap-siap sepatu yang enak buat jalan, pasarnya MASSIVE!
5) 2x ke Bangkok tapi belum sempet ngerasain floating market karena saya rasa sudah terlalu touristy. Sempet mampir ke Patpong Museum buat cari tahu gimana sih kehidupan malam Bangkok yang kesohor itu, dan bener-bener amazed. Kalo kesini, bakalan ada orang yang randomly approaches you. Just ignore them. Biasanya mereka nawarin “nude show” dengan harga murah, tapi nipu. Once you enter the cafe, they will charge you thousands of baht only for 2 bottles of beer. Kalau beneran mau lihat show-nya, just go to the famous one: Black Pagoda, atau associated cafenya. Mereka akan nunjukin daftar harga di muka, dan ngga bakalan nipu.
Lebih lengkapnya, mungkin bisa baca entry blognya Grace soal Bangkok. Boleh dibilang, Grace lebih ngeksplor Bangkok ketimbang aku soalnya pas aku ada training, dia mbolang sendiri naik transportasi publik.
Luang Prabang, Laos (March 2019)
Kesini (lagi-lagi) karena kerjaan — dimintain tolong sama US Embassy Vientiane buat bantuin workshop mereka tentang ecotourism. Berangkat sendiri dari Jakarta, transit Singapore, terus Luang Prabang. Ini kota kecil di Laos, tapi banyak nuansa Perancis-nya (karena mereka dulu dijajah Perancis). Kalau kamu pernah lihat foto viral Presiden Obama minum kelapa di pinggir jalan, nah fotonya tu diambil pas doi mampir sini. Saya nginep di Le Bel Air Resort. Hotelnya naudzubillah bagus banget. Bangunan kolonial gitu. Ngga ada AC tapi adem!
Takeaway:
1) Luang Prabang ini kota kecil, so all you need to do is to rent a bike, and you can go literally everywhere. But mind you, jalannya berkontur. So, kadang dapet turunan, kadang dapet track yang rada ngetril.
2) Banyak banget young monks mendalami pelajaran agama disini. Sampe jadi main attraction dengan “alms giving” — ngasih koin ke monks tiap jam 6 pagi di pelataran monastery. Saya ngga sempet lihat sih. Masih tidur jam segitu lol. When you meet them, please be respectful.
3) Bir relatif murah, tapi ngga semurah Myanmar. And I could say, Laotians love to drink! Ada 1 malam saya diajak temen dari US Embassy Vientiane ke sebuah bar karaoke yang suasananya mirip... kafe remang-remang di Pantura. Saya ngajak 1 peserta workshop dari Indonesia, dan kami dari hotel naik sepeda. Kami bertiga habis belasan botol bir lol. Mabuk tapi masih bisa kontrol. Karena udah ngga kuat nggenjot sepeda, kami nyegat tuk-tuk buat balik hotel. Semuanya (kami+sepeda) diangkut ke atas tuk-tuk. Kebayang kan 3 orang mabuk naik tuk-tuk sambil meluk sepeda HAHAHA!! Oiya, total bill nya (belasan botol bir gede, udah ngga bisa ngitung, plus makan gede 3 orang) habis 500 ribuan.
4) Lagu yang masuk chart di Lao kebanyakan lagu Thailand. Well, bahasa mereka mirip banget. Mungkin kayak bahasa Melayu sama bahasa Indonesia, gitu.
5) Lao ini negara sosialis yang terang-terangan ngendorse komunisme. So, bendera merah dengan gambar palu-arit banyak dijumpai di setiap sudut jalan, dan kaos palu-arit adalah suvenir yang lumrah disini.
Washington DC, USA (September 2019)
Menarik. Walaupun saya kerja di Kedubes Amrik, tapi kunjungan pertama saya ke ibukota Amrik bukan gara-gara kantor, tapi gara-gara Grace. Doi diundang sama American Red Cross buat kasih remarks untuk acara Measles and Rubella Initiative. Yaudah, cuma modal beli tiket (pulang pergi sekitar 20 jutaan), saya ngintilin Grace seminggu lebih di DC. Saya nggak akan klaim diri “pernah ke Amerika”, but I’d rather say, “I’ve been to DC”. Karena, Amerika-nya DC sama Amerika-nya New York, beda banget. Anyway, total flight 26 jam, transit di Seoul. Pulangnya transit di Dallas dan Hong Kong. Nginep di State Plaza Hotel. Sama kayak hotel-hotel di Jepang, hotel ini ngga ada concierge. So, seberat apapun kopermu, bawa sendiri yha. Tambahan, hotel ini juga ngga serve breakfast. KRAI.
Takeaway:
1) MAHAL. By far ini kota paling mahal yang pernah saya samperin. Even Tokyo berasa murah kalo dibandingin sini. Makan lunch berdua di decent restaurant (pizza, beer, sama crab cake) habis 700 ribuan sekali makan. Naek taksi jarak 3 km pake Lyft (saingannya Uber) habis 500 ribuan. Stres dah.
2) Love banget sama CVS. Ini kayak Kimia Farma gitu kali ya, buka 24 jam. Cuma, di belakangnya ada supermarket sekelas Alfamidi gitu. Jual makanan frozen yang bisa diangetin di microwave hotel. Pelayannya pun ramah (untuk ukuran Amrik).
3) Saya shock banget pas hari pertama dateng dimari. Banyak banget gelandangan yang stay di taman gitu. Kalo boleh bilang, homelessnya lebih banyak sini ketimbang Jakarta — at least yang kelihatan mata.
4) Mampir Washington DC identik sama museum-hopping. Museum kebanyakan gratis! Dan bagus! Too bad saya ngga bisa eksplor satu-satu museumnya. Total Smithsonian Museum ini ada 19, dan masing-masing itu MASIF. Exploring National Museum of Natural History sama Grace aja udah berasa kaki mau putus, but it was super fun! Favorit saya National Air and Space Museum. Ada satu section didedikasikan khusus buat Amelia Earhart, saya sampe mewek baca tiap penjelasannya.
5) Orang DC bangga banget sama pizza and beer culture-nya. Saya diajak sama temen yang kerja di US Department of State buat pizza-and-beer marathon seharian. Disini, saya mencoba pertama kalinya St. Louis style (med crust) dan Chicago style (deep dish) pizza. Terus lanjut makan taco. Si Grace makan taco pertama kali disini hahaha… watching her being excited made me laugh. Terus kita lanjut ke Jackpot yang ada di Chinatown. Ini tempat ngebir paling “hipster” di DC. Tempatnya ada di bawah tanah, dan kamu HARUS ngasih liat tanda pengenal kalau mau masuk. Ngga peduli setua apapun mukanya yha, harus tunjukin. Ini sudah regulasi federal. Sekalinya ada laporan orang tentang toko/resto yang jual alkohol ke minor, 1 laporan aja, kelar dah. Ngga cuma di Jackpot ya, ini berlaku di semua resto/toko yang ngejual alkohol di seluruh Amrik. Anyway, Jackpot ini ngga ngejual “boring” beer. Mereka ngejual craft beer dari seluruh penjuru Amrik. Ada bir imut rasa cider stroberi (namanya Supreme Core, plesetan dari Supreme Court), ada juga sour beer dengan kadar alkohol sampe 32% (namanya Tactical Nuclear Penguin — namanya lucu, rasanya nggak lucu).
6) Kota ini living up the United States motto — E Pluribus Unum. Artinya, "Out of many, one". Mirip lah sama semboyan kita, Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi satu. Kenapa? Karena ya sejauh mata memandang, orangnya bener-bener beragam. Ketemu supir taksi macem-macem, mulai dari Ethiopian, Russian, Indian, dan sebagainya. Pas jalan-jalan ke NoMA (salah satu distrik di DC), mayoritas orang-orang yg saya temui beretnis Afro-American. Pas jalan ke Kalorama, banyakan orang Asia. All in all, they are Americans.
***
Itulah perjalanan saya 5 tahun terakhir. Ngga bisa dibilang banyak, tapi cukup lah ya. Well, setelah kelar nulis, rasanya kok sedih banget ya malahan. Dulu kita bepergian dengan mudahnya, sekarang… asudahlah.
Semoga pandemi COVID-19 cepat berlalu, dan kita semua bisa bepergian lagi seperti dulu. I know it's been hard lately. Please hang on a little bit more. Saya percaya, hal baik akan datang anytime soon.
Someday everything will make perfect sense. So, for now, laugh at the confusion, smile through the tears, and keep reminding yourself that everything happens for a reason.
Hang tight, fellas. Tabik!
Luv this sharing and thank you for sharing.. Jadi pengen ke Myanmar dan Laos..
ReplyDeleteAsik benar bisa explore beberapa negara dari tmpat kerjanya, ya mas... Semoga bisa bekerja di tmpat gituuu... huhu
ReplyDeletehttps://saglamproxy.com
ReplyDeletemetin2 proxy
proxy satın al
knight online proxy
mobil proxy satın al
28327
The Vans Warped Tour, a traveling rock music festival, was known for showcasing emerging punk and alternative acts.
ReplyDeletetop events in Gainesville
Your blog consistently serves up exceptional and thought-provoking content. Your dedication to imparting valuable insights is genuinely commendable. Each post exudes your passion for the subject matter, making your blog an indispensable resource. Kudos for consistently delivering excellence!Driving Suspended License Misdemeanor New Jersey and Middlesex County Reckless Driving Attorney
ReplyDeleteTravel has a unique way of leaving an indelible mark on our hearts and minds. In this blog, we reminisce about the places we've visited, the cultures we've immersed ourselves in, and the experiences that have enriched our lives. From the bustling streets of Tokyo to the serene beaches of Bali, each destination holds a special place in our memories, and we are excited to share these stories with you.
ReplyDeletewhat is an uncontested divorce in virginia
reckless driving virginia 85 mph
Best Unilevel MLM Software Company in India - Focus MLM
ReplyDeleteLooking for the top Unilevel MLM software Company? Focus MLM provides the Best MLM Software Service Provider in India. We are offering complete MLM Services
https://www.focusmlm.in/unilevel-plan-mlm-software.php
This was a really great contest and hopefully I can attend the next one.
ReplyDeleteVery interesting this article is very good thanks for the effort.
ReplyDeleteI was actually captured with the piece of resources you have got here.
ReplyDeleteIt’s so good and so awesome. I am just amazed.
ReplyDeleteThanks and Best of luck to your next Blog in future.
ReplyDeleteTraveling memories spark joy, even in lockdown. Adit and I miss the adventure, with Adit turning nostalgia into blog posts. As we wait for travel restrictions to ease, I find solace in virtual experiences, and new thrills with games like Snow rider . Traveling transforms you into a storyteller, as Ibn Battuta said. For now, revisiting past adventures through photos and writing is a perfect remedy for wanderlust.
ReplyDelete